“Akan tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang
rabbânî dengan apa yang engkau senantiasa ajarkan dari Al-Kitab, dan dengan apa
yang kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran [3]: 79)
Pagi yang indah, lahir dari
harmoni. Syahdu kicau burung, bening bulir embun, hangat sinar mentari, sejuk
udara pagi dan hati yang bahagia. Keragaman semesta dan kelapangan jiwa,
disempurnakan dengan kesyukuran dan baik sangka. Setiap anasir bekerja tanpa
dengki, menjegal terlebih menjatuhkan.
Nyayian syahdu dan kepak sayap
burung, bertengger indah pada ranting pohon, menjatuhkan tetes embun yang
menggenang di daun, hangat cahaya matahari pagi mengembangkan senyum kelopak
mawar, belai lembut angin menerbangkan serbuk sari hingga bertemu kepala putik.
Burung tak berharap jadi bunga, bunga tak bermimpi menjadi mentari, mentari pun
tak pernah iri kalah cantik dari melati.
Setiap ciptaan hidup dengan
kelebihan sekaligus kekurangannya. Penderitaan lahir karena raibnya rasa
syukur, menolak apa yang menimpa raga, membayang keju kala menikmati singkong,
berharap tuah air putih di tangan berubah arak kala diteguk.
Kebahagiaan dan keindahan bukan
produksi pikiran, kebaikan dan kebenaran tidak lahir dari kecerdasan akal. Banyak
jelata yang buta aksara tak kalah beradab dari yang berpengetahuan tinggi,
mereka mereguk bahagia meski berpagi dengan sepinggan singkong goreng dan
secangkir kopi pahit, mereka tak diburu jam kantor apalagi digulung cemas
kemacetan jalan, meski hanya tinggal di rumah sederhana di pinggiran kota yang
jalanannya becek kala hujan.
Kebahagiaan adalah selaksa
kesadaran menjadi siapa dan apa, titik lebur akal pikiran dan hati atas apa
yang menimpa raga, suka-duka disikapi sebagai siklus hidup biasa dan niscaya, serupa
air tenang menerima apa saja yang menimpanya, menenggelamkan segala sesuatu,
dan menyisakan riak lingkaran di permukaan yang perlahan menipis kemudian
hilang.
Ikhtiar menjadi baik adalah
ikhtiar mengumpulkan kesadaran bahwa tiada yang abadi, baik dan jahat, bahagia
dan derita, datang dan pergi silih berganti. Semakin sedikit menyalahkan dan
menyibukkan diri untuk mengurusi kesalahan orang lain. Terkadang ia setia
menjadi murid, belajar terus menerus menyempurnakan sikap, menambal kelemahan
yang tak pernah habis, membaca tiada henti, bertanya tiada batas, mencari
jawaban hingga ke seberang.
Terkadang pula, bersikap layaknya
guru, bertindak sebagai teladan, sikap dan ucapnya layak digugu dan ditiru, tak
berucap kasar apalagi mencela, tak memanggil dengan panggilan buruk.
Muhammad SAW memberi contoh, baik
baginya tak selalu, jahat juga begitu. Setiap orang berkesempatan menjadi apa
saja, yang baik sangat mungkin bisa menjadi jahat, seperti sejawat yang diuji
harta tak kuat. Yang jahat tetap berpeluang menjadi baik, sebutlah misal
sahabat Umar yang bertobat dari jalan sesat.
Barangkali, banyak orang yang
mempersepsikan laut biru nan lembut. Tetapi, laut bukanlah bentang biru
membayang cakrawala indah semata, laut juga adalah debur ombak bahkan amuk
gelombang yang berbahaya.
Begitu juga hidup yang tak melulu
tawa, tetapi juga nestapa yang mengundang duka. Setiap kali berjumpa turunan,
mestilah diri bersiap, di hadapan tanjakan menghadang. Pejuang pastilah surut
berpantang, bukan meminta jalan lurus lapang terbentang melainkan kaki kokoh,
kuat dan tak gampang meradang.
Duhai syahwat yang menyempitkan hati
dan mengerdilkan pikiran, kubuatkan kau anjungan sebagai 'suporter', di
sekeliling kelapangan hati tanpa dengki dan dendam, menyemangati setiap jiwa
yang saling memaafkan, menebar peduli dan kasih, menghindarkan penyesalan
sebagai kobar neraka yang paling menyesakkan.
Jumat Pagi, 05 Oktober 2018
Rahmatul Ummah
0 Comments: