Dalam sebuah anekdot, tersebut
kisah seorang sahabat yang menasihati kawannya yang nyaris berputus asa karena
kekasih belahan jiwa tak kunjung dapat, agar terus menjalani 3 B, berusaha, tanpa
lupa berdoa dan berpasrah. Setelah berpuluh pekan, berbilang bulan ternyata yang
dinasihati tetap saja datang sendiri alias gagal mencari pendamping. Sang pemberi
nasihat penasaran, ia pun berusaha mencari tahu, apa sebab kawannya selalu gagal.
Usut punya usut, si kawan ternyata
memiliki selera yang tinggi, mencari sosok sempurna, cantik, kaya dan pintar,
bahkan sering mencela yang tak sesuai selera. Si pemberi nasihat segera mendatangi
kawannya, dan kembali menasihati, bahwa selain harus menjalani kiat yang sudah
disarankan, si kawan harus menjalankan satu kiat khusus lagi, yakni berkaca!
Cerita tersebut tentu saja
karangan semata. Meskipun begitu, satu hal yang menarik untuk menjadi pelajaran,
bahwa penting untuk menjadi tahu diri, caranya adalah dengan berkaca,
bercermin!
Bercermin adalah ruang yang
semestinya privat, yang tak melulu berkutat pada aktivitas mendandani fisik,
mendempul lubang-lubang bekas jerawat di wajah dengan bedak yang tebal,
menutupi bau badan yang tak sedap dengan parfum berharga jutaan rupiah,
membalut tubuh yang 'aib' dengan pakaian mahal dan mewah. Bercermin adalah
aktivitas pengamatan diri secara detail, mengenali setiap lekuk tubuh, memelototi
setiap jengkal tubuh yang amit-amit dan lucu. Cermin adalah refleksi, cara
paling mudah memahami bahwa setiap kita punya aib yang mesti ditutupi, punya
cacat dan ketidaksempurnaan.
Bercermin bisa menjadi puncak
kesadaran bahwa kita masih memiliki sejumput malu untuk berdiri telanjang,
tanpa dempul dan pakaian di tengah khalayak!
Namun, kegiatan bercermin tak
selalu berhasil menggugah kesadaran diri. Cermin justeru kadang menjadi medium
memanipulasi 'kesejatian', mengganti wajah asli dengan riasan kepalsuan, bahkan
tak segan-segan melakukan operasi plastik untuk sebuah wibawa, prestise, sebuah
kebanggaan. Menagih simpati manusia, dan menghadirkan sifat 'iblis', "aku
lebih baik darinya!"
Berkaca! Berkaca!
Begitu kira-kira teriakan Cooley
ketika menganalisis institusi sosial dan gejala sosial melalui pengamatan variasi konsep-konsep perasaan diri, seperti
kebanggaan, kesombongan, kehormatan, kerendahan hati, serta karakteristik lainnya.
Termasuk contoh dalam cerita anekdot di atas.
Charles Horton
Cooley, begitu nama lengkapnya, sukses memopulerkan teori looking glass self yang
sebenarnya diacu pada teori diri-sosial (social-self)nya
William James. Menurutnya, sebagaimana seorang yang berada di depan cermin,
ketika melihat wajah, bentuk badan, pakaian dan ia merasa tertarik dengan itu,
maka ia merasa itu adalah miliknya. Pantulan cermin itu kemudian melahirkan
imajinasi tentang penampilan, imajinasi penilaian dan imajinasi perasaan
kebanggaan.
Menurut Cooley, ada sejumlah varian dalam
hubungan antara perasaan diri setiap individu. Misalnya, kepekaan setiap
individu bisa berbeda dalam menangkap pandangan orang lain. Boleh juga terjadi
perbedaan tingkat stabilitas dalam mempertahankan suatu jenis perasaan-diri
tertentu dalam menghadapi reaksi orang lain yang bertentangan. Ia mencontohkan,
seorang egois cenderung tidak peka, masabodoh, orang yang sombong sangat peka
dan membutuhkan dukungan sosial terhadap gambaran dirinya.
Kegiatan mematut diri di depan cermin,
melahirkan perasaan bangga dan imajinasi kekaguman dari orang lain, sehingga
berharap mengalir banyak sanjungan dan pujian, dan itulah yang dianggap sebagai
teman, sedangkan yang mencibir dan nyinyir soal penampilannya, adalah lawan
yang mendengki.
Tentu, pandangan Cooley tersebut tidak
seluruhnya benar dalam memotret realitas sosial. Namun, paling tidak dalam
beberapa kasus tentang teori pantulan
diri itu, bisa kita validasi pada sejumlah individu yang kehilangan
autentisitasnya. Terdapat banyak orang yang sangat defensif terhadap pandangan
negatif, penilaian buruk tentang dirinya, sewajah ketika ia berhadap-hadapan
dengan bayangannya di cermin, menolak segala yang buruk seperti panu, kudis,
kurap, berusaha mengobati (menghilangkan) atau menutupinya agar tak disaksikan
oleh orang lain, selain dirinya, atau yang lebih parah lagi, wajah buruk cermin dibelah.
Berbeda halnya, ketika ia mendapati kesempurnaan
tentang dirinya. Maka, kita tak heran, jika ada yang berlama-lama mematut diri
di depan cermin, untuk menemukan dan kemudian menonjolkan kesempurnaan itu.
Pinggul yang bahenol, dada yang padat atau bidang, perut yang sixpack, meski berada dalam balutan
pakaian akan tetap berusaha mendapat perhatian utama untuk dipamerkan dengan
memilih pakaian ketat, slim fit.
Orang mungkin menemukan perasaan-diri yang tidak
selaras dengan reaksi dan perasaan orang lain, sehingga mereka berinisiatif
untuk berprilaku defensif agar tidak mendapat ejekan dari orang lain yang
memberikan reaksi yang tidak sesuai.
Kompetisi dan ingin menonjolkan diri antara yang
satu dengan yang lain akan ditemui. Namun, dorongan individualistis atau yang
bersifat kompetitif ini sering diperlunak dan diperhalus oleh pemahaman simpatetik (baca; simpatik) antar
individu. Pemahaman simpatetik itulah, yang mendorong kesatuan pada kelompok
itu. Dalam kondisi seperti ini, individu berkembang dan belajar mengungkapkan
perasaan sosialnya, seperti kesetiaan dan kerelaan untuk membantu dan
bekerjasama antara yang satu dengan lain.
0 Comments: