Jangan
belikan aku dua bungkus rokok! Aku akan lebih cepat menghabiskannya.
Keserakahan
acapkali hadir bersama fasilitas yang tersedia. Tak mampu mengendalikan diri
untuk mengambil secukupnya. Keserakahan mewujud dalam ragam rupa, makan
terlampau kenyang, mengeruk perut bumi hingga merusak alam untuk menumpuk
kekayaan.
Keserakahanlah
yang melahirkan sikap pelit, enggan berbagi. Sifat dan sikap serakah dicaci
sebagai laku tak terpuji, tetapi anehnya banyak yang diam-diam mendekapnya erat
sebagai identitas, seolah-olah harta yang ditumpuk akan abadi. Tuhan mencela
perilaku ini dalam Alquran dengan menegaskan, bahwa kemegahan (yang timbul dari
keserakahan) telah banyak melalaikan, hingga akhirnya mereka melihat dengan
mata sendiri ('ainul yaqin) akibatnya, dan mereka akan ditanya
tentang kemegahan yang melalaikan itu.
Kemana hartaku? Tuhan,
hidupkanlah aku kembali, niscaya aku akan gemar bersedekah dan membagi harta
yang kumiliki. Dua
kalimat yang akan selalu diteriakkan dalam puncak penyesalan mereka yang berada
dalam timbunan kemewahan, namun serakah dan medit.
Bukan
hanya enggan berbagi, tak jarang keserakahan mendorong manusia untuk
mengangkangi sesuatu yang bukan haknya. Muncul sindiran bagi si serakah bahwa
andai kotorannya bisa ia makan kembali, pastilah tak akan direlakannya
terbuang. Begitulah keserakahan itu diibaratkan, ia mengakar kuat, melekat
dalam materi yang terus menerus dikumpulkan tak kunjung usai.
Manusia
memang serakah. Tak ada yang bisa membantah. Manusia tak pernah merasa cukup.
Mengumpulkan harta untuk kebahagiaan, begitu biasanya mereka beralasan. Seakan
kekayaan identik dengan kebahagiaan. Epicurus,
seorang yang berpaham kebendaan tulen menyebut bahwa akar dan muara segala
sesuatu yang baik adalah kesenangan perut, segala hal rohani atau apapun nilai
yang dianggap lebih tinggi bisa dimuarakan kepadanya. Seirama dengan itu,
Aristippus yang melahirkan mazhab Kyrene, mendakwahkan ajaran hedonisme sebagai
tujuan kehidupan etis, tujuan hidup yang mulia dari setiap manusia.
Wajar
saja ketika kultur kita, menjadikan materi dan jabatan sebagai kiblat
penghormatannya, maka setiap orang berlomba untuk menjadi kaya-raya dan menjadi
pejabat dengan segala daya upaya. Anak-anak muda keranjingan dengan kata sukses
yang alat ukurnya juga materi, tanpa sadar bahwa kata sukses itu hanyalah
eufemisme dari keinginan untuk kaya raya.
Ah,
Aku menjadi melantur ke mana-mana. Serakah. Ini kan hanya soal rokok sebungkus yang bisa dihemat sehari hingga dua
hari, bahkan saat kepepet puntung-puntung rokok yang mengonggok di asbak masih
memungkinkan untuk diisap, tetap nikmat dan menyenangkan. Namun, karena ada dua
bungkus, maka dua bungkus itu juga bisa habis sehari. Tak pandai 'merasa cukup',
maka tak pandai pula bersyukur.
Barangkali
itulah yang menjadi rahasia Rasulullah melarang meminta jabatan. Posisi yang
menjadikan manusia seringkali gagal menghalau syahwat serakahnya. Seumpama
rokok dua bungkus, yang menawarkan kegenitan berfoya-foya, mengisap tak
henti-henti. Jabatan menghidangkan ruang kuasa, menyuguhkan fasilitas
kesenangan, mengangkangi dan mengisap tak henti-henti hak rakyat.
Gara-gara
rokok ini, aku jadi teringat Plato, filsuf yang tersohor itu mencela kekayaan
dan kemewahan. Menurutnya, laut yang membentang, gunung yang menjulang, di
dalamnya ada binatang ternak dan tumbuhan, ada rezeki yang melimpah ruah
semestinya bisa menjadikan setiap orang sejahtera secara merata. Bergandeng
mesra dengan Aris Toteles, ia menasihatkan agar mengendalikan nafsu keserakahan
dan tidak menurutkan keinginan yang melebihi kewajaran, agar alam tak defisit.
Mereka
berdua, meninggalkan pesan secara rahasia bahwa kebutuhan dan keinginan adalah
dua sisi yang berbeda. Kebutuhan itu mengenal garis batas, sedangkan keinginan
tak mengenal kata puas. Bagi keinginan, cukup menjadi absurd.
Maka,
nikmat Tuhan mana lagi yang hendak kau dustakan?
Comments
Post a Comment