"Jika kita berpikir banyak,
apakah kita akan bertindak lebih baik?" Pertanyaan di halaman kedua buku
ini, memang bernada menggugat dan mempertegas bahwa nalar tidak dapat
menentukan arah dan tujuan manusia.
Kegelisahan Donald B. Calne, sebagai
seorang neurolog yang sering menjumpai perilaku disorders pada lingkungan
sosialnya, memacunya untuk terus-menerus mencari jawaban tentang nalar. Sesuai
dengan profesinya, sebagai Direktur Neurodegenerative Disorder Centre, Calne
mencari jawaban ini melalui pengamatan terhadap neuron dan otak manusia, dalam
perspektif teoretik biologi evolusioner.
Belakangan ini, kita memang
sering menyaksikan betapa banyak orang pintar dan cerdas yang goncang
kejiwaannya, narasi-narasi yang disemburkan di media sosial, terlebih soal
kekuasaan dan dukungan politik, seakan meneguhkan pendapat Calne, bahwa nalar
adalah perkakas biologis yang berkembang secara evolusioner, bertugas menjawab pertanyaan
'bagaimana' bukan 'mengapa'. Nalar merupakan fasilitator, bukan inisiator.
Nalar kita gunakan untuk mendapatkan apa yang kita mau, bukan untuk menentukan
apa yang kita mau. Nalar tak menjamin kita lebih beradab dan baik.
Berbeda dengan moral dan nurani yang
bertautan dengan hal-hal yang seharusnya dan diinginkan, terpaut dengan emosi
dan perintah budaya. Nurani dan emosi mendorong kita karena memuaskannya akan
membawa kebahagiaan, dan mengabaikannya akan menimbulkan kekecewaan. Kebudayaan
dapat mengaitkan tujuan-tujuan dengan nurani dan emosi, dan keduanya
memunculkan motivasi. Nalar jauh dari gelora hasrat manusia, sedangkan nurani
berkait erat dengan hasrat, kepuasan dan kebahagiaan.
Di buku ini, Calne menunjuk
bagaimana fakta historis tampilnya era Enlightment di Eropa pada abad ke-17 dan
ke-18, di saat yang tak terpaut jauh dari era kebangkitan nalar tersebut, abad
ke-19, justeru para cendekiawan Jerman yang paling awal memeluk ideologi Nazi,
Wagner dan Nietzsche adalah dari sekian banyak perintis itu, termasuk tokoh perguruan
tinggi, golongan terdidik, ahli hukum dan dokter.
Buku ini sangat keren dan wajib
dibaca. bagi mereka yang selama ini memuja-muja nalar, apalagi jika
disandingkan dengan dengan buku 'Sapiens' karya Yuval Noah Harari yang banyak
menceritakan evolusi berkembangnya nalar. Termasuk ada dua buku yang layak kita
tunggu untuk diterjemahkan oleh Gramedia Pustaka Utama, The God Delusion dan
Homo Deus.
Kemajuan ini diiringi dengan perubahan sosial-politik di Eropa, di mana nalar dan rasionalitas mendapat tempat yang makin tinggi dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, kepercayaan dan harapan semakin meningkat bahwa sains dan nalar mampu melenyapkan kemiskinan, kebodohan, dan kekejaman di dunia.
Namun, Calne menilai bahwa harapan yang digantungkan pada nalar terlalu berlebihan. Meletusnya perang dunia dan krisis ekonomi berulang-ulang menjadi bukti keterbatasan nalar dalam menjalankan peranan sebagai ’dewa penyelamat.’ Gerakan menjauhi nalar secara berangsur mulai tampil kembali ke panggung sejarah. Bandul sejarah kembali ke titik yang berlawanan. Bagi Calne, keterbatasan bukan hanya pada sains, tapi juga pada dunia akademis secara umum.
”Bahwa kekuatan nalar betul-betul merupakan kemampuan manusia yang nyata, jelas, dan tidak-boleh-tidak bekerja dalam hampir semua aspek kehidupannya. Tapi nalar tidak bisa memberi atau mengendalikan tujuan-tujuan yang terkait dengannya.” Tulis Calne
Manusia menurut Yuval Noah Harari memang tak pernah lelah memamerkan keistimewaan-keistimewaannya, meneguhkan superioritasnya dari makhluk-makhluk lain, dan dengan congkak mendaulat diri sebagai homo sapiens (manusia bijak), setelah sebelumnya mereka berevolusi dari homo rudolfensis (manusia dari Danau Rudolf), homo ergaster (manusia bekerja) dan mengasuh spesies-spesies baru lainnya.
Manusia lupa, bahwa dulunya,
mereka hanyalah spesies yang bersembunyi di semak-belukar, menunggu makanan
dari buruan serigala dari yang tersisa, begitu hendak keluar mengambil
sisa-sisa, segerombolan anjing akhirnya menghentikan niatnya itu, mereka pun
harus kembali bersabar, menunggu sisa-sisa anjing tersebut, dan akhirnya
memakan sum-sum yang ada di dalam tulang yang tersisa.
Nalar, dalam catatan panjang
sejarah memang lebih sering tampil sebagai alat untuk menjinakkan, memperluas
kekuasaan, menjajah, menciptakan senjata untuk memusnahkan, meneguhkan
prestise. Nalar selalu haus pengakuan dan kekuasaan, tak pernah berhasil
menghantar manusia kepada kebahagiaan hakiki.
Maka, apa yang tersurat dalam
perjalanan teologis Ibrahim sebagai kekasih Tuhan, yang dinilai paling rasional
dan tak mampu didebat oleh Namrud, ketika beliau menghancurkan patung-patung
sesembahan dan menyisakan satu, yang dimintanya ditanya kepada Namrud. Pun,
pada akhir perjalanan pencariannya tentang Tuhan, ia tetap harus menggunakan
nuraninya, bukan nalarnya.
"(Ingatlah) ketika dia
(Ibrahim) datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci." (Qs. Al-Shaffat: 84).
0 Comments: