".../Sulit menjelaskan apa hakikat cinta/Ia kerinduan dari gambaran
perasaan/Hanya orang/yang merasakan dan mengetahui/Bagaimana mungkin/Engkau
dapat menggambarkan/Sesuatu yang engkau sendiri bagai hilang/dari hadapan-Nya,
walau ujudmu/Masih ada karena hatimu gembira yang/Membuat lidahmu kelu/... "
(Mahabbah, Rabi'ah al Adawiyah)
Di
ruang manakah cinta bersembunyi?
Gaduh
dan berisik. Nyaris tiada lagi tempat di negeri ini, tanpa ingar-bingar politik.
Pangkalan ojek hingga pos-pos ronda, pasar hingga kampus, bahkan kuburan yang
seyogyanya kita ziarahi, mengajak hati menyepi dari keramaian hidup, mengoreksi
segala laku keliru, kini tak luput juga dari area politik pencitraan, spot selfie dan narsisme.
Namun,
meski dunia disesaki keramaian, jiwa-jiwa yang mendiaminya mengalami kehampaan
dan kesunyian luar biasa. Berlari tak tentu arah. Menakbirkan diri yang kecil.
Bergantung pada ranting yang rapuh. Cemburu pada burung-burung. Gagal belajar
pada kebeningan embun pagi. Mengeluh tak sudah-sudah. Menyangka gelombang
nyatanya riak. Menduga gunung, faktanya hanyalah tumpukan tanah liat. Mendaku
daki sebagai emas murni.
Kian
hari, spritualitas tergerus, menghormat karena jabatan, menghargai karena
materi. Banyak orang berhasrat untuk memperoleh 'kepemilikan', di saat yang
sama mereka menyadari pula bahwa kebendaan dan kehidupan glamour tak
mendatangkan ketenangan. Lantas? Philip K. Hitti
dalam buku History of The Arabs, menilai
bahwa kadang manusia lebih suka menipu diri sendiri, membangun modus pemikiran
dan perasaan dalam kerangka agama, mestinya mereka berupaya untuk mendekati
Tuhan secara langsung, membangun pengalaman yang lebih personal dan lebih
mendalam, daripada sekadar simbol.
Rabi'ah al Adawiyah mengajarkan perjuangan yang gigih
menuju puncak makrifat, menarasikan cinta sebagai perasaan yang menenangkan
hati dan meramaikan kalbu. Rabi'ah tak berharap pamrih, mengabdi kepada Tuhan
bukan karena takut neraka, tak pula karena berharap surga, mengabdi karena
Tuhan semata, kebajikan adalah tabiat, kecenderungan dan kegandrungan hati. Ia
meminta, dunia yang melenakan agar diberikan kepada musuh-musuh Tuhan.
Sewajah dengan
kearifan ujar Jawa, rame ing gawe sepi ing pamrih memayu hayuning bawana bukan
sebaliknya, ramai tampaknya, hampa batinnya. Tetapi, adakah itu dalam keriuhan
politik?
Terlalu sulit
membaca tanda dan simbol. Kepercayaan telah luruh ke titik terendah, politisi
mencabik-cabiknya hingga tak lagi utuh. Memainkan simbol kejelataan di kala
butuh. Kebajikannya tampak jelang pemilu, sebelum dan sesudahnya hanyalah
tipu-tipu. Modus penuh rekayasa. Agama ditunggangi, rakyat dibohongi.
Ruang publik
menjelma seperti rumah hantu, horor dan menakutkan. Kita yang memilih diam dan
tak mau tahu, dituding munafik dan kafir lantaran menolak bersekutu, atau dicap
intoleran dan anti NKRI bila tak ikut latah memuja kuasa. Tak ada lagi kanan-kiri
oke, yang ada adalah kanan beruk, kiri kunyuk.
Kebebasan
diteriakkan hingga ke desa-desa bergandeng mesra dengan teror psikis yang
menembus jantung perbedaan. Benarlah kiranya refleksi Jean-Jacques Rousseau,
bahwa manusia dilahirkan merdeka, tetapi di mana-mana ia dibelenggu. Politik mengartikulasikan
hasrat dan ambisi pragmatis semata, mencoreng keluhurannya.
Aku takut, walau
hanya untuk bersuara lirih di media sosial. Masih mungkinkah kita seperti dulu
kala, saling melempar canda dan berbagi tawa, bersama-sama meningkatkan
persatuan dan mengikat persaudaraan, menghindari keretakan meski aku bukan
Jokowi dan bukan pula Prabowo, atau masih bolehkah aku menyebut 'kita' meski pilihan
berbeda?
Aku was-was untuk
memuja Plato dan Aristoteles yang tak percaya demokrasi justeru dinilai HTI. Aku
khawatir mengagumi Muhammad, yang ramah dan menyayangi seorang Yahudi buta
malah nantinya dinilai murtad atau PKI.
Duh...!
0 Comments: