Perdebatan tak kunjung usai antara kelompok Teis dan Ateis
adalah tentang wujud (ada). Kaum Ateis tidak percaya tentang 'ada', jika tak
bisa dibuktikan dengan pengetahuan yang menjadikan indera sebagai instrumen
utama bahkan satu-satunya untuk membuktikan kebenaran 'ada' tersebut.
Being,
wujud atau ada dalam pandangan ateis adalah bentuk, jika tak bisa dilihat,
dicium atau diraba, maka paling tidak bisa didengar atau dirasakan 'desiran'nya
seperti angin. Padahal selain indera, terdapat akal yang bukan hanya instrumen
pengetahuan, ia bahkan raja dari setiap instrumen pengetahuan. Di mana sebelum
diyakini, semua laporan
instrumen-instrumen yang lain, mesti dievaluasi dan dinilai objektifitasnya
oleh akal.
Itulah mengapa Ali Syariati berkata; ada dua hal yang membuat ku
takjub; birunya langit yang aku lihat, tapi aku tahu [dengan akalku] bahwa itu
tidak ada. Dan Tuhan yang tidak aku lihat, tapi aku tahu [dengan akalku] bahwa
Dia ada. Ali Syariati memandang realitas dengan matanya, tapi beliau
menyimpulkan dan menilai realitas dengan akalnya.
Lebih sulit lagi, sebab nyatanya, semua pengetahuan yang
dipersembahkan oleh setiap instrumen pengetahuan, adalah wujud non materi,
bukan wujud materi. Sebab jika pengetahuan adalah wujud materi, maka mustahil
ia bisa hadir dalam/dan menyatu dengan subjek pengetahuan. Alam materi bukan
alam penyatuan, alam materi adalah alam keterpisahan, alam yang tercerai-berai,
alam kegaiban (di mana setiap entitas, gaib dari entitas yang lain).
Benar bahwa, pengetahuan inderawi (hissi/materi),
imaginasi dan wahmi (non materi),
ketiganya merupakan wujud non materi tidak sempurna. Yakni, masih ada sebagian
karakteristik materi yang menyertainya, semisal bentuk. Akan tetapi,
pengetahuan akal adalah wujud non materi sempurna. Tak ada satupun
karakteristik materi yang menyertainya, ia suci dari materi dan sifat-sifat
materi.
Itulah mengapa, dalam mental, kita masih bisa meraba-raba bentuk wujud
orang-orang yang kita lihat sebelumnya. Tapi kita tidak akan pernah
membayangkan seperti apa bentuk wujud manusia universal (pengetahuan akal) di
mental kita.
Dengan segala kerumitan tersebut, akal menyimpulkan bahwa keberadaan
alam lain, selain alam materi adalah sebuah keniscayaan. Alam lain tersebut,
pastilah lebih sempurna dari alam materi, dan merupakan sebab ontologis alam
materi.
Para filosof, semisal Mulla Sadra, mengatakan bahwa alam lain tersebut
adalah alam mitsal dan alam akal.
Alam mitsal adalah sebab ontologis alam
materi, dan dihuni oleh wujud-wujus non
materi tidak sempurna, semisal pengetahuan indrawi, imaginasi dan wahmi, serta wujud-wujud non materi
tidak sempurna lainnya.
Alam akal adalah sebab ontologis alam mitsal, dan dihuni oleh wujud-wujud non materi sempurna, semisal
pengetahuan universal akal, wujud akal pertama, kedua, ketiga dan
seterusnya. Alam mitsal lebih sempurna
dari alam materi, dan alam akal lebih sempurna dari alam mitsal. Alam materi
adalah serendah-rendahnya alam. Karena itu ia disebut dunia (yang rendah).
Allah mengingatkan :
“Janganlah kamu menukarkan
ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus
bertakwa..” (QS.
al-Baqarah: 41)
Karena itu janganlah kamu
takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar
ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. (QS.
al-Maidah: 44)
Sampai disini, kita menemukan tiga level eksistensi; alam materi, alam
mitsal dan alam akal. Lantas apa di atas alam akal? Di atas alam akal adalah
'alam' wajibul wujud, alam ketuhanan.
Wajibul wujud adalah sebab ontologis
alam akal, sekaligus sebab ontologis dari segala sebab (illatul ilal/causa prima). Dalam bahasa agama, alam akal adalah
alam akhirat, akal pertama, kedua dst, adalah para malaikat. Adapun alam mitsal adalah alam barzakh.
Ibn 'Arabi menyederhanakan klasifikasi alam menjadi; alam Al-Haq (alam ketuhahan) & alam al-khalq (alam ciptaan). Alam
ketuhanan terdiri dari beragam tingkatan semisal, alam wahidiyah, alam ahadiah
dll. Sedang alam ciptaan membentang dari alam akal, hingga alam materi.
Comments
Post a Comment