Relegiusitas atau keberagamaan
adalah konstruksi sosial, karena sejatinya perilaku beragama tak memamerkan
diri. Jika pun, akhirnya ia membentuk identitas sendiri, lebih pada keniscayaan
yang susah dihindari. Maka bentukan sosial sikap keberagamaan itu menjadi
konstruksi sosial dan budaya, yang akhirnya melahirkan bentuk keberagamaan yang
beragam.
Relegiusitas berkaitan dengan
hal-hal yang empirik atau parktik, realitas beragama yang dilakukan oleh
manusia sebagai respon keyakinannya atas yang supranatural dan transendental.
Abdol Karim Soroush (2001; 91) menyebut
realitas beragama memiliki tige tipe, pertama,
tipe religiusitas pragmatis, mengandalkan gerakan fisik dan praktis
didasarkan kepada rasionalitas instrumental. Kedua, tipe relegiusitas gnostik, mengedepankan aspek mental dan
reflektif didasarkan kepada rasionalitas teoritis. Ketiga, tipe relegiusitas eksprensial yang mencari bukti dan
manifestasi berkaitan dengan penyaksian.
Sebagai produk manusia,
sebagaimana sistem budaya yang digambarkan oleg Geertz, maka relegiusitas
seseorang akan sangat dipengaruhi berbagai perubahan sosial. Maka, tak aneh
jika pada fase-fase tertentu, identitas keberagamaan ditampilkan dalam simbol-simbol
tertentu yang berbeda-beda.
Di masa lalu, barangkali
relegiusitas itu terwakili oleh simbol-simbol peci dan sarung, atau kerudung.
Namun, kiwari perilaku keberagamaan itu diwajahkan lebih simbolik dalam rupa
lain, seperti jubah, sorban, gamis hingga cadar. Konstruksi sosial menggiring
manusia untuk berkeinginan terkesan saleh, terlihat menjadi lebih relegius
melalui simbol-simbol tersebut.
Bahkan, saat ini relegiusitas juga
diyakini sangat dipengaruhi oleh media sosial, hatta banyak orang yang berusaha menjelaskan relegiusitasnya
melalui media sosial. Seperti mengunggah aktivitas keagamaan, memanjatkan doa
dan menyebarluaskan kebajikan-kebajikannya lewat media sosial. Tak hanya itu,
perilaku keberagamaan yang menjamur di media sosial memunculkan para ahli agama
dan mentor dadakan, bertindak sebagai nara sumber.
Relegiusitas hasil konstruksi
media sosial seperti ini dalam beberapa hal menyisakan masalah. Di media sosial
setiap orang bisa menjadi pemasok informasi tentang agama, tanpa mau
instrospeksi, apakah ia memiliki kompetensi berkaitan dengan hal-hal yang disampaikannya
dan apakah ia memiliki otoritas menafsir ayat-ayat suci. Sedangkan di bagian
lain, orang membaca setiap pesan yang disampaikannya tidak memiliki 'filter'
yang bagus untuk menyeleksi setiap informasi yang diterimanya, sehingga terjadi
reduksi besar-besaran terhadap makna keberagamaan. Beragama lebih cenderung
menampilkan diri dengan cara menggugah emosi, sensasi dan provokasi.
Perilaku beragama yang
mengandalkan emosi dan sensasi inilah yang kemudian berjodoh dengan hoax, seperti botol bertemu tutup,
saling melengkapi. Mereka yang terpapar model keberagamaan seperti ini, merasa tak
perlu lagi melakukan verifikasi dan validasi (tabayun) atas informasi yang mereka terima, yang penting ada
polesan ayat suci, sejalan dengan sentimen (emosi) mereka, langsung disukai dan
disebarkan. Abai terhadap rasionalitas dan obyektifitas, lebih mengagulkan
emosional dan sensional.
Jihad adalah salah satu contoh
kecil yang maknanya banyak mengalami penyimpangan. Bagaimana setiap orang
merasa memiliki otoritas menggandeng kata 'jihad' dengan kata 'demokrasi',
'politik', 'kekuasaan', sehingga lahir istilah-istilah baru, seperti jihad
demokrasi, jihad politik, jihad kekuasaan.
Akhirnya, banyak orang bahkan para
'alim (cendekiawan) dengan sembrono menganalogikan perebutan kekuasan di
Pilpres 2019, sebagai perang Badar atau perang Uhud, meski yang berkompetisi di
Pilpres adalah sesama muslim. Terminologi agama dipaksa menyesuaikan kehendak
sebagian kelompok, modalnya adalah appropriasi atau cocokologi.
Menggelikan sekaligus memuakkan,
mencocokkan urutan ayat atau surah di dalam Alquran dengan nomor urut partai, mengaitkan
ayat yang berisi cerita kekufuran dan adzab dengan lawan politik, dan
seterusnya. Anehnya, cocokologi ini
justeru seringkali dipamerkan secara berulang-ulang, dan banyak peminatnya.
Relegiusitas yang dibangun secara
instan, emosional dan sensional telah melahirkan semangat keberagamaan yang
menggebu, ingin terlihat lebih agamis tetapi melulu belajar agama lewat media
sosial daring, tak jelas sumber dan keshahihannya.
Merasa rugi menghabiskan waktu berlama-lama duduk bersama kiai, belajar fiqih mulai dari bab thaharah, belajar tafsir mengenal
Alquran dan maknanya huruf perhuruf.
Lalu, bagaimana mungkin kita
mempercayakan otoritas penafsiran agama kepada para politisi yang
berkepentingan membentuk persepsi publik sesuai seleranya, lebih sering
mengabaikan kebenaran ilmiah dan memajukan kebenaran emosional? Alih-alih
memiliki komitmen menegakkan nilai dan norma agama, para politisilah yang
justru memperburuk citra dan wajah agama, membuat umat terbelah dan saling
kehilangan kepercayaan!
0 Comments: