Saya tertarik dengan postingan
Haz Algebra, di facebook yang mengutip pernyataan Yuval Noah Harari, "democracy is not based on human
rasionality; its based on human feelings. During elections and referendums ,
you're not being asked, "what do you think?" You're actually being
asked, "How do you feel?" And if somebody can manipulate your
emotions effectively, democracy will become an puppet show."
"Demokrasi tidaklah didasarkan pada rasionalitas
manusia; ia didasarkan pada perasaan manusia. Selama Pemilihan dan referendum,
Anda tidak ditanya, 'Bagaimana menurut akalbudi Anda?' Anda sebenarnya ditanya,
'Bagaimana kata hati Anda?' Dan jika seseorang bisa memanipulasi perasaan Anda
secara efektif, demokrasi akan menjadi pertunjukan boneka emosional."
Menurut Haz, ada paradoks, ketika
dalam berdemokrasi, kita menggaungkan slogan 'akal sehat' (pemilih cerdas) di
satu sisi, tapi sebenarnya berharap mengedepankan 'perasaan/hati nurani'
pemilih di sisi lain.
Saya entah kenapa, tak kuasa
untuk tidak mengiyakan pernyataan ini. Apalagi, ketika seringkali menjumpai
strategi atau metode kampanye yang sering digunakan oleh beberapa orang dalam
pemilihan umum (pemilu), yang terbukti efektif dan efisien (murah), adalah
dengan strategi pendekatan emosi. Hubungan kekerabatan, suku, agama dan kesamaan
latar organisasi.
Saya menjadi teringat sebuah
pernyataan menarik dari buku Nalar Batas karya
Donald B. Calne, "Jika kita berpikir
banyak,apakah kita akan bertindak lebih baik?" atau barangkali bisa
kita sederhanakan dengan pertanyaan, "apakah semakin bernalar (cerdas)
manusia akan lebih beradab?" Jawabannya, "Tidak!" Dan untuk
merunut dan mengetahui alasan ilmiah dari jawaban tersebut, berikut fakta
sejarah bagaimana evolusi nalar, saya sarankan Anda untuk membaca buku Sapien karya Yuval Noah Harari dan Nalar Batas tersebut.
Saya hanya ingin sedikit
mengungkap bahwa dengan nalar, betapa ambisiusnya manusia untuk tak berhenti
menaklukkan sesama dengan segala cara. Para konsultan politik, berikut lembaga
surveinya, menjadi pemberi saran yang merekomendasikan penggunaan uang untuk
menang dalam pemilihan, hingga muncul adagium "lebih baik menang bermasalah
daripada kalah terhormat," yang sebenarnya lebih pas menjadi, "menang
bermasalah dan kalah bermasalah," karena pada hakikatnya tak ada yang
menang terhormat dan kalah terhormat, semua menggunakan cara-cara yang kotor.
Bagaimana menilainya? Lagi-lagi
tak perlu gunakan banyak teori dan rumus sebagaimana nalar butuhkan, cukup
dengan mengajak hati kita bicara, meminjam istilah Maulana Jalaluddin Rumi,
hati adalah cermin, jika kamu masih menganggap dunia sesuatu yang menggiurkan, dan
berusaha mengejarnya dengan segala cara, maka sesungguhnya engkau sedang berkaca
dengan punggung cermin.
Kemegahan dunia hanyalah bayangan,
memperindah bayangan adalah dengan cara memperindah diri, bukan membedaki
bayangan.
Mengajak pemilih untuk menjadi pemilih
cerdas yang outputnya adalah pemimpin
atau wakil yang dipilih adalah orang cerdas, jujur, amanah dan peduli bisa jadi
memang hanyalah ilusi, di tengah-tengah trust
yang terjun bebas pada titik terendah dalam kehidupan demokrasi, sehingga
nalar bisa mendorong setiap pemilih untuk berpikir memilih yang memberi
daripada tak mendapatkan sama sekali.
Penyelenggara dan orang-orang
pintar, sebenarnya tak perlu sibuk membuat rumus dengan membagi uang 100 ribu
rupiah yang didapat pemilih, hingga limit terkecil, 5 rupiah misalnya dalam
jangka lima tahun, karena menurut nalar pemilih pastilah itu lebih baik daripada
tidak mendapatkan apa-apa. Toh, menolak
bayaran tersebut dan pergi ke TPS dengan tulus dan riang gembira, pada akhirnya
juga tak mendapatkan apa-apa, selain janji yang nyaring diteriakkan pada saat
kampanye.
Berbeda halnya, dengan orang yang
menjalani hidupnya dengan iman, sesuatu yang dibenarkan dengan hati,
meta-empirik. Melampui sesuatu yang profan dan imanen. Hati seringkali tak bisa
diukur dengan hal-hal yang bersifat duniawi, material, kesementaraan dan tidak
memiliki makna yang pasti dihadapan realitas yang Maha Mutlak. Pilihan hati,
selalu mengisi keterdalaman dari segala sesuatu, selalu berada di balik yang
nyata, di balik kemungkinan yang tak mungkin dikatakan.
Maka tak perlu repot-repot hendak
merasionalisasi 10% pemilih pasangan Mustafa-Ahmad Jazuli, karena sejak calon
gubernurnya ditersangkakan KPK, pertarungannya bukan lagi sekadar menang-kalah,
atau mengajukan pertentangan-pertentangan epistemik soal kenapa kotak kosong
menang di Makassar?
Jadi, selama kita masih bernafsu
menguasai, menaklukkan, menunjukkan eksistensi dan memamerkan survival,
barangkali kita masih belum bisa berucap terimakasih atas posisi kita saat ini.
Marilah lebih beradab, dengan
bertindak menggunakan hati!
Wallahu a'lam.
Comments
Post a Comment