Perempuan,
selain digambarkan dengan paras ayu, tubuh molek, dan dandanan yang aduhai, juga diidentikkan
dengan mahkluk yang lebih vocal dibandingkan laki-laki. Setidaknya berdasarkan
penelitian yang ada, seorang perempuan dengan mudahnya dapat menghasilkan 6000-8000
kata yang dapat diucapkan dalam sehari.
Malah
penelitian lain menyebutkan sekitar 13.000-20.000 kata. Maka dari itu seorang
perempuan selalu membutuhkan media untuk mencurahkan banjiran kata tersebut,
mulai dari ngerumpi dengan teman di kantor, pasar, ataupun ruang publik
lainnya. Bisa juga dengan menelpon teman dalam waktu yang lama. Dan tak sedikit yang mencurahkan letupan
kata lewat sosial media.Itulah setidaknya yang penulis rasakan sebagai
perempuan, merasa aneh jika dalam sehari tak berbicara sedikitpun. Terlebih ketika suami pulang ke
rumah, semacam refleks saja menyambutnya dengan rentetan kata demi kata.
Namun, ada
beberapa perempuan cerdas yang mereproduksi ribuan kata lewat tulisan. Ya, mereka menulis untuk
mengeluarkan ide, ilmu, minat bahkan perjuangan yang abadi.
Adalah juga seorang perempuan berasal dari
Jepara, bernama Kartini (1879-1904) yang mampu mengubah sejarah dan
memperjuangkan nasib perempuan di masanya. Seorang perempuan yang terkukung
dari dunia luar, tak diperbolehkan mengeyam pendidikan. Namun dengan
kegigihannya, Beliau dapat berkorespondensi dengan teman-temannya yang ada di
Belanda lewat untaian surat demi surat. Kumpulan surat tersebut sekarang
dibukukan dalam buku “Habis Gelap
Terbitlah Terang”. Melalui tulisan, Kartini berjuang melawan feodalisme dan mengusik sistem yang
menindas itu. Sekaligus
menyadarkan kaum perempuan agar berani memperjuangkan haknya agar diakui setara
secara sosial.
Ada baiknya
kita menghidupkan kembali semangat yang telah diperjuangkan oleh Kartini agar
seorang perempuan dapat berdaya dan berdikari serta berjuang untuk masyarakat
dan bekerja demi kebahagiaan sesama. Dengan menulis, kita bisa mendobrak ruang
yang selama ini terbatas untuk perempuan.Teringat pesan Imam Ghazali, “Jika kamu bukan anak raja, dan bukan anak ulama besar maka
menulislah”.
Perempuan,
sekalipun seorang ibu dapat menulis banyak hal untuk menunjukkan eksistensi dan
melatih kecerdasannya,
misalnya menulis tentang tips memasak, menulis tentang parenting, menulis tentang kesehatan keluarga dan lain-lain.
Menurut Pramoedya dengan menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan
abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.
Belum
seragamnya tingkat pendidikan perempuan juga menyebabkan cara pandang dan pola
pikir perempuan di kawasan pedesaan terhadap upaya memperjuangkan haknya masih minim.
Apalagi untuk melakukan perlawanan dengan menulis. Akibatnya, mereka memasrahkan nasib kepada suami. Hal ini secara tak langsung
menyebabkan perempuan belum mampu berdikari.
Kartini bukan
hanya menjadi ikon dari perjuangan emansipasi, namun lebih dari itu sosoknya
menjadi perintis untuk menyegarkan peran perempuan Indonesia menghadapi era
global.
Selanjutnya
yang harus dilakukan oleh perempuan di Tanah Air adalah melakukan pembuktian
diri dan perlawanan, sehingga diskriminasi akan berkurang.
Sebagai penutup, perkataan Gus Mus terasa begitu menyengat untuk seluruh
perempuan, “Tak hanya Kartini, menurutku semua perempuan yang menghargai
dirinya menghargai dan menginginkan kemajuan sesamanya, “Harum Namanya”.
Penulis: Hifni Septina Carolina, Alumni Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Metro (UMM)
Comments
Post a Comment