Satu
waktu, seorang kawan pernah mengatakan, "saat elo meminta pertolongan atau mengajukan permohonan bantuan kepada
seseorang, maka pertanyaan yang wajib elo
jawab, kenapa orang itu harus membantu
elo? Apa pentingnya elo atau
kegiatan elo buat dia?"
Hah?
Terdiam. Hampir satu menit, aku tak memberikan respon apa-apa, sebelum akhirnya
kawan tadi melanjutkan. "Ya, iyalah.
Coba elo bayangkan, seseorang
tiba-tiba datang membawa proposal, bicara panjang lebar soal kegiatan yang akan
ia laksanakan, kemudian direspon hanya dengan pertanyaan singkat dari pihak
yang diminta menjadi sponsor atau donatur tersebut, 'apa penting atau untungnya buat gue dan perusahaan gue?'
Mutualisme!
Ya, kawanku ini sedang bicara tentang hubungan timbal balik yang saling menguntungkan,
sekaligus menegaskan di aliran pemikiran mana ia berdiri!
Aku
tak ingin membantah soal pernyataan tersebut, dan juga tak ingin membahas soal
aliran pemikiran mana yang menjadi kiblatnya menentukan sikap, karena betapapun
semua aliran pemikiran memiliki kebenaran dan subyektifitas masing-masing.
Terlebih, tentang urusan bisnis yang selalu berhitung untung-rugi, dan nyaris
seluruh sendi kehidupan dikalkulasi dengan bisnis. Berteman, bergaul dan
berinteraksi setiap hari, hampir setiap orang tak bisa meninggalkan dan
menanggalkan 'baju' apa dan siapa!
Teramat
langka menjumpai orang, yang mau berinteraksi secara telanjang, tanpa asesoris
status sosial, kaya-miskin, elit-alit, baik-buruk, pandai-pandir, bersih-kotor.
Berteman harus dengan alasan, saya berkawan dengan dia, karena orangnya baik,
karena orangnya santun, karena orangnya keren, karena orangnya pintar, karena
orangnya relegius, karena orangnya bersih, dan seterusnya.
Lantas,
kenapa kamu tidak lagi berkawan dengan dia? Karena tak cocok, karena dia nyebbelin, karena dia sok pinter, dan seterusnya. Selalu ada
apanya, bukan apa adanya. Doktrin teologis seolah menjadi pembenaran untuk
memilih dan memilah kawan, 'jika engkau
ingin melihat akhlak seseorang lihatlah siapa temannya," atau mahfudzat
(bukan hadits) yang terkenal, "berkawan dengan tukang las ikut berbau
karbit, berkawan dengan tukang minyak wangi, berbau harum!"
Kelirukah
kehidupan seperti itu? Keliru, benar dan salah itu hanya lahir dari penilaian,
tak ada yang sepenuhnya keliru, pun tak ada yang selamanya benar. Hidup harus
dijalani dengan lentur, terkadang selektif berkawan adalah perlu, tetapi di
lain waktu harus siap guyub dengan
siapa saja. Bahwa, keseluruhan manusia, senyatanya adalah gambaran setiap
individu. Aku terkadang adalah sia A yang baik, aku juga si B yang jahat, aku
si C yang emosional, aku si D yang sombong, dan lain-lain.
Berhitung
untung-rugi, tak selalu keliru. Namun, bisa menyeret pada lorong buntu, ketika
kita perlu di kala orang lain tak perlu, pertanyaan singkat, apa untungnya buat
gue? tentulah menyisakan sakit di
hati, serupa diiris sembilu. Artinya, jika ingin membantu, tak perlu banyak
alasan, berbuat baik tak perlu berharap kebaikan serupa membalik, bantu ya
bantu saja, kebaikan ya kebaikan, tak memiliki ketergantungan terhadap apapun!
Tak
ada sesuatupun di dunia ini yang memiliki sifat tunggal, mutlak selalu memiliki
dua sifat bertentangan. Lihatlah, orang mengeluh karena hari sedang hujan, yang
lain mengeluh karena tidak hujan.
Matahari disambut dengan senyum oleh seorang, akan tetapi disambut
cemberut oleh seorang lainnya. Baik buruk, dikalkulasi berdasarkan untung rugi.
Tahi kerbau, pastilah buruk ketika dinilai oleh orang yang tak bisa mengambil
keuntungan dari tahi kerbau itu, tetapi betapa tahi kerbau itu membawa
keuntungan bagi kerbau, karena jika tak dikeluarkan, bisa menjadi penyakit yang
menyebabkan kematian, tahi kerbau yang meresap ke dalam tanah, tentu juga baik
bagi tanah sebagai pupuk yang menyuburkan.
Hidup
tak mungkin bisa dijalani di satu sudut dan berdasarkan satu sudut pandang,
kita memerlukan kalimatun sawa' (common
platform), menepis sedikit perbedaan dan menemukan banyak titik temu,
tentang fitrah kemanusiaan yang hanif,
kecenderungan (gharizah).
Kata
seorang kawan, "olahlah kawan yang
layak diolah, bantulah kawan yang layak dibantu!" pendapat ini
tentulah bukan rujukan, karena kalimat itu tak berasal dari kitab suci, tetapi
memosisikan setiap orang sesuai kompetensi dan kapasitasnya tentu tak
bertentangan dengan kitab suci.
Kitab
suci, bicara soal kelapangan hidup seluas langit dan bumi, di mana hati selalu
berterima kasih, berbagi kasih atas apa yang diterima, di kala longgar maupun
sempit, menundukkan amarah, memaafkan segenap manusia, sehingga tak seorang pun
dipandang bersalah, nrimo atas lakon
yang diamanahi, tak menuntut lebih, tak berharap banyak, meminta maaf dan
memohon ampun atas segenap khilaf dan
dosa.
Bukankah
umat terbaik (khairu ummah) mesti khuruj (keluar) menemui manusia untuk
menganjurkan mereka berbuat, memberi penerangan agar mereka tak keliru jalan,
dan mengimani ajaran-ajaran Tuhan?
Jika
menjalani hidup secara kaku, betapa ekslusifnya kehidupan, pun termasuk
kehidupan orang-orang yang mengklaim hidupnya inklusif, hanya berkawan dengan
manusia yang setipe, yang menguntungkan.
Tentu
engkau tak ingin, ketika suatu waktu butuh teman untuk ngobrol, dia menjawab, 'gue enggak
merasa diuntungkan ngobrol dengan
elo!". Maka, mulai pelan-pelan menggeser
cara pikir untung rugi itu. Kebaikan itu adalah karakter permanen, dan tentu naif mendasarkannya kepada kalkulasi
untung rugi!
Wallahu a'lam.
0 Comments: