Ketika setiap kali mengeposkan (memosting/memposting) status, membagikan
status orang lain atau berita, berbagi momen kebahagian seperti foto-foto
bersama atau swafoto di media sosial, apakah yang terlintas di benak kita?
Keinginan untuk mempengaruhi orang lain, pamer kesibukan, atau justeru
menyerang kelompok yang berbeda, unjuk kebolehan, mendulang simpati, berharap
pengakuan atau sekadar berbangga dengan ide dan pikiran-pikiran sendiri.
Pertanyaan itulah yang berusaha
untuk terus saya ajukan kepada diri sendiri. Sehingga akhirnya, saya berusaha
untuk menahan diri membagikan apapun di media sosial, selain dari membagi bahan
bacaan yang saya harapkan bermanfaat untuk orang banyak, meski barangkali itu
juga tidak bisa lepas landas dari keinginan-keinginan yang bisa mengotori niat
pertama, karena bisa memicu penilaian, sok
ideal, sok moralis, dan sok-sokan lainnya.
Namun,
biarlah. Berharap bisa tetap bertahan untuk tidak men-share apapun selain hal-hal yang bisa menularkan kebaikan,
memotivasi atau mengetuk peduli dari pembaca media sosial lainnya. Intinya
berusaha untuk dar'ul mafasid muqaddamun
'ala jalbil mashalih. (mencegah kemudaratan harus lebih didahulukan dibanding
menarik kemanfaatan).
Awalnya, saya berpendapat bahwa
adakalanya perlu juga menyerang kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan
saya, sebagaimana mereka juga seringkali menyerang secara membabi buta,
mengabaikan etika dan logika. Tetapi, akhirnya saya berpikir untuk apa?
Kepuasan tak diraih, justeru permusuhan dan benih-benih kebencian yang
berpotensi subur bersemi.
Pernah, suatu waktu saya
menjadikan media sosial sebagai semacam diary
atau buku catatan, buku catatan harian kala dulu masih usia sekolah, menuangkan
segala kelu-kesah, curahan hati, atau beberapa kenangan masa lalu yang berlatar
suka maupun duka, tetapi tetap saja memiliki ruang untuk diinterpretasi
menyindir, menyerang sehingga berakibat melukai perasaan seseorang. Duh, betapa susahnya bermedia sosial, di
tengah-tengah manusia yang baperan,
meski yang baperan ketika mengeposkan
status jarang berpikir sama, bahwa manusia lainnya juga baperan.
Seorang karib, menasehati, "peduli amat dengan penilaian orang lain."
Dulu, saya adalah orang yang tak pernah mau tahu, orang yang masabodo dengan penilaian dan perasaan
orang lain, terlebih jika hal tersebut dengan kehidupan pribadi dan prinsip
hidup, selama itu menurutku benar dan tidak kuniatkan menyakiti orang lain.
Belakangan? Sebenarnya masih,
meski aku berusaha keras untuk mengubah cara pikir itu. Terkadang gagal juga
untuk tak selalu mengindahkan setiap 'kecerewatan' orang lain, tetapi tetap sebisa
mungkin untuk tak menyakiti dan menambah jumlah daftar kebencian dan
orang-orang membenci, waktu teramat pendek untuk digunakan memelihara benci, usia
menjadi sia-sia untuk hanya dipakai menghadirkan kebencian yang ujung-ujungnya
melelahkan hati, memeras perasaan. Terbersit tanya, seberapa lama diri mampu
bertahan menyemburkan amarah dan kebencian? Untung apa yang didulang dari
kebiasaan terus menyerang dan memojokkan orang lain? Perubahan apa yang
didapat, dari mendebat dengan caci maki tanpa kasih?
Apapun dan dengan alasan apapun,
ambisi, benci, keserakahan dan keangkuhan tak pernah dibenarkan dan tak akan
pernah bisa membahagiakan. Cinta dan ketulusanlah yang pada akhirnya mampu
mempengaruhi dan merubah cara pikir dan perilaku orang lain, cintalah pada
akhirnya mampu menaklukkan tanpa harus menabuh genderang perang, dan cinta yang
paling rendah sebagai ikhtiar tak menyukai kemungkaran adalah mendoakan setiap
pelaku kejahatan dan kemungkaran untuk bertemu cahaya, jalan kasih dan
kebenaran.
Semakin sering kita menyebar
konten berisi kebencian dan caci maki terhadap kelompok yang berbeda dengan
kita, semakin tajam permusuhan dan
semakin dalam dendam yang akan kita dapat. Dan, yakinlah, pasti tak akan ada
secuilpun perubahan dan kebaikan dari segala perdebatan, diskusi yang di
dalamnya benci selalu dipupuk, kejumawaan dirawat dan kesombongan merasa selalu
benar, ditonjolkan.
Maka, untuk diri yang merindukan
ketenangan dan kebahagiaan, cobalah baca ulang status dan postingan kita di media sosial, pertanyakan dan jawablah dengan
jujur, apakah motif yang melatarbelakanginya.
Dan, kepada engkau yang pernah
tersakiti, dengan segala kelemahan dan kerendahan hati, maafkanlah diri ini
yang sedang belajar untuk berhenti membenci.
Tabik.
0 Comments: