Kita membaca dan menyaksikan
setiap hari orang mendesak dan menuntut Bawaslu untuk membatalkan calon yang
terduga melakukan tindak pidana politik uang. Rupanya, drama pemilihan gubernur
belumlah usai, setelah masa kampanye selesai, saling serang dan menjelekkan,
tak peduli bulan Ramadhan terus berlangsung hingga memasuki minggu tenang,
rajutan persaudaraan yang koyak berharap kembali tertambal paska bermaaf-maafan
di hari lebaran mesti menuai kekecewaan.
Bahkan, setelah hari pemilihan. Semua kita berharap segala caci-maki, serapah dan fitnah akan segera terhenti, di mana popularitas tak berguna lagi. Namun, rupanya tak ada kelapangan dada dan sikap legawa, dua pasangan calon melaporkan calon pemenang versi hitung cepat, mereka menuding rivalnya itu melakukan kecurangan dengan menebar uang (politik uang), seakan-akan mereka bersih tak berbuat serupa, seorang ibu-ibu paruh baya dengan suara lantang juga menunjuk-nunjuk Bawaslu, mengaku bukan soal menang-kalah, karena suaminya ikut menjadi kontestan, tapi soal kebenaran. Entah kebenaran yang mana? Soalnya semua juga tahu, perilaku menggunakan berbagai cara untuk merebut simpati publik, semua calon menggunakannya, mulai dari pengajian, piknik (jalan-jalan) politik, hingga menebar minyak goreng, gula, sarung dan amplop semua dilakukan dan melakukan.
Saya jadi kasihan dengan Bawaslu,
menjadi sasaran amarah, luapan kekecawaan dan tumbal dari segala kekalahan. KPU
pun demikian, setiap yang kalah akan menudingnya curang dan khianat, siapapun
yang menang, dan siapapun yang kalah, tetap saja salah.
Ah, saya jadi teringat pada
sebuah kejadian hampir sebulan lalu. Dalam sebuah kesempatan wawancara, salah
seorang anggota tim seleksi bertanya kepada saya, "Apakah Bawaslu itu
penyidik?" Saya dengan tegas menjawabnya, "Tidak!"
Pertanyaan itu terlontar ketika
saya menjelaskan bahwa perlu ada terobosan untuk memperkuat keberadaan Bawaslu
dalam Sentra Gakkumdu (penegakan hukum terpadu), beberapa hal yang saya
tawarkan adalah pentingnya penyidik yang berasal dari intitusi kepolisian dan
penuntut dari unsur kejaksaan menjadi penyidik dan penuntut independen, sama
seperti penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka bertanggungjawab
terhadap Bawaslu, bukan kepada atasan masing-masing.
Ternyata jawaban itu dinilai
salah dan saya dianggap kurang membaca dan tidak memahami tugas, wewenang dan kewajiban pengawas Pemilu,
terutama pasal 99 huruf (b dan c) UU No. 7/2017 bahwa pengawas Pemilu memiliki
kewenangan untuk menerima, mengkaji, memeriksa, yang diinterpretasi sebagai dalil
tugas penyidik yang dijalankan Bawaslu, bahkan pengawas Pemilu dalam hal ini
Bawaslu berwenang mengajudikasi dan memutus sengketa proses Pemilu.
Saya berusaha menyanggah untuk mempertahankan
pendapat semula dengan menyampaikan pasal 486 ayat (2 dan 3) yang menjelaskan
bahwa Gakkumdu melekat atas Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu
Kabupaten/Kota, dan terdiri atas penyidik yang dari Kepolisian Negara Republik
Indonesia dan penuntut yang berasal dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia sebagai
dalil, termasuk menyampaikan pasal 478 khususnya huruf (a) yang menjelaskan bahwa untuk dapat ditetapkan
sebagai penyelidik dan penyidik tindak pidana Pemilu, harus memenuhi
persyaratan telah mengikuti pendidikan khusus mengenai penyelidikan dan
penyidikan.
Namun, alih-alih menerima argumen
tersebut, saya malah dianjurkan untuk banyak membaca lagi. Akhirnya saya
memilih untuk diam dan menerima, sembari berpikir dan berusaha berdamai bahwa
selama ini barangkali saya memang keliru memahami undang-undang tersebut,
apalagi hanya menalarnya dengan belajar dari beberapa kasus yang terjadi di
lapangan, ada banyak temuan politik uang, tetapi akhirnya terhenti karena diputuskan
tidak memenuhi unsur di Sentra Gakkumdu.
Tulisan ini tentu saja tidak
berkepentingan meneruskan perdebatan tersebut, melainkan hanya sebagai ikhtiar kecil
untuk menjelaskan, bagaimana seharusnya kita secara bijak memosisikan Bawaslu
sebagai sebuah institusi yang di dalamnya ada institusi lain bernama Sentra
Gakkumdu, sebuah institusi yang berkemungkinan memiliki keputusan berbeda dari
keputusan atau temuan awal pengawas Pemilu, terkait soal tindak pidana Pemilu,
khususnya yang terkait dengan politik uang (money
politics).
Memperkuat Bawaslu
Membela Bawaslu bukan berarti
kita membenarkan atau menutup mata atas segala praktik politik uang yang
terjadi berulang-ulang di setiap hajat demokrasi. Kasus segudang gula pada
Pilgub 2013 yang lalu, lamat-lamat menghilang di tengah ingar-bingar pelantikan
setelahnya, kini gudang sarung, jilbab dan berbagai barang yang menghargai
suara rakyat dengan sangat rendah dari 'bos' yang sama kembali mengemuka, dan
barangkali memiliki potensi sama untuk menghilang.
Membela Bawaslu, karena kita
memahami bahwa sesungguhnya dalam hal penanganan pelanggaran tindak pidana pemilu,
Bawaslu tidak sendiri dalam lembaga bernama Gakkumdu, ada penyidik dari instusi
Polri dan penuntut dari Kejaksaan Agung RI, dua institusi yang juga sangat menentukan,
barangkali setara kebijakannya atau bahkan lebih kuat, karena penyidik dengan
kompetensi dan kapasitasnya sebagai penyidik yang tak dimiliki Bawaslu, bisa
saja mengatakan bahwa segala temuan dugaan pidana politik uang tidak memenuhi
unsur.
Diakui, bahwa kehadiran UU No. 7/2017
dalam beberapa hal memperkuat Bawaslu secara kelembagaan, seperti memperkuat
kewenangan Bawaslu dalam memutus perkara sengketa proses Pemilu, pengawas Pemilu
di tingkatan kabupaten/kota diubah menjadi badan dari sebelumnya sebagai
panitia pengawas yang bersifat ad hoc.
Namun, jika dicermati secara
seksama ada beberapa hal yang membuat Bawaslu 'seolah-olah' kuat tetapi
senyatanya tidak sehebat yang tampak, seperti ketika memutus pelanggaran
terhadap undang-undang ASN, keputusan Bawaslu hanyalah berupa rekomendasi.
Termasuk juga soal dugaan pelanggaran tindak pidana pemilu, politik uang.
Selama ini publik menilai bahwa
Bawaslu yang paling bertanggungjawab untuk menindaklanjuti dan memutuskan
pelanggaran tindak pidana pemilu. Ketika publik melaporkan dengan bukti-bukti
yang dianggap cukup atau telah memenuhi unsur, dan Bawaslu tidak memiliki
keberanian untuk membatalkan si calon terduga, maka Bawaslu dianggap
'bermain-main', 'masuk angin', tidak netral dan berbagai tundingan negatif
lainnya, tanpa berusaha memahami bahwa ada Sentra Gakkumdu yang memiliki
kewenangan 'lebih' untuk memutus apakah laporan tersebut memenuhi atau tidak
memenuhi unsur.
Di Gakkumdu yang memiliki
kewenangan 'lebih dan super' untuk memutuskan dugaan pelanggaran tindak pidana Pemilu,
memenuhi unsur atau tidak memenuhi unsur, sehingga laporan atau temuan Bawaslu
yang awalnya cukup diyakini telah memenuhi unsur, bisa dinyatakan tidak
memenuhi unsur, juga ada polisi dan jaksa. Arifnya, jangan semata hanya
menuding ke institusi Bawaslu sebagai lembaga pengawas, tetapi mestinya kita
lebih mawas dengan proses pengambilan keputusan di Gakkumdu yang memutus suatu
pelanggaran layak diteruskan atau tidak.
Terlebih lagi, ketika keputusan
untuk tidak melanjutkan kasus-kasus pelanggaran tindak pidana Pemilu seperti
politik uang tersebut, didasarkan pada pertimbangan keamanan, menghindari
kerusuhan dan sesungguhnya semua calon melakukan pelanggaran serupa, hatta publik yang meneriakkan upaya
pembatalan itu, akan semakin jauh panggang dari api.
Lantas?
Bubarkan Sentra Gakkumdu atau
jadikan penyidik dan penuntutnya benar-benar bekerja untuk Bawaslu, untuk
penegakan keadilan pemilu, penyidik khusus tindak pidana Pemilu. Jika penyidik
tersebut berasal dari institusi Polri, ia harus bebas tugas atau cuti sebagaimana halnya dengan penyidik yang ada di KPK.
Berikutnya, kita harus berani memulai
dari diri sendiri untuk menolak dan melawan politik uang tersebut, bukan atas
dasar pertimbangan, karena kebetulan calon yang kita dukung memiliki keuangan
yang lebih kecil lantas kita berteriak terhadap pelanggaran si calon yang
kebetulan logistiknya lebih besar, padahal diam-diam meski kecil-kecilan kita
juga melakukan hal yang sama, menyogok rakyat.
Emang, ada calon yang benar-benar
tak menyogok rakyat, tak mempraktikkan politik uang? Tengoklah nuranimu dan
jawablah dengan jujur.
Atau, jika memang kita lelah,
setelah satu setengah dasawarsa berharap dan menunggu, tak kunjung ada perubahan ke arah yang lebih baik dari
pemilihan kepala daerah langsung ini, baiknya kita teriakkan saja agar
pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, sembari meminta KPK langsung yang
mengawasi prosesnya.
Wallahu a'lam.
Sumber Foto: Fajar Sumatera
0 Comments: