Sewajah dengan kehidupan, dalam
politik tak ada yang sepenuhnya suci. Bedanya, dalam politik setiap perilaku yang
dianggap 'kotor' selalu menarik dan memiliki ruang untuk dibincangkan dan
disebarkan, tujuannya jelas untuk menyerang, menjatuhkan dan memenangkan kontestasi
atau pertarungan.
Wajah politik semakin buruk, bisabab, keburukan perilaku dalam
kehidupan politik yang terus menerus disebar untuk mengaduk-aduk perasaan
publik. Maka, ketika kita tak punya cukup filter dan sistem imun yang baik,
kita akan rawan terkena virus mendengki dan mencaci, hingga akhirnya menjadi
penyebar aktif virus-virus keburukan yang semakin menyesakkan ruang publik itu.
Begitu seterusnya, berputar secara berantai.
Narasi tentang hal-hal suci,
barangkali mutlak hanya ada dalam lembaran buku atau kitab suci, tak ada dalam
kata dan kerja. Maka, tak perlu menghabiskan waktu untuk berdebat, mengapa
selalu ada kesenjangan antara teori - praktik, das sein - das sollen. Kecerdasan
sesungguhnya tidaklah diukur daripada pidato tanpa teks atau dengan teks,
pidato adalah menyuguhkan teori-teori ideal-normatif, dan Tuhan tentu sangat
membenci orang pandai berteori, tapi tak pandai bekerja (Qs. Ash Shaf: 3).
Setiap orang pasti memiliki cara,
strategi dan taktik untuk terlihat piawai menata kata, punya tehnik dan metode
menjual, agar terlihat menarik dan anggun bertindak. Dan itu bukan adab!
Keluhuran budi atau akhlakul karimah menurut
Imam al Ghazali, bukan lahir dari pikiran. Adab adalah tabi'at, kebiasaan yang melekat dan bergerak secara otomatis, bukan
rekayasa akal. Setiap orang memiliki rekam jejak masa lalu, sebagai pangkalan
komitmen masa depan.
Memaklumi bahwa tak ada yang tak
pernah bersalah, maka sepantasnya kita mengagulkan diri sebagai orang yang
paling suci. Sembunyikan aib saudaramu, maka Tuhan akan sembunyikan aibmu, sayangi
makhluk di bumi, maka makhluk yang di langit akan menyanyangimu, begitu pesan
suci agama.
Tentu berbeda, menyampaikan
kritik dengan menyebarkan aib. Menyampaikan kritik masih memiliki peluang besar
didasarkan atas cinta dan kasih sayang, tetapi menyebarkan aib, pastilah
dilandasi kebencian dan dengki, sehingga terkesan mencari-cari kesalahan. Dan,
pesan agama, terkhusus pesan untuk saling memberi nasihat dan menyeru kepada
kebajikan selalu menganjurkan untuk mewajahkan agama yang rahmatan lil 'alamin.
Namun, dalam kehidupan politik pesan
suci agama hanya dianggap kata-kata bijak. Dibiarkan berlalu ketika tak
menguntungkan, dijadikan senjata untuk menyerang ketika bisa mengerdilkan lawan
politik. Aib orang disebar merasa diri terbaik dan paling suci. Salah dan dosa
dicari, ditelusuri. ditemukan, dirakit menjadi bom mematikan sebelum akhirnya
diledakkan ke ruang publik.
Kini, seolah semua absah dalam
politik. 'Dalihnya, jika saya tak
melakukan itu, maka saya akan menjadi bulan-bulanan serangan dari kampanye negatif." Jadi, sebenarnya
saya tak terlalu kaget, jika ada seolah seoarang calon legislatif 'main' handphone ketika sedang bertemu dengan
warga, menjadi sasaran empuk lawan-lawan politiknya, fotonya menjadi
diskusi dan perbicangan seksi di media sosial.
Semua hal, akan menjadi diskusi
dan perbincangan. Jarang ada politisi yang fokus dengan program-program
unggulannya, berkonsentrasi untuk menjual skill
dan kompetensi yang dimilikinya untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat.
Barangkali, semua sedang menerapkan strategi bahwa menyerang adalah strategi pertahanan terbaik bukan membalknya,
bertahan adalah strategi menyerang yang paling baik.
Wajarjlah, kiranya Khalifah Ali
bin Abi Thalib mewasiatkan bahwa 'jangan menjelaskan apa pun tentang dirimu
kepada 'orang lain', karena orang yang membencimu tak akan menyukainya, orang
yang membencimu tak akan mempercayainya.' Dalam politik, adagium tak ada kawan
dan lawan abadi, yang ada adalah kepentingan abadi,' bukanlah isapan jempol,
bangunan politik kita sudah terlanjur dibangun di atas pondasi itu. Partai A
musim ini bisa menjadi lawan, tetapi musim depan bisa menjadi kawan koalisi,
calon A hari bisa menjadi pelampiasan caci-maki, namun esok bukan hal mustahil
menjadi tumpahan puja-puji. Poltik tak mengenal konsistensi, bukan hanya
berwajah dua tetapi banyak!
Bahkan, bukan hanya kesalahan-kesalahan
yang berakses ke khlayak yang disoal, urusan privat dan sangat pribadi, mulai soal gaya yang gemulai,
keshalihan, hingga urusan tietiet yang
tak layak dibincangkan, pun dipermasalahkan. Kerennya, semua mengaku waras dan
bernalar sehat, meski sehari-hari mereka membicangkan kewarasan dengan polah
tak waras.
Orang bicara kesucian dan
martabat dengan menghinakan dan merendahkan orang lain, bicara tolak politik
uang sebagai kamuflase. Semua
dibingkai dalam pigura kepentingan.
Lantas, kewarasan apa yang
tersisa untuk publik! Tidak ada, selain Golput!
Golput tak memenangkan apapun,
selain dari perlawanan. Melawan berlelah-lelah datang ke TPS, melawan
menghabiskan waktu untuk memilih orang-orang yang hanya pandai memanipulasi
citra diri, menjadi orang-orang peduli dadakan, orang-orang dermawan dadakan,
orang yang dekat rakyat dadakan.
Golput adalah pilihan! Pilihan
bagi mereka yang menolak tunduk pada rekayasa elit, menolak tunduk kepada
kepalsuan!
0 Comments: