Beberapa hari ini aku melihat kucing yang biasanya lincah
tak lagi bersemangat, hanya berbaring di atas karpet di bawah kolong meja. Tak
ceria. Padahal, kemana saja aku bergerak akan selalu ikut, ketika makan selalu
setia menunggu limpahan tulang belulang ikan, jika ada tamu, maka ikutan juga nongkrong di kolong meja, bahkan ketika
aku duduk di depan laptop, mengetik atau membaca si kucing dengan setia akan tiduran di karpet tak jauh dari tempatku
duduk.
Terkadang kesal dan menyebutnya pemalas, karena tak
pernah mau keluar rumah untuk mencari makan atau setidaknya bergaul dengan
sesama warga kucing. Mungkin juga dia sedang 'meneladani' tuan rumah yang
jarang keluar. "Ah, ente nyuruh
kucing gaul, ente saja mengisolasi diri," bisa jadi si kucing ini 'ngoceh' tanpa aku mengerti bahasanya.
Kucing ini juga memiliki sifat aneh. Bila berantem,
biasanya akan bersuara keras dan melawan, saat ia tahu ada orang (aku dan
kawan-kawanku) di dekatnya. Suaranya mengeong
akan lebih keras. Apakah ini juga mewakili?
Sebelumnya, aku memang sempat menanyakan keberadaan
kucing ini. Tak pernah nongol
beberapa hari. Kala makan, tak ada lagi suara mengeong, berteriak-teriak
meminta jatah makan siang, malam atau pagi. Informasi penting, meski ia kucing,
golongan binatang yang seringkali dianggap tak lebih beradab dari manusia,
kucing ini tak pernah membongkar panci atau tutup tempat menyembunyikan ikan,
tak pernah mengambil sesuatu yang ia tahu bukan menjadi haknya.
Kini kucing itu lemas, berjalan terpincang-pincang.
Tulang kaki depan sebelah kiri sepertinya patah, ada warna kuning seperti borok
di lubang anusnya. Siapakah yang menyiksa kucing ini sedemikian kejam? Apakah
ada yang terancam jatah makan siangnya habis di makan oleh kucing ini? Ini
jelas bukan perkelahian adil antar sesama kucing. Aku sering mendapati bulu
rontok di beberapa bagian badannya, tapi tak cukup mengkhawatirkan. Pastilah
itu perkelahian kecil-kecilan, tak lebih parah dari ribut-ribut di media sosial
soal copras-copres yang berujung saling tikam dan berbagi bogem mentah di dunia
nyata.
Ini pasti salahku. Aku sering menuntutnya untuk keluar
rumah, bergaul dan memperluas jaringan sesama kucing. Tujuanku sebenarnya, agar
si kucing tak melulu berharap makan siang ada di rumah ini, karena tak
selamanya kami makan ikan. Akibatnya tak pernah aku bayangkan akan separah ini.
Manusia
sebagai homo sapiens, mestinya
memegang teguh klaimnya sebagai spesies paling beradab, tak lantas karena tak
kuasa menjajah dan menunjukkan hegemoniknya kepada sesama manusia, mengalihkan
laku aniayanya kepada binatang yang tak berdaya dan kecil.
Ya
sudahlah, Cing. Kamu berdiam di rumah saja, tak perlu meluaskan
pergaulan seperti yang kuharapkan sebelumnya. Dunia ini semakin hari semakin
menghadirkan ketakutan. Setiap hari ada caci maki, jika tak berada dan sependapat
dengan satu golongan, maka bersiaplah mendapatkan muntahan amarah dan ujar
kebencian (baca; kedengkian).
Aku
memang yakin, kucing tak pernah mengenal tekhnologi semacam facebook, tak satupun kucing memiliki
akun media sosial, meski banyak yang foto profilnya menggunakan display picture kucing.
Dunia
kucing pastilah lebih kondusif, karena tak ada kontestasi demokrasi. Tak ada
pemilihan presiden kucing. Kucing tak akan bisa saling sindir seperti antar
pendukung politik, maka tak ada aksi tipu-tipu, tebar pesona dan selaksa
pencitraan lainnya. Tetaplah menjadi kucing, tak perlu bermimpi menjadi manusia,
sebagaimana manusia yang sering bermimpi menjadi paling beradab dengan berburu
jabatan, tetapi justeru menjadi biadab.
Satu
saja hal yang paling menkhawatirkan, kucing menjadi pelampiasan kemarahan dan
kekecewaan manusia, yang kalah dan sakit!
0 Comments: