Menang atau kemenangan seringkali
diasosiasikan sebagai sebuah momentum menundukkan, membuat tak berdaya,
menjadikan babak belur, menyerah, tak berkutik lawan. Menang berarti menjadi
juara dalam sebuah kompetisi.
Bagi petinju, menang adalah memukul
jatuh lawan atau memenangkan poin dalam beberapa ronde pertempuran. Dalam peperangan, kemenangan memiliki makna
jika berhasil membuat hancur, musnah atau memukul mundur pasukan lawan.
Menang dalam Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai unggul, dapat
mengalahkan, lulus, mendapat hadiah, lebih, dinyatakan benar. KBBI mencontohkan
beberapa kasus menang seperti; menang angka berarti menang berdasarkan
kelebihan angka yang diperoleh; menang KO artinya menang karena lawan tidak
melanjutkan pertandingan; menang suara yaitu menang dalam dalam pemilihan,
menang TKO adalah menang karena wasit menganggap lawan tidak dapat mengimbangi
perlawanan.
Menang seperti yang tergambar
dalam pengertian KBBI tersebut didominasi oleh pemaknaan yang bersifat bendawi
(materi). Lantas adakah kemenangan yang melampui materi (immateri)?
Dalam narasi agama, misalnya,
kemenangan dimaknai sebagai keberuntungan immateri. Menang karena berhasil
menundukkan syahwat, mengikuti petunjuk kebenaran, menunaikan kewajiban-kewajiban
kemanusiaan. Islam lewat panggilan salat (adzan),
menggambarkan jalan kemenangan yang harus ditempuh lewat salat, sebuah
ritual yang mengharuskan orang yang menjalaninya untuk meninggalkan dan
menanggalkan sementara waktu segala urusan keduniawian (materi).
Dalam adu argumentasi, kemenangan
juga tidak diukur lewat kejumawaan argumentasi, karena puncak dari sebuah
diskusi atau debat sesungguhnya adalah penerimaan atau kesiapan berubah dari yang kalah.
Kemenangan yang diukur lewat upaya 'menempel' poin-poin angka sebagai indikator
kemenangan diskusi atau debat, sesungguhnya upaya secara terang-terangan untuk
memaksa adu gagasaan yang semestinya immaterial
menjadi material. Apakah arti
dari sebuah kemenangan debat atau diskusi, jika akhirnya setiap orang masih
'kukuh' dan merasa paling benar?
Debat atau diskusi
diselenggarakan karena setiap orang butuh menguji kebenaran gagasannya,
menunjukkan kelemahan argumentasi-argumentasi lawan. Untuk itu, debat tidak
menghendaki 'serangan' terhadap pribadi secara fisik, melainkan serangan terhadap
gagasan utamanya. Harapannya, setelah diskusi atau debat ada yang tercerahkan,
sehingga berubah haluan, menginsyafi kesalahan.
Menang dalam adu gagasan, tak
menghendaki pemenangnya menepuk dada dan berlaku sombong. Menang dalam proses
uji pengetahuan adalah pencerahan, endingnya
merangkul dengan kasih, kerendah-hatian. Tak ada ruang kesombongan sedikit pun bagi
seorang 'alim, begitu pula dendam, kebencian dan permusuhan.
Saat Abraham Lincoln masih
menjadi pengacara muda, ia bertemu dan berhadapan dalam sebuah kasus dengan
Edwin M Stanton, seorang pengacara senior yang hanya melirik sekilas dan
mencibirnya, "Siapa dia dan apa yang dia lakukan di sini? Singkirkan dia!
Aku tidak mau berurusan dengan seekor monyet." Lincoln tak bereaksi, dia
kemudian menyaksikan Sang Pengacara begitu piawai dalam berargumentasi, dan
sukses membela kliennya. Lincoln terpesona.
Singkat cerita, pada tahun 1862
perjalanan nasib membawa Lincoln menjadi Presiden Amerika Serikat. Lincoln
kemudian mencari Stanton dan mengangkatnya sebagai Sekretaris Perang. Lincoln
masih ingat dengan kecerdasan Stanton, dan dia berpikir bahwa negara
membutuhkan orang seperti Stanton.
Lantas, dari cerita itu siapakah
yang menang? Stanton yang cerdas dan piawai membeli kliennya dan mendapatkan
jabatan? Atau Lincoln?
Sebentar lagi Ramadhan,
setelahnya orang-orang yang menjalani puasa dengan baik dan shahih, biasanya juga disebut sebagai
pemenang. Siapa yang menang dan siapa yang dikalahkan? Risalah suci agama cukup
jelas menjawabnya.
Maka, semestinya kontestasi
Pemilu yang baru saja kita lewati, jika memang diorientasikan sebagai ladang
pengabdian untuk negeri, tidaklah bisa disamakan dengan kemenangan di meja
judi. Keterlibatan dalam kontestasi atau kompetisi yang diselenggarakan lima
tahunan tersebut, adalah karena panggilan untuk melakukan perbaikan, mewujudkan
kesejahteran, dan membangun negeri yang adil makmur dalam ridho Tuhan.
Sebagai cita-cita suci, tak
patutlah kiranya yang 'menang' dan 'kalah' dalam kontestasi itu saling
memusuhi, apalagi menjatuhkan cita-cita suci itu menjadi sebuah perburuan
materi. Kecuali, apa yang diucapkan sebagai pengabdian untuk negeri itu, bohong
belaka.
Putra terbaik bangsa, tentu akan
meletakkan kepentingan pribadi dan golongannya jauh dibawah kepentingan bangsa
dan negaranya. Mereka tak akan mungkin merelakan anak bangsa terpecah-pecah,
saling merawat kebencian, dihasud untuk saling memusuhi. Kecuali, sekali lagi
apa yang disampaikan sebagai cita-cita mulia itu, ngibul belaka.
Tuan dan puan, tentu semua ingin
menang dan memimpin negeri ini untuk mengabdi, tak salah. Barangkali yang jadi
keprihatinan adalah, jika membiarkan negeri ini terluka, rakyat saling mencerca,
dimobilisasi untuk menyanyikan kepalsuan, dikomando untuk saling mendengki.
Seakan-akan kekuasaan lebih penting dari hidup damai dan aman, rakyat jelata
seperti kami ini.
Tuan dan puan tak keliru ketika
mengartikan kemenangan dalam kontestasi Pemilu, khususnya Pilpres diwajahkan
sama dengan sebuah pertempuran di medan 'jihad' seperti para pesohor yang
sering berteriak-teriak itu. Namun, tentu cara kita menilai dan bersikap akan
sangat menentukan di level mana kita mengambil posisi.
Tabik pun ngalimpur.
Comments
Post a Comment