Ulama
berkumpul, mengambil sepakat dan merekomendasikan nama. Namun, apa yang terjadi
berikutnya? Kesepakatan ulama yang disebut ijtimak itu, alih-alih dijalankan,
dipertimbangkan sebagai prioritas utama saja tidak.
Sejak awal saya
memang tidak terlalu yakin dengan slogan yang bertaburan di media daring. Tagar yang dikampanyekan oleh salah
seorang tokoh politik sejak awal terendus sangat tendensius, beraroma eksploitatif
dan sarat kepentingan. Buktinya, apa yang disuarakan sejak awal jauh panggang
dari api. Ulama dipunggungi, calon yang akhirnya muncul tak sejengkalpun rekam
jejaknya terlihat membaur dalam shaf ummat
dan ulama.
Rekam jejak
keagamaan masing-masing calon dengan mudah bisa kita cari dan lacak secara
detail, termasuk juga sumber penyokong utama dana-dana kampanyenya.
Secara
oribadi, saya akhirnya harus terus menerus mencoba berdialog dengan nurani,
sebelum akhirnya sampai kepada kesimpulan; O, ini bukan pertempuran agama
versus non agama, bukan pertempuran si A dan si B, bukan soal kedaulatan yang
dipidatokan secara berapi-api, ini soal kepentingan, Barat versus Asia.
Dan, ummat
hanya sebagai tim 'hore', penonton yang terus menerus disuruh bertepuk tangan
atas 'kemenangan' yang bukan hanya fiktif tapi delutif!
Barangkali, modal (capital)
menjadi lebih penting menjadi pertimbangan daripada kesepakatan bersama (ijtimak) ulama, sembari tetap
berbasi-basi, 'bukan saya tak menghormati ijtimak. Lebih baik saya tidak maju
jika umat Islam harus terbelah, saya ingin Indonesia satu!" Atau
pernyataan seolah-olah tak ingin lepas dari identitas sebagai alat politik yang
terlanjur dibangun, dengan 'memaksakan' menyebut Sandiaga Uno sebagai santri
era pos-islamisme.
Namun, faktanya ijtimak ulama itu kini teronggok tak berguna,
tersingkir oleh mahar politik?
Dan, kita tak mungkin percaya jika ada ketulusan untuk menanggalkan
politik identitas, seperti yang menjadi alasan tak memilih ulama, sangat jelas
identitas-identitas yang dilekatkan kepada simbol-simbol keislaman itu, tetap
didekap erat-erat, seakan takut kehilangan basis massa yang terlanjur
dimobilisasi untuk kepentingan politik.
Politik identitas dan politisisasi Islam jelas dipertontonkan oleh masing-masing
calon dengan cara dan gaya berbeda. Meski semua mengklaim meninggalkan dan
menanggalkan itu. Praktik politik yang semakin menajamkan perbedaan dan
membelah kesatuan.
Untuk itu, sejak awal menemukan kesejarahan Islam politik yang lebih
banyak meninggalkan jejak permusuhan, saya akhirnya berkeyakinan bahwa pada
dasarnya politik Islam itu tidak ada, politik itu justeru menjadi pemicu
keterbelahan Islam. Kembalinya Islam politik justeru memunculkan perdebatan
lama mengenai relasi antara agama dan negara di Indonesia, sesuatu yang
sebenarnya sudah diselesaikan dalam diskursus Islam liberal dan civil society di awal Indonesia merdeka.
Para pendiri bangsa telah berhasil merumuskan dan menempatkan agama sebagai roh
dari gerakan sosial.
Agama (baca;Islam) dan politik perbedaannya cukup tegas, Islam untuk
semesta alam (rahmatan lil 'alamin),
politik untuk sekelompok aliran/partai (partisan), Islam menebar kasih, politik
menebar permusuhan dan mencipta lawan, Islam menganjurkan berlomba dalam meraih
kebaikan dan melarang mengejar jabatan, politik menggalakkan perlombaan meraih
kekuasaan dan jabatan.
Dinamika relasi agama dan politik yang tak menguntungkan itu, karena
cenderung mereduksi nilai-nilai universalisme Islam, telah memicu perdebatan
yang tak berujung. Paling tidak, dari dulu perdebatan soal relasi Islam dan
politik, telah memunculkan tiga aliran utama dalam tradisi intelektual muslim
dalam melihat Islam dan politik.
Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama
sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan
agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu
al-din waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi
logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban muslim untuk
menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam
konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah
(Rizwan, 2001).
Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara
Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya
memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara (Hasbi
Amiruddin, 2000). Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara
menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang
penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan
dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam
kultural dan menolak Islam politik.
Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama
sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak mengatur persoalan
ketatanegaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini
berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama
dan negara.
Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi
konsepsi kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Tokoh Islam seperti Abd al-Raziq menentang
keras dikaitkannya Islam dengan politik. Menurut beliau, Islam hanya sebuah
agama ritual, tidak ada sistem politik dalam Islam. Sistem politik Islam adalah
rekayasa para ulama di zaman ‘pertengahan'.
Muhammad Said al-Ashmawi, mengikuti jejak langkah Ali ‘Abd al-Raziq,
menyatakan bahwa Tuhan menginginkan Islam sebagai agama tetapi manusia
menginginkannya menjadi politik (araada
Allah li al-Islam an yakuna dinan, wa arada bihi al-nas an yakuna siyasatan).
Baginya agama itu universal sifatnya, sedangkan politik itu partikular dan
temporal. Maka keduanya tidak mungkin bersatu.
Maka, tak heran jika yang berkembang kemudian adalah adanya ikhtiar
secara sistematis untuk menjadikan Islam sebagai tunggangan dan alat untuk
berkuasa (politisasi Islam), Penggunaan simbol-simbol Islam sebagai alat untuk
kepentingan sendiri dan kelompok, untuk mendapatkan dukungan, legitimasi dan
mandat rakyat.
Jadi, tulisan ini hendak menegaskan bahwa tatanilai yang islami dan
lebih terhormat tidak melulu harus diperjuangkan dengan partai Islam, apalagi
jika keberadaan partai Islam telah mereduksi secara besar-besaran makna asasi
Islam, dan bahkan secara terang-terangan menjadikan Islam sebagai alat untuk
mendapatkan kekuasaan, mengorbankan ulama sebagai mainan, pendapatnya sama
sekali tak dianggap. Saatnya kita mengembalikan muruah ulama, dibela kapanpun bukan hanya pada saat punya
kepentingan politik.
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo, Kota Metro)
Comments
Post a Comment