Menolak
Pilgub ulang bukan berarti mengaminkan praktik kotor politik uang, berbeda
pandangan bukan berarti juga bermusuhan. Perbedaan dalam kontestasi politik
adalah membangun kompetisi untuk melahirkan kebaikan-kebaikan (fastabiqul khairat) untuk daerah, saling
mengenali gagasan masing-masing calon yang memiliki keinginan yang sama-sama
baik untuk membangunan daerah, terlepas kemudian ada cara-cara yang tak elegan
dan clean, akibat dari sistem sosial
yang masih permisif dengan laku pragmatis, konsumtif dan hedonis.
Bukankah
kita atau sebagian besar masyarakat kita, memang masih mengiyakan bahwa
orang-orang miskin yang memiliki gagasan tetapi tak memiliki modal memadai, tak
mungkin bisa memenangkan kompetisi dalam perhelatan demokrasi liberal, baik di
level pemilihan legislatif maupun eksekutif?
Persepsi
masyarakat dan konstruksi demokrasi kita paska reformasi terlanjur terbangun di
atas fondasi modal, popularitas bahkan isu SARA tanpa mempertimbangkan
kualitas, visi dan misi serta program-program bernas, dan sialnya mayoritas
masyarakat mengaminkan dan diam-diam mengharapkan 'kecipratan' materi dari proses
demokrasi yang dicita-citakan bisa menyejahterakan rakyat.
Lantas
bagaimana degan calon? Semua calon melakukan hal yang sama, mengiyakan dan melakukan
praktik kotor yang mencederai demokrasi. Kaum cerdik pandai yang menjadi
konsultan politik, melakukan survei dan menjadi tim sukses, juga ramai-ramai
merekomendasikan penggunaan sembako, uang, mobilisasi massa berkedok pengajian
dan wisata untuk mendapatkan kemenangan. Berbagai cara kotor dan tak beradab
dilakukan untuk menang.
Lampung Darurat Money Politics?
Iya.
Bahkan bukan hanya Lampung, seluruh sudut Indonesia mengalaminya. Dan kita
wajib prihatin dan menangis dengan kondisi bangsa yang semakin jauh memunggungi
cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia Raya.
Menjelang
tiga hari sebelum hari pemilihan. Ibu saya bercerita lewat sambungan telepon bahwa
di pulau saya yang terpencil, yang sebagian masyarakatnya masih melakukan
transaksi jual beli dengan sistem barter,
pulau yang terisolasi dan belum tersentuh listrik itu, sinyal telepon genggam
harus dicari dengan pergi ke pantai atau memasang antena tambahan yang sangat
tinggi, ternyata juga sudah mulai tersentuh oleh praktik politik uang tersebut.
"Alhamdulillah,
rumah kita dilewati," cerita Ibu.
Bukan
tanpa musabab. Sejak jauh hari, keluarga sudah menegaskan menolak dan
menyatakan haram memilih karena uang atau iming-iming materi. Sama halnya,
ketika saya dan kawan-kawan komunitas mengampanyekan gerakan
"gotong-royong melawan politik uang", pastilah berdampak tidak
tersentuhnya kami oleh gerakan bagi-bagi sembako yang dilakukan oleh tim sukses
calon. Segan dan barangkali khawatir, dampaknya
lebih buruk ketika memaksakan membagi 'uang' itu kepada mereka yang menolak.
Penolakan
yang dideklarasikan sejak awal, bukan setelah kalah. Bukan gerakan 'kagetan',
seperti pahlawan kesiangan di film-film India, yang datangnya selalu terakhir,
ketika korban telah banyak berjatuhan.
Kita
terlalu malas dan cepat merasa lelah untuk melakukan gerakan dan berdialog
terus menerus mencarikan solusi, agar bangsa ini keluar dari lingkaran setan
sistem politik dan kepartaian kita, sistem politik dan partai kita yang sedang kerasukan, sedang sakit parah.
Lampung
bukanlah satu-satunya, semua daerah kabupaten/kota di negeri ini telah
terwabahi penyakit akut ini. Pemberitaan dan perbincangan yang masif tentang
praktik politik uang di Lampung, adalah satu sebab mengapa Lampung, daerah yang
kita cintai ini menjadi sorotan dan disebut menempati posisi kedua atau pertama
dalam praktik politik kotor tersebut.
Sekali
lagi, menolak Pilgub ulang atau menolak ikut-ikutan mencaci maki penyelenggara
Pemilu tidaklah sama dengan menolak politik bersih, bebas dari politik uang. Tulisan
ini, adalah seruan agar kita kembali peduli untuk terlibat dalam dialog-dialog
aktif, menemukan formula agar demokrasi kita kembali ke khittah-nya, demokrasi pancasila, demokrasi yang mengembalikan kita
kepada tradisi, kebudayaan dan adat-istiadat bangsa ini, yang gemar
gotong-royong, bekerjasama dan bersama-sama kerja dengan tulus, tanpa pamrih.
Boleh
jadi kawan-kawan yang hari ini berjuang di jalanan, menulis dan berteriak untuk
Pilgub ulang, memiliki kekhawatiran Lampung ini akan dikuasai oleh mafia dan
pengusaha serakah adalah mulia, untuk kemaslahatan Lampung. Tapi, yakinlah merusak
Lampung tak semudah seperti yang dipikirkan, ada banyak orang-orang baik yang
juga peduli dan akan mencegah itu.
Jikapun
kekhawatiran itu perlu disuarakan, maka marilah bersama-sama kita inventrasir
kejahatan-kejahatan para pengusaha tersebut dan jika perlu kita usir mereka
dari bumi Lampung ini, karena telah membuat rakyat sengsara, tentu dalam konteks,
posisi dan porsi berbeda. Bukankah dulu, para mafia itu juga mendanai calon dan menjadi cukong di Pilgub
2013 yang lalu? Lantas, kenapa diam dan tetap memberikan ruang kebebasan, hingga
mereka tetap melakukan akrobat politik di Pilgub 2018?
Cukuplah
dana hampir Rp. 400 miliar dihabiskan dalam perhelatan Pilgub 2018 yang lalu.
Kita memang punya akal untuk merasionalisasi dan membenarkan setiap tindakan
dan pilihan-pilihan politis kita, tapi berilah ruang pada hati nurani untuk
menjadi pengadil.
Kecuali,
kita adalah orang-orang kalah yang khawatir kehilangan akses, terdepak dari
lingkar kekuasaan, dan masih terus-menerus berkhayal bisa menang, meskipun (mungkin) juga
dengan berbagai cara.
Tabik.
Sumber Foto: Fajar Sumatera
0 Comments: