Pada dekade 1990-an, isu identitas dan
subyektivitas pernah menjadi tema utama dalam studi kebudayaan di Barat,
terutama oleh kalangan regime of the self.
Secara konseptual subyektivitas dan identitas mempunyai hubungan yang erat dan
bahkan tidak bisa dipisahkan.
Chris Barker (2005) menegaskan, identitas
sepenuhnya merupakan suatu konstruksi sosial budaya. Tidak ada identitas yang
dapat ‘mengada’ di luar representasi atau akulturasi budaya. Identitas sangat
bergantung kepada bagaimana seseorang menjadikan identitas itu sebuah posisi
dan bukan esensi, sehingga orang itu dapat menjadi “siapa saja” dimana pun ia
berada. Sejalan dengan hal tersebut,
Stuart Hall dalam The Question of
Cultural Identity (1996), mengetengahkan bahwa setiap orang berhasil bersikap
aktif memproduksi makna identitas bagi dirinya, sehingga bisa menjadikan
identitas kolektif bias dan buram.
Hal tersebut berlaku atas identitas apapun,
termasuk identitas agama yang luhur, tercoreng karena tindak segelintir
terorisme yang memproduksi identitas agama berdasarkan pemaknaan kelompoknya. Para elit yang akrab dengan
simbol-simbol keagamaan justeru sukses mencitrakan agama lewat polah yang
garang penuh amarah, sehingga Islam gagal dipahami oleh publik sebagai rahmatan lil 'alamin.
Dalam konteks tersebut, buku Dari
Membela Tuhan Ke Membela Manusia; Kritik Atas Nalar Agamaisasi Kekerasan ini menemukan elan vitalnya, hadir sebagai
energi, pencerah, raushan fikr di tengah kegaduhan, berita palsu, ujaran kebencian dan kekerasan 'berjubah' agama yang
membanjiri ruang publik.
Aksin Wijaya (2018; 2) di buku ini
'menduga' kuat bahwa produksi identitas
agama yang kasar dan menakutkan itu, 'produsen' utamanya tercipta dari agamaisasi
kekerasan sebagai warisan dari cara menalar agama secara keliru, terutama dari
dua gerakan Islam masa lalu, Khawarij dan Muawiyah yang kini mewajah dalam gerakan
kolompok Wahabi dan Islamisme.
Menurut Aksin, mereka meyakini
dan merasa absah melakukan tindakan kekerasan mengatasnamakan agama dan Tuhan
lebih disebabkan cara mereka menalar Islam dan nalar keislaman yang
mengideologi.
Doktrin yang menggerus
nilai-nilai kemanusiaan itu, memang sering disajikan dengan tampilan menarik,
baunya menebarkan aroma surgawi, diracik dengan beragam bumbu kepentingan,
politik, kekuasaan hingga materi. Iming-iming tentang surga dan para bidadari
cantik yang siap melayani, beserta seluruh fasilitas lengkap penuh kemewahan,
menstimulus fantasi setiap orang yang memiliki tingkat pengetahuan rendah,
tetapi memiliki semangat berjuang membela agama/tuhan cukup tinggi.
Delusi
Rentetan kekerasan berbasis
agama, membuat kita susah untuk memisahkan jejeran konflik dan kekerasan yang
pernah terjadi di berbagai belahan dunia tersebut dari keterlibatan agama.
Barangkali, bagi yang terlibat dalam aksi-aksi kekerasan dan teror, terobsesi
(berhalusinasi) dengan surga yang dijanjikan, sehingga mereka sangat berhasrat dan
mengabaikan nalarnya, kegandurangan inilah yang Richard Dawkins istilahkan dalam buku The God Delusion, sebagai 'delusi'.
Kita bisa saja menolak pernyataan
Dawkins tersebut, tetapi ketika kita berhadapan dengan imajinasi-imajinasi
keberagamaan personal yang justeru mencipta berbagai kekerasan, agama yang
seringkali hadir sebagai biang kerok dari segala konflik, teror dan perang,
serta tampilan agama yang justeru lebih sering tampil menggerus nilai-nilai
kemanusiaan, membuat kita juga susah untuk membantah.
Aksin Wijaya dalam buku Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia ini,
hendak menjawab bahwa tidak sepenuhnya kekerasan bersandar kepada agama, dengan
mengetengahkan Islam Pluralis, sebuah kelompok Islam yang berwajah plural,
ramah, toleran dan damai.
Jika kelompok Khawarij dan Muawiyah,
mengkhayalkan surga dengan cara membunuh orang lain yang dianggap sebagai
sebuah kebajikan, menafsir teks-teks keagamaan berdasarkan amarah dan
kecenderungan syahwatnya, tanpa ada usaha sungguh-sungguh untuk belajar dan
memahami agama secara menyeluruh, mengklaim kebenaran dengan pemahaman literal,
yang akhirnya menjadi pemicu lahirnya kekerasan dan teror, bahkan sadisme dan
tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya, maka Islam Pluralis dengan
tokoh-tokohnya seperti Sa'id Al-Asymawi, Muhammad Abu Al Qasim Haj Hammad,
Muhammad Syahrur yang lebih menekankan ajaran kasih daripada jihad yang dibarengi kebencian, teror
dan kekerasan.
Islam pluralis, dalam pandangan
Aksin menggeser paradigma salah kaprah kaum Khawarij dari membela Tuhan menjadi
membela manusia, dari al haakimiyah
ilaahiyah ke al haakimiyah
bashariyah.
Cermin Retak?
Pelaku kekerasan berbasis agama
barangkali lupa bahwa kehidupan ini bukanlah sekadar hidup, melakukan kebajikan
secara personal lantas kemudian mati. Kehidupan adalah tentang bagaimana
membangun, mengelola dan merawat semesta dengan penuh kasih. Semua agama
memiliki doktrin suci, bahwa setiap orang bukan hanya bertanggungjawab atas
kebaikan dirinya sendiri, melaikan juga memiliki tanggungjawab untuk mengajak
orang lain melakukan kebaikan, menjaga keseimbangan semesta, merawat tumbuhan
dan hewan dengan penuh kasih.
Kitab suci merekam narasi
perbincangan Tuhan dengan malaikat tentang tujuan awal penciptaan manusia,
sebagai pengganti ciptaan Tuhan sebelumnya yang terbukti gagal mengelola alam
semesta. Kehadiran manusia dipercaya sanggup memimpin seluruh ciptaan Tuhan
yang telah ada sebelumnya, sekaligus merawat dan memeliharanya.
Di dalam al Qur'an terdapat
banyak ayat yang mengajarkan bagaimana manusia itu bertanggungjawab bahkan
bukan hanya kepada sesama manusia, tetapi kepada alam semesta untuk menebarkan
kasih sayang, menata laku agar lebih beradab. Menggelari 'khairu ummah (umat
terbaik)' dengan prasyarat bersedia menyeru manusia untuk berbuat kebajikan dan
melarang berlaku jahat. Entry pointnya,
agama hadir untuk mengatur dan mengelola kehidupan agar lebih baik dan beradab.
Kehidupan akhirat dalam doktrin
agama adalah ladang tempat memanen segala yang ditanam di dunia, menuai segala
yang ditabur dalam kehidupan. Tak mungkin jika menabur kebengisan menuai
keramahan, menanam angkara-murka memanen kasih-sayang.
Bahkan, pentingnya menjaga
hubungan baik sesama manusia untuk terus dijaga, sampai-sampai Tuhan
mewanti-wanti, bahwa jika manusia berbuat salah kepada-Nya, cukuplah manusia
datang dengan penuh penyesalan, mengakui kesalahan dan memohon ampunan, maka
Tuhan pasti memberikan ampunan-Nya. Berbeda halnya, ketika manusia berbuat
kesalahan kepada sesama manusia, maka Tuhan tak akan memberikan ampunan sebelum
ia meminta maaf kepada manusia yang telah ia sakiti dan dzalimi.
Sayangnya, doktrin suci agama ini
tak pernah dibaca dan dipahami dengan baik oleh banyak umat beragama. Manusia
sebagai ciptaan terbaik (homo sapiens)
mestinya khuruj (keluar) untuk
menebar kemanfaatan bagi manusia lainnya, bukan malah menyibukkan diri menata
dan membangun kesalihan personal, bertelengkup dalam simbol-simbol yang lahir dari
delusi.
Kesalahan memahami agama ini
bagai cermin retak yang memantulkan wajah agama yang bias. Agama yang
semestinya ramah, mengurus, melayani dan membela kepentingan manusia menjadi
seolah memosisikan Tuhan sebagai sesuatu yang butuh dibela, sukses mengagungkan
dan menyembah Tuhan di sisi lain, namun gagal memanusiakan manusia di lain sisi.
Akhirul kalam
wa 'ala kulli hal, buku ini berjasa
meretas kesimpang-siuran (bahkan menyelamatkan) agama sebagai 'lembaga' yang berkontribusi besar atas
kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dicitrakan/diproduksi oleh kelompok jihadis dan terorisme, dengan cara menarasikan agama yang ramah,
agama yang semestinya melayani dan membela manusia daripada membela dan
melayani Tuhan, karena Tuhan tak butuh dilayani dan dibela. Namun, di satu
titik buku ini tak bisa menghindarkan dirinya dari subyektifitas, terutama
ketika menghidangkan risalah kesejarahan Kawarij
hingga Wahhabi, ada banyak sanad yang
terputus sehingga terkesan memaksakan diri menyebut Wahabi sebagai Khawarij masa
kini.
Rahmatul Ummah, (Warga Pembaca
Buku, Menetap di Yosomulyo, Metro - Lampung)
Data Buku:
Judul Buku :
“Dari Membela Tuhan Ke Membela Manusia: Kritik Atas Nalar Agamaisasi
Kekerasan”
Penulis :
Aksin Wijaya
Penerbit :
Mizan, Cetakan I, Juni 2018
Halaman :
xxx+262 hlm.
0 Comments: