Sekarang memang lagi ngetrend cara pintas untuk terkenal,
melakukan atau menyampaikan pernyataan-pernyataan kontroversial, merekam kemudian
menyebarkannya ke media sosial, tunggu beberapa waktu sembari ada yang merespon
dengan marah-marah, setelah itu minta maaf, terkenal!
Namun, tentu saja maksud dari
Sukmawati Soekarno Putri membawakan puisi "Ibu Indonesia" karyanya
sendiri dalam acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Fashion Week 2018, bukanlah
ingin terkenal. Sukmawati tampak dalam penggalan syairnya dua kali memberikan
penekanan bahwa "Aku tak tahu syari'at Islam" yang bisa diinterpretasikan
sebagai sikap protes.
Mendengar "Ibu Indonesia"
dan melafadzkan nama Sukmawati Soekarno Putri, mengingatkan saya pada tulisan
Soekarno tentang Islam Onta atau Islam Sontoloyo-nya. Bedanya, Soekarno
merespon kondisi yang terjadi ketika itu, terutama apa yang dibacanya dari
Surat Kabar Pemandangan, 8 April 1940
dengan 'pengetahuan dan pemahaman'. (Lihat, Di
Bawah Bendera Revolusi Jilid Pertama (DBBR), h. 493- 500 atau bisa juga
dibaca secara utuh dalam Soekarno, Islam
Sontoloyo: Pikiran-Pikiran Pembaruan Sekitar Islam, Bandung: Sega Arsy,
2010).
Sedangkan Sukmawati, merespon
kondisi keberagamaan umat Islam hari ini dengan ketidaktahuan dan
ketidakpahaman. "Aku tak tahu
syari'at Islam", tetapi sayangnya justeru ia bertindak 'sok tahu'
dengan membandingkan apa yang tidak diketahuinya dengan apa yang diketahuinya,
membandingkan sesuatu yang sama sekali tidak setara, antara produk budaya
bangsa dengan doktrin agama. "Yang
ku tahu, sari konde Indonesia sangat indah, lebih cantik dari cadar dirimu ...
Yang ku tahu suara kidung ibu Indonesia sangatlah elok, lebih merdu dari alunan
adzanmu."
Soekarno mengkritik lima perilaku
atau kebiasaan muslim yang dianggapnya sebagai Islam Sontoloyo kala itu, yakni kebiasan royal mencap kafir (terekam dalam surat-suratnya
kepada A. Hassan, dalam Surat-surat Islam dari Endeh, DBBR, h.
325), taklid buta, mengutamakan fikih,
tak melek sejarah dan menjadikan hadis lemah sebagai pedoman.
Berkebalikan dengan hal tersebut,
puisi Sukmawati justeru dianggap miskin nilai, ahistoris dan terkesan intoleran. Bagaimana mungkin pekik Allahu Akbar, yang sering diteriakkan
dalam perjuangan-perjuangan melawan penjajahan justeru dianggap tak lebih indah
dari kidung ibu Indonesia, walaupun akhirnya dia berdalih bahwa yang ia maksud
adalah suara muadzin yang jelek,
bukan lafadz adzannya.
Ibu Indonesia
Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu
Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar
dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus
ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah
beraneka
Menyatu dengan kodrat alam
sekitar
Jari jemarinya berbau getah
hutan
Peluh tersentuh angin laut
Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin
asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari
bangsamu
Jika kau ingin menjadi
cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku,
bumi Ibu Indonesia
Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu
Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan azan
mu
Gemulai gerak tarinya adalah
ibadah
Semurni irama puja kepada
Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang
tertenun
Lelehan demi lelehan damar
mengalun
Canting menggores ayat ayat
alam surgawi
Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin
pudar
Supaya kau dapat mengetahui
kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala
riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.
Puisi tersebut, menurut beberapa penyair bukan
hanya sekadar pengakuan ketidaktahuan Sukmawati atas syariat Islam, melainkan
juga menjadi penegas bahwa dia tak paham toleransi dan puisi. "Mutu puisinya buruk, isinya jelek.
Bukan hanya awam syariat Islam, tapi juga intoleran, awam budaya dan
puitika," tulis Binhad Nurrohmat.
"Puisi Sukmawati ini sudah gagal sejak judul
dan baris pertama puisi. Judul puisi “Ibu Indonesia”, sedangkan baris pertama
tertulis “Aku tak tahu Syariat Islam”. Frasa “Ibu Indonesia” itu termasuk gaya
bahasa sinekdoke “pars pro toto”
(sebagian untuk keseluruhan). Jika mayoritas agama di Indonesia ialah Islam,
maka perkataan “Aku [Ibu Indonesia] tak tahu Syariat Islam” itu ucapan yang
sangat melampaui batas dan memberi teladan yang tak baik." Kritik Narudin
Pituin.
Lantas apa yang saya, atau kita
lakukan atas puisi yang dinilai intoleran dan diduga SARA tersebut? Saya,
secara pribadi yang awam puisi tentu tak ingin ikut-ikutan mengajukan kritik
atas puisi tersebut, apalagi konon puisi itu bukan soal apa pesannya, tetapi
soal bagaimana menyampaikan pesan. Bila, dalam paragraf awal saya juga
menyampaikan keberatan atas isi puisi tersebut, bukan soal estetik dan tak
estetiknya, melainkan soal logika dan konsistensi kata-katanya, soal 'apanya' bukan
'bagaimana'nya.
Meski nyaris tak ada ruang bagi
saya untuk mengatakan bahwa puisi tersebut dibuat karena khilaf atau lalai,
apalagi setelah membaca pembelaan dan pembenaran Sukmawati dalam beberapa media
daring, saya tetap ingin menyerukan bahwa teruslah bangun prasangka-prasangka
positif, tak ada satupun peristiwa yang lahir nir-makna dan kosong dari ibrah.
Tuhan pasti punya alasan menciptakan manusia bernama Sukmawati Soekarno Putri,
untuk itu saya sangat menolak dan berkeberatan jika ada yang menudingnya tak
berguna.
Barangkali sebelum ini, ada
banyak kebaikan-kebaikan yang telah dia lakukan yang kita tak pernah paham,
jangan sampai ketakpahaman itu justeru tertutup hanya karena satu buah puisi
yang oleh para penyair dinilai juga sebagai 'bukan puisi'.
Lagian, ketika kita mau jujur
menilai, Sukmawati telah berjasa dan berhasil membidani lahirnya ratusan puisi
dan penyair dadakan, ada banyak puisi tercipta sebagai tanggapan atas puisinya,
dan tersebar di media sosial. Bukankah itu bagus, polemik yang memicu
produktivitas? Soal itu dianggap puisi gelap atau penyair gelap, biarlah para
penyair senior yang mengoreksinya.
Sebagai muslim, tentu kita tak
boleh lelah untuk mewajahkan Islam yang
rahmatan lil 'alamin, rahmatan lil ummah,
meneladani Rasulullah SAW, yang nyaris setiap hari dicerca, dilempari kotoran
binatang dan tinja, hingga mengundang geram malaikat. Malaikat menawarkan diri untuk
membumihanguskan mereka, jawab Rasulullah SAW singkat dan jelas kala itu: "Jangan! Sungguh mereka tidak paham,
semoga suatu saat mereka bisa mengetahui, jika pun bukan mereka, maka
sesungguhnya mereka akan melahirkan generasi yang kita harapkan bisa paham dan
mengetahui."
Tabik pun, ngalimpuro.
0 Comments: