Dulu,
di pertengahan tahun 2015, di sebuah kota di Lampung, pengajian begitu semarak
di masjid-masjid. Shalat subuh berjamaah di masjid bergeliat, seorang kyai cum politisi, rela menerobos gerimis
yang membuat gigil tubuhnya. Banyak warga mencemooh dan nyinyir, menduga pengorbanannya
berbau politik, dikaitkan dengan keinginannya untuk menjadi walikota.
Pada
tahun dan di kota yang sama, sekelompok warga menyerukan gerakan gotong-royong
melawan politik uang. Menulis, membuat film dan memuatarnya keliling RT,
membuat kaos, dan kampanye gerakan melawan politik uang lewat media sosial
adalah beberapa ikhtiar yang mereka lakukan. Tak satupun politisi menyambut,
alih-alih melibatkan diri atau mendukung gerakan tersebut. Barangkali, mereka
menyadari bahwa mereka tak mungkin menghindarkan diri dari laku yang disebut
Ahmad Syafi'i Ma'arif sebagai daki demokrasi itu.
Kini, ada beberapa politisi yang ikut berteriak hingga serak, tolak politik uang! Politik uang kotor! Dia dulu pelaku, (mungkin) telah insyaf atau karena hendak berlaku hemat karena tak terlalu yakin akan terpilih. Ah, politisi memang piawai membaca situasi dan kondisi.
Kini, ada beberapa politisi yang ikut berteriak hingga serak, tolak politik uang! Politik uang kotor! Dia dulu pelaku, (mungkin) telah insyaf atau karena hendak berlaku hemat karena tak terlalu yakin akan terpilih. Ah, politisi memang piawai membaca situasi dan kondisi.
Jean-Francois
Laslier dan Bilge Ozturk menyebut laku pandai politisi memanfaatkan momentum
dalam rangka memaksimalkan kemenangan ini sebagai politik oportunis. Ada juga
yang mengistilahkannya dengan politisi bunglon, karena pandai beradaptasi dan
berganti warna sesuai kepentingannya.
Politik
oportunis kerap dipandang peyoratif dan dikritik karena mengedepankan
kepentingan jangka pendek atau memiliki pemikiran yang sempit. Pemikiran yang dipandu oleh motivasi memanfaatkan kesempatan
untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau partainya. Mulanya istilah
oportunisme ini digunakan untuk menyebut sistem pemerintahan Gambetta, seorang
republikan di Perancis pada abad ke-19, yang awalnya tidak mau berkompromi
untuk mengorbankan prinsip-prinsip tertentu Partai Republikan.
Noktah
sejarah oportunisme politik di negeri ini sebenarnya bukanlah barang baru, terkhusus
di kalangan para kyai. Jejak politik terbelahnya partai Islam di era Soekarno
hingga kyai berganti-ganti partai di era Soeharto. Kisah tentang kyai Rosidi di
Jawa Tengah yang terkenal, sepasang sandalnya dipaku oleh para santri ketika
beliau sedang mengikuti salat Jumat, karena dianggap telah murtad dengan
menyeberang ke Golkar dan meninggalkan PPP.
Tak
mengherankan pula, pada tahun 1999, awal mula pemilu setelah lengsernya
Soeharto, partai politik peserta pemilu terbanyak adalah partai berbasis agama
(Islam).
Oportunisme
seakan berjodoh dengan politik. Sejalan seiring meninggalkan tapak sejarah yang
bisa dibaca dari setiap perjalanan kampanye, koalisi hingga mengelola dan
mengolah isu sebagai oposisi atau penguasa. Mengimani dan menjalankan pameo
tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi, menjadi
peneguh bahwa politik opurtunis itu betul-betul bak kecambah tumbuh di musim hujan, diikrar dan ditakrir sebagai strategi. Laris-manis.
Tak
perlu kaget, ketika di satu momentum Anda dipuja dan dianggap penting dan di
satu momentum lain Anda dilupakan dan disepelekan, karena seyogyanya
oportunisme itu berwatak demikian. Barangkali Anda hari ini mendapati banyak
politisi turun ke pasar, ke sawah atau tempat kumuh yang lain, setengah
memaksakan diri bertahan di tengah bau apek para pedagang, petani, tukang becak
dan comberan yang tersumbat sembari
menyuap nasi aking sebagai simbol
kejelataan hanya untuk mendapatkan pose terbaik, jelitanya pencitraan dalam memori kamera. Tak
perlu heran, tak perlu pula terhipnotis, wataknya memang begitu.
Percayalah,
jika kita menganggapnya biasa-biasa saja, maka bisa saja atraksi-atraksi
politik itu sangat mengasyikkan. Seperti sebuah pertunjukan teater, drama atau
pertunjukan sirkus yang sangat menghibur. Lakonnya bisa beragam, Politisi Berkalung Sorban, Elit Bertopeng
Alit, atau Politisi Pelit Anti Money
Politik. Eits..., tunggu dulu. Ini bukan berarti setuju dengan perilaku
politisi yang menggunakan uang untuk mempengaruhi pemilih, melainkan karena
gerakan politik bersih tanpa menyuap itupun, tak luput dimanfaatkan oleh
politisi. Ya, namanya saja oportunis. Menggelikan, karena dulunya sebagai
pelaku ulung, tiba-tiba berteriak anti politik uang.
Lantas?
Ya, biasa saja.
Celakanya
adalah tatkala ada yang menganggap laku opurtunis ini sebagai berkah, karena
menganggap oportunisme melunturkan fanatisme. Menganggap perilaku bunglon yang
berubah-ubah itu sebagai sesuatu yang lumrah dan niscaya, seakan-akan
konsistensi dan istiqamah, memegang teguh nilai-nilai kebajikan dan idealisme
tak perlu dalam politik.
Celaka
dua belas!
Comments
Post a Comment