Tak banyak
orang yang memahami dan mendalami filosofi hidup orang Lampung, sehingga
filosofi hidup sebagai laku nilai dan entitas budaya jarang dikenali dan tersosialisasikan
dengan baik. Kebanyakan orang hanya tahu tentang piil, itupun dengan pemaknaan beragam dan cenderung salah tafsir,
karena piil sesungguhnya memiliki
arti sebagai perilaku baik atau positif.
Piil yang
sering disebut-sebut sebagai harga diri, sesungguhnya adalah penggalan dari
filosofi hidup piil pesinggiri yang wajib diikuti oleh filosofi
turunannya seperti juluk-adek, nemui-nyimah, nengah-nyappur dan sakai-sambaiyan
(Abdul Syani, 2013). Secara ekstrim bisa dikatakan tak ada piil
pesinggiri tanpa juluk-adek, nemui-nyimah, nengah nyeppur dan sakai
sambaiyan.
Piil
pesinggiri sendiri
adalah bentukan dua kata, piil yang berarti perilaku dan pesinggiri yang
berarti bermoral tinggi, berjiwa besar, tahu diri, dan tahu hak dan kewajiban,
hatta piil pesinggiri memiliki makna tentang perilaku hidup bermoral,
berjiwa besar dan paham hak dan kewajiban yang merujuk pada juluk-adek
(gelar adat), nemui-nyimah (ramah terhadap tamu atau suka bertamu), nengah-nyeppur
(suka bergaul dan toleran terhadap sesama), dan sakai sambaiyan (suka
membantu dan bergotong royong).
Sesungguhnya
tiga turunan filosofi hidup orang Lampung (nemui-nyimah, nengah-nyeppur dan
sakai sambaiyan) yang merupakan dasar dari piil pesinggiri bisa
menjadi jawaban atas keragaman etnik dan suku yang hidup dan berkembang di
Lampung, sehingga sangat naif jika ada yang beranggapan bahwa orang Lampung
intoleran, kasar dan tak mudah bergaul.
Pilihan filosofi
hidup yang lahir sejak pertama orang Lampung mengukuhkan identitas
ke-Lampung-annya, tentu saja adalah pilihan yang mengakar kuat pada sejarah
tradisi para leluhur, yang gemar menolong (sakai-sambaiyan), menjaga
silaturahim (nemui-nyimah), terbuka dan toleran, suka bergaul dengan
kelompok dan golongan apapun (nengah-nyeppur) tanpa harus kehilangan
identitas (juluk-adek).
Konstruksi
falsafah hidup yang mengandung prinsip dan nilai-nilai yang luhur tentang
tata-cara menjalani hidup ini, tak seharusnya hadir di ruang hampa hanya
mengisi ruang-ruang ide dan konsep, falsafah hidup yang lahir sebagai sikap
terhadap kehidupan ini harus menjadi metanarasi yang diterapkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Kehadiran filsafat piil pesinggiri tidak
boleh hanya dalam pikiran,
melainkan harus hadir dalam keseharian, dalam lingkungan untuk
mencipta keharmonisan dan
kemakmuran.
Nengah-Nyeppur dan
Keragaman
Keragaman
adalah sesuatu yang niscaya dan tidak mungkin dihindari. Keragaman itu bahkan
lebih tua usianya dari manusia, yang ketika lahir juga telah lahir dengan
segenap keragaman. Untuk itulah, hampir semua agama dalam kitab sucinya sangat
akomodatif dengan isu-isu keragaman ini.
Keragaman
lahir dari kesengajaan Tuhan sebagai jalan manusia untuk saling kenal dan
memahami, belajar mencipta harmoni, memadu nada dan menata ritme hidup agar
lebih indah. Namun, dalam perkembangannya manusia melakukan pengingkaran dan
pengkhianatan terhadap fitrah alam sehingga keragaman justeru akhirnya memicu
konflik dan benturan.
Maka tak ada
jalan, selain kembali kepada fitrah alam dan ajaran suci manusia, para manusia
yang hidup dalam struktur sosial, suku dan agama yang beragam, juga harus
kembali pada ajaran yang ditinggalkan para leluhurnya, tentang filosofi hidup
tentang kesetiakawanan, solidaritas dan sikap saling menghargai.
Di Lampung, prinsip
hidup nengah-nyeppur merupakan petunjuk bahwa sesungguhnya orang Lampung
memiliki tradisi yang terbuka dan supel, sikap mudah bergaul yang terdapat
dalam filosofi nengah-nyeppur tidak mungkin dimiliki oleh pribadi yang
tertutup, kasar dan egois.
Dalam banyak
catatan sejarah, para leluhur orang Lampung adalah orang-orang yang memiliki
kedermawanan dan suka menolong, ada banyak tanah yang dihibahkan dan diwakafkan
untuk kepentingan kolonisasi di Zaman Belanda dan kepentingan Transmigrasi
setelah kemerdekaan.
Saya
beberapa kali mendapatkan cerita tentang fakta sejarah itu, bukan hanya dari
mereka yang asli beretnis Lampung, tetapi juga dari beberapa etnis lain yang
ada di Lampung, termasuk dari etnis Tionghoa. Mereka menjelaskan bahwa mereka
secara rukun belajar bersama meracik obat dari berbagai macam tanaman yang
subur tumbuh di tanah Lampung termasuk belajar beladiri, dan membangun rumah
bersama.
Namun, kini
nilai-nilai itu hampir punah. Tentu saja penyebabnya banyak faktor, yang salah
satunya adalah ketaatan pada prinsip untuk saling menghargai dan menghormati,
sikap tertutup dan saling mencurigai yang banyak dilatarbelakangi oleh
kesalahpahaman karena jarangnya interaksi dan komunikasi di ruang bersama yang
guyub, egaliter dan nyaman.
Maka, di
titik inilah penting tesis Habermas (1989) tentang
perlunya menghadirkan kembali ruang publik untuk mengatasi kebuntuan perbedaan kepentingan dan
menemukan konsensus bersama. Homogenitas dalam
rupa identitas kolektif bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja oleh
sejarah. Identitas itu bisa muncul dari isi cair suatu proses sirkular yang
berlangsung melalui pelembagaan komunikasi para warga.
Nengah-nyeppur sebagai identitas ke-Lampung-an akan kehilangan
maknanya sama sekali, jika hanya ada dalam konsep tetapi tidak pernah
dipratikkan. Orang akan memiliki kesulitan memahami atau bahkan cenderung gagal
paham, bahwa orang Lampung itu ramah, mudah bergaul, suka membantu, setiakawan,
berjiwa besar dan menjunjung tinggi moralitas, jika filosofi hidupnya hanya
dibacakan dan diwicarakan.
Maka, sudah saatnya kembali menjadikan Lampung yang damai dan indah,
menghadirkan ruang publik yang harmonis dan hangat.
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo, Metro - Lampung)
0 Comments: