Lagi. Ruang publik media sosial ramai membicangkan kotak suara untuk pemilu 2019. Respon yang dijejali amarah dan low-trust. Pikiran-pikiran yang menciptakan ruang imaji sendiri, persis seperti yang digambarkan oleh Jean Baudrillard sebagai simulacra (simalacrum), sebuah ruang yang berisi realitas-realitas semu. Ruang imajinasi yang tak menyertakan realitas atau referensi asli dalam proses produksinya.
Francis
Fukuyama menyebut masyarakat low-trust cenderung
inferior dan gampang curiga, tidak percaya pada sistem di luar dirinya,
keluarganya atau kelompoknya, next of kin
atau inner circle-nya . Abai melakukan verifikasi ketat terhadap
informasi, begitu mendapati berita cukup dipilah 'suka' atau 'tidak suka',
kemudian dengan cepat disebar dibumbui interperasti, tanpa berusaha melibatkan
nalar dan kewarasan.
Kotak
suara yang terbuat dari karton kedap air (bukan serupa kardus bekas air mineral
atau mie goreng) untuk Pemilu 2019 sebenarnya bukanlah hal baru, kotak suara
serupa juga digunakan pada Pemilu 2014 untuk melengkapi kotak suara dari
alumunium yang telah banyak rusak, tetapi dulu tak pernah terjadi perdebatan
hebat seperti saat ini.
Betatapun,
KPU sudah berusaha menjelaskan hampir dari berbagai sudut, mulai dari dasar
hukum, soal efisiensi hingga soal tahan-kuatnya kotak tersebut. Namun,
simulakra atau ruang imajinasi itu terlalu liar, hiperrealitas yang mendeterminasi kesadaran atas realitas
sebenarnya. Maka, barangkali penting
untuk kembali menziarahi pikiran seraya membuka pesan-pesan suci dari Tuhan, agar
tak mudah menilai dan menghakimi, berlaku tidak adil berdasar kebencian (Qs. al
Maidah: 8). Berlaku adil sejak dalam pikiran, ujar Pram. Penting untuk
melakukan chek and rechek (tabayun), memeriksa informasi dengan
teliti sebelum mengumbar dan menyebarnya dengan penuh kebencian, amarah dan
caci maki (Qs. al Hujurat: 6).
Tatkala
memiliki sedikit saja prasangka baik, sebenarnya tak terlalu sulit untuk
maklum. Kecurangan tidak terletak pada kotaknya, tetapi pada para
penyelenggara, pada integritasnya. Tak perlu mengawasi kotak, melainkan awasilah setiap orang yang
datang mengendap-endap mendekatinya atau awasilah para polisi yang tak pernah
lepas menjaganya. Kotak yang dinilai rentan robek dan berwarna putih itu, mesti
diperlakukan secara baik dan hati-hati. Menjadi lebih mudah diteliti, ketika ditemukan
tanda pernah dibuka atau terdapat cacat.
Tak
perlu terlalu percaya dan menelan mentah-mentah kehebohan berita di media.
Media juga telah terlalu banyak menampilkan simulasi yang bercorak hiperrealitas, kadang mengabaikan
realitas, bahkan menjelma menjadi realitas itu sendiri. Mendramatisasi
peristiwa, narasinya disesuaikan pada kepentingannya. Jean Baudrillard
menyebutnya sebagai cyberblitz, a copy of
a copy with no original. Caranya sumir, seakan cover both side, tetapi narasumber dipilih sesuai kepentingannya.
Baiknya,
jika ada kesempatan, maka datang dan lihat langsung kotak suara itu di gudang
KPU.
Kita
bisa saja jengah atas laku politisi, tetapi tak perlu ikut-ikutan rendah.
Kenduri bangsa lima tahunan ini, tak boleh menghilangkan harga dan kesadaran
diri.
Dalam
film Saving Privat Ryan, kita
diajarkan bagaimana caranya peduli. Film berlatarbelakang Perang Dunia II ini menggambarkan perjuangan satu kompi pasukan
untuk menyelamatkan Ryan hingga mereka semua tewas terbunuh, dan Ryan selamat.
Mereka bersedia mengorbankan nyawa karena merasa senasib, memiliki
tanggungjawab yang sama, dan mereka percaya, ketika penculikan itu terjadi pada
diri mereka, sikap pasukan juga pasti sama.
Kita
sesama anak bangsa, mestinya juga merasa senasib, harus percaya bahwa setiap
manusia Indonesia yang waras tentu berpikir kebaikan untuk bangsanya. Kita
harus menghentikan laku saling tikam antar bangsa sendiri, mengambil bagian
penting untuk menjaga marwah bangsa bukan dengan cara saling tuding dan caci
tak jelas juntrungannya.
Tentu kita tidak ingin begitu
saja menerima sindiran Francis Fukuyama melalui
bukunya, The End of History and The Last
Man sebagai masyarakat yang tingkat pendidikannya rendah hingga tak bisa
menjalankan demokrasi sebagaimana mestinya, menjadi apatis, tidak percaya diri,
mudah marah dan mencurigai orang lain. Kita juga tentu tak ingin memiliki pola
pikir seperti kardus, lembek, tidak kuat dan mudah dilipat.
![]() |
Infografis Polemik Kotak Suara Kardus Pemilu 2019. Sumber: Kompas |
0 Comments: