Sejak
terpilih dalam Pilkada 2015, Chusnunia Chalim menjadikan pengembangan
pariwisata sebagai salah satu fokus perhatiannya. Branding “Gotong
Royong Membangun Lampung Timur” menjadi titik kesadaran awal bahwa menata dan
mengelola Kabupaten terluas di Provinsi Lampung tersebut membutuhkan kerja
bareng-bareng, sinergi antarsektoral, baik pemerintah, swasta maupun
masyarakat.
Kompleksitas
problem Lampung Timur, dari soal infrastruktur hingga isu keamanan, adalah
beberapa kendala yang harus segera diselesaikan bersama. Potensi berupa
keindahan alam dan kekayaan budaya, belum tergarap secara maksimal, oleh karena
itu konsolidasi untuk penataan dan peningkatan kualitas infrastruktur penunjang
pariwisata, inventarisasi kebudayaan lokal, hingga konsolidasi komunitas warga
yang memiliki perilaku sadar wisata mutlak diperlukan.
Belajar Dari
Banyuwangi
Harus
diakui, bahwa apa yang saat ini berjalan di Lampung Timur, khususnya terkait
dengan agenda pariwisata banyak terinspirasi dari gerakan Abdullah Azwar Anas
di Banyuwangi. Kabupaten
Banyuwangi sebelumnya adalah kabupaten yang tertinggal dan miskin, hampir sama
dengan keberadaan Kabupaten Lampung Timur yang dikategorikan kabupaten
termiskin kedua berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 dengan
jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) sebesar 189.463. Ketika awal mula
Chusnunia memimpin Lampung Timur.
Padahal sebagaimana
Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Lampung Timur memiliki potensi wisata, kekayaan
budaya dan sumber daya alam yang luar biasa. Potensi objek wisata alam seperti Taman
Nasional Way Kambas (TNWK), Taman Purbakala Pugung Raharjo, Danau Way Jepara,
Danau Beringin Indah, Desa Tradisional Wana, Agrowisata Balai Benih Induk
Holtikultura Pekalongan, Pantai Karang Mas Muara Gading Mas Kecamatan Labuhan
Maringgai adalah merupakan objek unggulan di Kabupaten Lampung Timur, yang sebenarnya
telah dikenal secara nasional maupun internasional.
Maka,
sebagaimana Banyuwangi di bawah kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas yang terpilih pertamakali tahun
2010 sudah mencanangkan untuk mengembangkan pariwisata Banyuwangi ke tingkat
nasional dan internasional, dengan kampanye merk The Sunrise of Java, melakukan
konsolidasi antarsektoral untuk menggairahkan sektor pariwisata yang
menonjolkan atraksi budaya dan keindahan alam, lewat berbagai even besar
seperti Banyuwangi Ethno Carnival, Paju Gandrung Sewu,
Banyuwangi Beach Jazz Festival, Ijen Jazz Festival, Festival Kuwung, dan Tour de Ijen.
Hal itu juagalah yang menjadi agenda besar Chusnunia
Chalim, dengan melakukan konsolidasi utama antarsektoral dengan membangun
spirit kebersamaan, menanamkan dalam benak setiap warga untuk peduli dan bangga
terhadap daerahnya, bersama menghapus image dan streotype negatif sehingga
Lampung Timur mampu bangkit sebagai daerah maju, sejahtera dan berdaya saing.
Setiap warga
wajib berpikir, bahwa kehadiran wisatawan sebagai tamu adalah berkah yang
mendatangkan rezeki, mendorong ekonomi daerah untuk terus bergerak, berbagai
usaha-usaha kreatif bisa tumbuh dengan baik, seperti rumah makan, penginapan, home
stay, tour guide, usaha-usaha aksesori dan produk lokal, bisnis dan agen travel
hingga lapangan-lapangan kerja/usaha secara otomotis akan terbuka lebar.
Meski tentu
saja, pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan mudah dan ringan, perlu waktu
bertahun-tahun untuk mengubah image negatif
yang terlanjur terbangun, ditambah dengan kebiasaan mayoritas masyarakat yang
terjebak pada kultur instan, serba ingin cepat, tak sabaran dan tak tahan
lapar, namun bukan berarti mustahil jika dilakukan terus menerus, setahap demi
setahap, dan tetap setia memeluk mimpi-mimpi tentang Lampung Timur berdaya,
rakyatnya maju dan sejahtera.
Dan, faktanya Chusnunia Chalim mampu menunjukkan itu
lewat kerja nyata. Siapapun, yang pernah datang ke Lampung Timur sebelum dan
setelah kepemimpinan Chusnunia Chalim pasti merasakan perbedaan tersebut,
termasuk perkembangannya yang cukup pesat, bukan hanya secara statistik bisa
ditunjukkan dengan angka naiknya jumlah wisatawan, tetapi secara kultur dan
kebiasaan masyarakat pun berangsur membaik, menjadi ramah, meski belum merata. (Baca; Bambang Suhada, Pariwisata dan Lokomotif Perubahan Lampung Timur).
Kita berharap, strategi dan tangan dingin Chusnunia
itu mampi diteruskan pada level provinsi, yang disupport oleh seluruh kepala
daerah yang ada di Lampung.
Pariwisata dan
Identitas Daerah
Meski tak
pernah tuntas dan belum selesai memahami makna filosofis piil pesinggiri
sebagai identitas ke-Lampung-an, namun penulis begitu yakin bahwa seluruh
turunan nilai dari piil pesinggiri, seperti nemui nyimah, nengah nyeppur, sakai
sambayan dan bejuluk adek memiliki akar sejarah yang kuat dan memiliki nilai
yang luhur lagi mulia.
Penelusuran
terhadap warisan leluhur ulun Lampung yang dermawan terbukti dengan banyaknya
tanah yang diwakafkan (dihibahkan) untuk kepentingan kolonisasi dan
transmigrasi, eksistensi beragam suku pendatang di Lampung, termasuk di Lampung Timur
dan akulturasi budaya, menunjukkan bahwa prinsip-prinsip nengah nyeppur (pandai
bergaul, terbuka dan toleran), nemui nyimah (mampu menjaga silaturahim), sakai
sambayan (gemar bergotong royong dan menolong) adalah identitas daerah yang
memiliki akar sejarah yang kuat.
Pengaburan dan
keretakan makna atas piil pesinggiri adalah karena pasifnya orang-orang Lampung
yang baik, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari mereka yang justeru sering
direfresentasikan sebagai keseluruhan Lampung. Hal ini sejalan dengan apa yang
diketengahkan oleh Stuart Hall dalam The
Question of Cultural Identity (1996) bahwa setiap orang berhasil bersikap
aktif memproduksi makna identitas bagi dirinya, sehingga bisa menjadikan
identitas kolektif bias dan buram. Hal tersebut berlaku atas identitas apapun,
termasuk identitas agama yang luhur, tercoreng karena tindak segelintir
terorisme yang memproduksi identitas agama berdasarkan pemaknaan kelompoknya.
Maka, untuk memaknai kembali kesejatian identitas
Lampung, parawisata menjadi anak tangga pertama yang harus memberikan jaminan.
Pariwisata yang tidak hanya sekadar dimaknai dengan mengundang wisatawan untuk hadir ke
Lampung, tetapi yang terpenting adalah mengenalkan keluhuran tradisi dan budaya
Lampung dari dekat.
Sepanjang kepemimpinan Chusnunia
Chalim sejak 2015 yang lalu, Kabupaten Lampung
Timur telah sukses dua kali menggelar Festival Way Kambas dan beberapa festival dan agenda wisata lainnya, kita berharap ke depan festival-festival tersebut bukan hanya soal kesenian
dan ritual, tetapi juga festival yang mampu menyasar aspek-aspek lain, seperti keramahan, kebersihan, bahkan
tradisi-tradisi warisan leluhur yang penuh adab dan kesantunan, termasuk
tradisi mengan dan nyeruit.
Festival Way Kambas dan festival-festival lainnya, dengan demikian tidak hanya menjadi agenda pariwisata, dalam beberapa kasus, tetapi festival ini juga harus menjadi media kampanye awal untuk meng-invensi tradisi baru yang dikembangkan dalam rangka meramaikan dan menyemarakkan agenda-agenda berikutnya.
Festival Way Kambas dan festival-festival lainnya, dengan demikian tidak hanya menjadi agenda pariwisata, dalam beberapa kasus, tetapi festival ini juga harus menjadi media kampanye awal untuk meng-invensi tradisi baru yang dikembangkan dalam rangka meramaikan dan menyemarakkan agenda-agenda berikutnya.
Dalam konteks yang pernah dilakukan oleh Abdullah Azwar
Anas di Kabupaten Banyuwangi, paradigma
yang dikembangkan adalah mentransformasi secara lentur ke-eksotis-an Budaya Osing dalam bingkai karnaval yang secara visual bisa
menghadirkan kekaguman pengunjung. Dengan paradigma itu, semua keunikan
kultural akan diinkorporasi dan dikomodifikasi sebagai bahan mentah untuk
fashion dan diproduksi-ulang dalam bingkai yang lebih mengglobal.
Maka dalam konteks Festival Way Kambas, identitas bukan lagi
diposisikan sebagai inti yang tidak bisa ditafsir atau dimaknai-ulang, tetapi
sebagai entitas lentur yang bisa disajikan untuk mendukung kepentingan ekonomi daerah
yang diarahkan pada tujuan kesejahteraan rakyat.
Tentu tidak menjadi tabu dan haram jika mengagendakan festival baik di Lampung Timur, maupun festival di semua daerah di Lampung (terkhusus dan utama Festival Krakatau) mengusung tema yang berbeda dari tahun ke tahun, sesuai dengan kekayaan, karakter budaya dan daerah di Lampung, terlebih Chusnunia kini menjadi Wakil Gubernur Lampung terpilih.
Tentu tidak menjadi tabu dan haram jika mengagendakan festival baik di Lampung Timur, maupun festival di semua daerah di Lampung (terkhusus dan utama Festival Krakatau) mengusung tema yang berbeda dari tahun ke tahun, sesuai dengan kekayaan, karakter budaya dan daerah di Lampung, terlebih Chusnunia kini menjadi Wakil Gubernur Lampung terpilih.
Tabik
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo, Metro - Lampung)
0 Comments: