Di
era yang segalanya menjadi kabur (baca; dikaburkan), publik semakin sulit
mencari panutan. Fitnah seakan menjadi amanah, hoax dipungut semacam maklumat yang wajib disebar, tiada lagi
ketelitian dan kejelian, tertutupi kebencian dan kedengkian. Benar dan salah diverifikasi
hanya dengan jalan, segolongan atau bukan. Jika bukan segolongan, maka tampak
semua lakunya seperti setan, jika segolongan, salah pun tetap dibela seolah
membela kepentingan Tuhan.
Ayat
suci dibaca sambil lalu, dikumandangkan dari disk melalui corong-corong masjid menjelang waktu salat, sesekali
dikutip terjemahannya di atas mimbar, ditafsirkan sekehendak hati tanpa
rujukan. Ayat-ayat pendek dibaca terbata-bata, dengan bacaan belepotan. Setelahnya, tanpa beban
mendaku mubaligh, mengaku ustadz,
mendaulat diri sebagai kyai, padahal yang disampaikan hanyalah hasutan,
alih-alih menjadi amal saleh bermakna sebagai pengetahuan pun tidak.
Ulama
bukan sekadar orang 'alim, tetapi
juga ahlul hikmah, tuturnya
menyejukkan penuh kearifan. Ulama adalah waratsatul
anbiya', ia menyadari tugasnya sebagai pewaris para nabi, menyiarkan
risalah kenabian, rahmatan lil 'alamin.
Ia sangat berhati-hati, takut apa yang disampaikannya menyimpang dan
meninggalkan jejak kesesatan bagi umat.
Dalam
Al-Qur’an, surat Fathir : 28, Allah berfirman
انمـا يخـشى اللـه
من عبـاده العلمــاء
“Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘ulama’."
Dalam
Tafsir al Munir, Syeikh Wahbah Az-Zuhaily
bahwa menegaskan bahwa ulama bukan hanya soal kepakaran, tetapi juga pribadi yang
memiliki rasa takut kepada Allah. Muhammad Asad dalam The Message of the Quran (2017: 842-843), menerjemahkan ulama sebagai
orang-orang yang dianugerahi pengetahuan bawaan, yakni pengetahuan spritual
yang lahir dari kesadaran bahwa fenomena yang teramati tidak dapat menunjukkan
keseluruhan realitas, karena ada 'hal-hal yang berada di luar jangkauan
persepsi makhluk.
Imam
Al-Ghozali, dalam Ihya 'Ulumuddin
mengatakan, bahwa ulama sebagai waratsatul anbiya' harus memiliki delapan
karakter utama, pertama, 'alim, ilmunya
mendalam dan luas; kedua, 'abid,
tekun dalam beribadah, baik yang wajib maupun yang sunnah; ketiga,
zahid, ia membatasi diri dari selera kebutuhan materi; keempat, faqih, mengerti tentang kemaslahatan umat di dunia; kelima, khosyah, takut yang mendalam
kepada Allah; keenam, wara‘,mawas
diri terhadap semua hal yang dilakukan; ketujuh,
tawadlu’, rendah hati, bersikap dan berperilaku santun; dan kedelapan, khusyu’, bersikap tenang,
tunduk dan patuh hanya kepada Allah.
Imam
Al Ghazali menyebutkan, jika ada ulama yang suka menyalahgunakan ilmunya untuk
tujuan duniawi (kekayaan, kekuasaan, dan ketenaran), ucapnya tak sesuai
sikapnya, sombong dan suka merendahkan, sering menganggap dirinya paling benar dan
paling baik, suka dipuji dan diagung-agungkan, mempunyai karakter hasud, ‘ujub, riya’ dan mementingkan
pristise, mengukur pengabdiannya dengan imbalan materi atau jabatan (transaksional),
maka tentulah ulama itu adalah ulama su',
tak boleh diikuti.
Gambaran
Al Ghazali di atas, bisa menjadi suluh bagi kita di dunia yang makin
remang-remang, untuk pandai memilih dan memilah, ulama mana yang layak ujarnya
menjadi ajaran, tak sekadar melihat pada tampilan luarnya, tidak juga pada kefasihannya
melafadzkan ayat, lebih-lebih tak fasih dan tak paham makna ayat yang
diucapkannya, melainkan juga melihat akhlaknya, sifat kasihnya, nasihatnya tak
berisi hasutan, khutbahnya tak menebar fitnah, ceramahnya tak mengandung amarah.
Ulama
yang tekun mengaji (baca; mengkaji) bukan memenggal ayat dan menyampaikan
sesuai seleranya, tak gampang menjatuhkan vonis murtad dan kafir. Bukan pula
ulama yang bergelimang materi dan kekuasaan, atau sebagai penyokong kekuasaan,
yang pekerjaannya mencari dalil-dalil agama untuk melegitimasi kekuasaan atau
aliran politik yang didukungnya.
Tak
ada satu ayat dan hadits pun yang turun, bertujuan untuk menjadi alat kampanye,
merebut atau melanggengkan kekuasaan, justeru sebaliknya ada banyak ayat yang
turun sebagai antitesis, teguran atas perliku manusia atau kekuasaan yang
menyimpang.
Sungguh
kita membutuhkan ulama yang menyejukkan, menjadi juru ishlah di antara dua golongan yang berseteru (ashlihu baina akhawaikum), mengecilkan api perbedaan bukan menyulut
konflik, menganjurkan tabayun daripada
latah menyebarluaskan berita yang belum jelas asalnya.
Wallahu a'lam
0 Comments: