Pada
suatu waktu, seorang sahabat Anshor pernah mendatangi Rasulullah SAW, lalu
mengajukan pertanyaan, "Ya Rasulullah, mukmin manakah yang lebih utama
(baik)?" Rasulullah menjawab: "Yang paling baik akhlaknya," lalu
sahabat tersebut kembali bertanya, "Lalu mukmin manakah yang paling
cerdas?" Nabi bersabda: "Mukmin yang paling banyak mengingat
kematian."
Hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dengan redaksi yang sedikit berbeda
"Yang paling banyak mengingat pemutus kelezatan," diriwayatkan pula
oleh Iman Nasai.
Hadits tersebut, menunjukkan bahwa ukuran kebaikan itu selalu terkait erat dengan keluhuran budi, kemuliaan akhlak, kesantunan sikap. Bukan pada rupa-rupa pencitraan 'kebaikan kagetan', tiba-tiba baik, tiba-tiba jahat, tiba-tiba dermawan, tiba-tiba serakah. Di satu sisi menampakkan citra gemar bersedekah, namun di sisi kehidupannya yang lain gemar menjarah.
Imam
Al Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin bahwa akhlak adalah sesuatu yang
mengacu kepada keadaan batin manusia (ash-shurat al bathina), yaitu perangai
(watak, tabiat) yang menetap kuat dalam jiwa seseorang secara mudah dan ringan,
tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya dengan kata lain perbuatan
itu lahir secara spontan, mudah, tanpa menghitung untung rugi.
Akhlak
mensyaratkan dua hal, spontan (ringan tanpa paksaan) dan stabil
(berkelanjutan). Akhlak merupakan kebiasaan bawaan (tabiat) bukan rekayasa dan
pencitraan, munculnya tidak hanya pada waktu-waktu dan tempat-tempat tertentu.
Semisal tiba-tiba menjadi baik, ketika musim pemilu dan maju sebagai kontestan
pemilu.
Menurut
Al Ghazali, ia adalah hay'a rasikha finnafs, keadaan jiwa yang mantap, bukan
pengetahuan apalagi semacam ilmu strategi pemasaran. Akhlak di samping sesuatu
yang 'given' dibawa dari lahir, ia dibentuk oleh perjalanan hidup seseorang,
ditunjukkan dengan konsistensi (sesuatu yang menetap).
Dalam
hadits di atas, hubungan kebaikan dan kecerdasan sangatlah erat. Jika akhlak
adalah soal kebiasaan spontan dan terus menerus bukan pengetahuan (teori), maka
kecerdasan juga sama sekali bukan soal retorika dan kepandaian berdalil dan
berdalih, tetapi tentang sebanyak-banyaknya mengingat pemutus kelezatan.
Sebagaimana
lanjutan hadits tersebut, bahwa mukmin yang cerdas itu adalah mukmin yang
paling banyak mengingat kematian (pemutus kelezatan) sehingga berdampak pada
kesiapan dan persiapan terbaiknya untuk menyongsong fase berikutnya, yang bisa
saja sama sekali tidak senikmat (selezat) kehidupan sebelumnya.
Dan
yang terpenting, ketika transisi (ketika proses mengalami diputus) dari
kelezatan itu digambarkan sebagai satu fase/waktu yang paling menyakitkan dari
segala hal yang menyakitkan.
Barangkali
setiap orang pernah mengalami satu fase di mana ia sedang klimaks, berada di
puncak kenikmatan dan sedang senang-senangnya, sangat cinta, sangat menikmati
(sedang sayang-sayangnya) kemudian 'dipaksa' harus berpisah, tentulah
perpisahan menjadi sesuatu yang sangat dibenci dan menyakitkan saat itu.
Dan,
semua kita meminjam istilah Soleh Solehun, adalah orang-orang yang memang
ditakdirkan untuk selalu harus merelakan perpisahan dengan orang atau sesuatu
yang kita cintai. Pasti!
Kematian,
sebagai pemutus kelezatan tentu akan lebih sangat menyakitkan.
Mengingat
pemutus kelezatan, kematian tentu bukan hanya soal ingat, datang ke makam
(kuburan), ziarah, melewatinya setiap hari, tapi mati rasa, tidak peka bahwa
kematian itu begitu dekat, tak pernah mengambil hikmah sehingga mendasari
setiap kebaikan sebagai investasi, menyambut fase setelahnya.
Akhlak
mulia yang lahir, adalah kebaikan-kebaikan yang 'given/tabiat' dan menjadi
karakter, bukan kebaikan musiman. Ia adalah kebaikan permanen (stabil dan terus
menerus) bukan mendadak baik di waktu dan tempat tertentu, spontan bukan
rekayasa (disesuaikan dengan strategi dan kebutuhan pasar).
Kebaikan, keluhuran budi dan kebermanfaatan seharusnya adalah
tabiat, karakter permanen, kecenderungan dan kegandrungan kemanusiaan, sikap
cerdas sebelum akhirnya sampai pada fase 'terputus' dari kelezatan hidup.
Sayang
'banget'kan jika kebaikan itu hanya menyebar perdapil dan musim pemilu aja!
0 Comments: