Memang serba salah dan dilematis
kalau sudah bicara pamrih. Mana mungkin hidup tanpa pamrih. Mana mungkin
menanam padi tanpa pamrih panen, dan menanak
nasi tanpa pamrih nasi akan matang. Tetapi, hendaklah khalayak ramai menyadari
bahwa pamrih dengan pamrih ada bedanya. Motivasi individu dan egoisme ada
bedanya dengan perjuangan sosial. Mestinya rakyat mulai membuka diri pada
kesadaran bahwa bahwa para caleg itu berpamrih, tapi pamrihnya adalah
memperjuangkan rakyat, bukan memperjuangkan nasib
mereka sendiri. (Cak Nun, Demokrasi La Roiba Fih)
Penggalan
kalimat Cak Nun tersebut penting
penulis cantumkan untuk menegaskan bahwa tulisan inipun punya pamrih, punya
kepentingan, pamrih dan kepentingan untuk terus berdialektika dalam rangka
merekonstruksi demokrasi sipil yang selama ini dipinggirkan, demokrasi
pluralis, demokrasi untuk semua rakyat Indonesia.
Idealnya,
demokrasi kita dibangun di atas konsepsi kebangsaan dengan niat dasar yang
sama,
sekaligus menyadari pluralitas. Namun,
tetap dibarengi kehendak yang sama dari semua pihak untuk memelihara perbedaan
yang dimilikinya dalam rangka menggapai
tujuan bersama sebagai sebuah bangsa.
Mengutip Ernest
Renan (1882) yang pertama kali mengemukakan konsep kebangsaan
yang kini sering
diacu banyak pihak, konsepsi kebangsaan setidaknya harus dilekatkan pada dua hal utama. Pertama,
aspek historisitas berupa kesamaan nasib
dan perjuangan masa lampau. Kedua, aspek solidaritas berupa keinginan untuk hidup bersama (le desir de
vivre ensemble) di tengah beragam perbedaan yang
ada.
Konstruksi
demokrasi yang kita dicita-citakan adalah demokrasi yang tak melepaskan diri
dari historisitas dan solidaritas bangunan besar kebangsaan, sekaligus tidak
menjauh dari makna asalnya. Bahwa demokrasi adalah suatu keadaan di mana rakyat berada dalam posisi setara
secara politik, mengendalikan apa yang mereka anggap sebagai urusan publik.
Demokrasi
langsung, baik di level nasional maupun daerah
adalah demokrasi prosedural sebagai pintu masuk ke demokrasi yang
lebih substansial. Demokrasi langsung adalah media mengajarkan rakyat bahwa
kedaulatan adalah milik mereka, sehingga baik buruknya wajah kedaulatan itu
tergantung pada pilihan yang mereka tetapkan. Jika, kewenangan mereka menata
dan mendandani demokrasi itu dipangkas dan dihilangkan, maka sama halnya
memisahkan mereka dari kepala mereka sendiri, memangkas dan menghilangkan
rakyat dari kedaulatannya. Dan Demokrasi tak mungkin ada tanpa rakyat.
Perjalanan demokrasi
ini sudah cukup panjang, dari Orde Lama hingga Orde Baru, dan menemukan formula
barunya sejak awal Reformasi, masih sangat belia. Tak mungkin mengharapkannya
secara terburu-buru untuk stabil dan langsung memberi makna terhadap masyarakat
luas.
Demokrasi tak
boleh mengalami pendangkalan dan pengaburan makna, demokrasi bukan sekadar
kuantitas, demokrasi sejatinya adalah kekuatan dan kemampuan kolektif untuk
bertindak mewujudnyatakan kebaikan umum.
Praktik
berdemokrasi di Zaman Yunani Kuno tak melulu berpusat pada voting, bahwa voting
adalah mekanisme pengambilan keputusan tak boleh diingkari, namun prinsip
utamanya adalah voting untuk
kemaslahatan umum. Artinya demokrasi bukan semata soal jumlah, melainkan
kualitas manusia secara bersama.
Demokrasi bukan
hanya ketika rakyat berduyun-duyun ke tempat
pemungutan suara,
melainkan juga adalah proses panjang sebelum dan sesudahnya, bagaimana rakyat
mendiskusikan kriteria pemimpin dan wakil-wakilnya secara
aktif, dari rekam jejak dan tabiat-tabiatnya sebelum mereka sampai kepada
ketetapan hati untuk memilih. Dan demokrasi juga adalah bagaimana pelibatan
mereka paska pemilihan (voting), dan
bagaimana rakyat memberikan hukuman kepada mereka yang tak amanah terhadap mandat
yang mereka berikan.
Samuel
P. Huntington menegaskan bahwa dalam dua hingga tiga dekade
terakhir telah terjadi revolusi politik yang luar biasa di mana lebih dari 40 negara
telah beralih dari sitem otoritarianisme menuju ke sistem demokrasi.
Dalam
konteks Indonesia, transisi politik dari Orde Baru ke Reformasi adalah pembedaan
rezim otoritarian dan totaliterisme ke otonomi sipil. Otoritarian dan totaliterisme
adalah suatu gejala negara di awal Abad 20-an
di mana
negara secara menyeluruh mengontrol, menguasai dan memobilisasi segala sisi
kehidupan masyarakat. Menurut Istilah George
Orwell dalam buku Animal Farm
penguasa memonopoli kepemimpinan tanpa gangguan serta secara aktif menentukan
kehidupan masyarakatnya.
Dua
rezim totaliterisme yang paling terkenal menurut Arendt adalah pemerintahan
Nasional-Sosialisme (Nazi) Jerman yang dipimpin Adolf Hitler (1933-1945) dan
Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan
Jossif W. Stalin (1922-1953). Kedua rezim
ini dikenal sebagai rezim diktator dan rasisme yang antihumanistik dan
antiuniversalistik, meskipuan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin sering
dianggap memiliki inti yang lebih baik yaitu sosialisme.
Indonesia,
meski disenyalir tidak seterkenal dan sekejam kepemimpinan di dua negara
tersebut, tapi Soeharto di era Orde Baru telah berhasil menyumbat nalar kritis
dan kebebasan rakyat. Warisan dominasi dan hegemoni kekuasaan itu bahkan
menerabos sekat-sekat terdalam rakyat Indonesia, sehingga mentalitas ‘terjajah’
hingga kini masih terasa. Implikasinya mayoritas publik Indonesia, bahkan
mungkin juga elit politiknya menganggap bahwa membincang demokrasi adalah
membincang kepentingan elit politik semata, oleh
karena itu yang berkepentingan pun hanyalah elit, bukan membicang kepentingan
dan kehidupan rakyat secara keseluruhan yang memerlukan partisipasi. Dan inilah
salah satu alasan kuat, kenapa kita menolak kembalinya mentalitas Orde Baru
untuk pentas.
Istilah demokrasi dan demokratisasi cenderung diterapkan dalam kehidupan politik saja. Kecenderungan ini terlihat jelas misalnya dalam pembicaraan tentang pemilu, pembuatan keputusan dan sebagainya. Demokrasi dilihat sebagai satu aturan main untuk mendistribusikan kekuatan secara adil di antara anggota masyarakat. Adil dalam artian ini adalah bahwa semua warga masyarakat memperoleh hak yang sama untuk terlibat dalam pembuatan keputusan, dan memiliki hak yang sama untuk berjuang memperebutkan kekuasaan. Pengertian demokrasi sebenarnya adalah lebih luas daripada sekedar pengertian politik. Asumsi-asumsi dmokrasi, seharusnya tidak hanya diterapkan dalam kehidupan politik tetapi juga lebih luas lagi, dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Istilah demokrasi dan demokratisasi cenderung diterapkan dalam kehidupan politik saja. Kecenderungan ini terlihat jelas misalnya dalam pembicaraan tentang pemilu, pembuatan keputusan dan sebagainya. Demokrasi dilihat sebagai satu aturan main untuk mendistribusikan kekuatan secara adil di antara anggota masyarakat. Adil dalam artian ini adalah bahwa semua warga masyarakat memperoleh hak yang sama untuk terlibat dalam pembuatan keputusan, dan memiliki hak yang sama untuk berjuang memperebutkan kekuasaan. Pengertian demokrasi sebenarnya adalah lebih luas daripada sekedar pengertian politik. Asumsi-asumsi dmokrasi, seharusnya tidak hanya diterapkan dalam kehidupan politik tetapi juga lebih luas lagi, dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Jika demokrasi
dipandang sebagai pemerintahan oleh rakyat, tentu mengandung pengertian bahwa
mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan dan yang mereka pandang lebih
baik. Suatu hal dipandang baik bagi rakyat atau dianggap sebagai kepentingan
mereka berdasarkan pilihan mereka sendiri, bahkan pilihan pihak lain, seperti
elit yang dipandang mengetahui dan berkuasa dalam hal itu. Akan tetapi, rakyat
harus terdidik dan tercerahkan secara memadai agar dapat menentukan apa yang
mereka inginkan atau pandang baik. Itulah sebabnya demokrasi menekankan
pentingnya lembaga-lembaga yang dapat menjadi sarana pencerahan demos, seperti
pendidikan dalam arti luas dan debat publik.
Robert
A. Dahl dalam studinya mengajukan lima kriteria demokrasi sebagai sebuah idea
politik, yaitu, pertama, persamaan
hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi
efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga Negara dalam proses
pembuatan keputusan secara kolektif. Ketiga,
pembeberan kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk
memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan secara
logis.
Keempat, kontrak terakhir terhadap agenda,
yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menentukan agenda mana
yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan, termasuk
mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang mewakili
masyarakat. Kelima,pencakupan, yaitu
terliputnya masyarakat mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dalam hukum.
Dus, sudah saatnya kita menarik
demokrasi ke luar dari politik ansich
dan mulai secara menerus memaksakan kepentingan publik menjadi orientasi utama
demokrasi. Maka jangan tinggalkan rakyat untuk menentukan pemimpinnya sekaligus
merencanakan masa depannya, dengan begitu rakyat akan mampu lebih kuat, berdaya
dan elit mulai berdemokrasi tanpa apologia.
Comments
Post a Comment