Hari ini saya membaca sebuah kolom di satuharapan.com, Si Bodoh, Si Pandai dan Si Bijak. Inti
dari tulisan tersebut mengurai isi buku yang berjudul sama The Foolish, The Clever, The Wise karya Charles Akara. Buku itu memotret
definisi bodoh dari ragam praktik kehidupan, seperti tujuan hidup, pola pikir,
pola sikap, kerja, manajemen, kekayaan, daya juang, komitmen, relasi dengan
semesta hingga kebenaran sejati.
Menurut tulisan tersebut, Si Bodoh selalu menilai sesuatu dari daya tarik
fisiknya. Kesenangan sesaat ia peroleh, namun berakhir dengan kekecewaan. Si
Pandai menilai segala sesuatu dari kebajikan dan keburukannya, menyebabkan ia
berada pada titik ragu terus-menerus. Si Bijak melihat nilai keseluruhannya,
sehingga akan menghasilkan segala sesuatu yang optimal. Tentang komitmen, Si
Bodoh tidak berani membuat komitmen, dan menghindari segala tanggung jawab. Ia
menjadi orang yang tak dapat diandalkan, bahkan oleh dirinya sendiri. Si Pandai
membuat banyak komitmen, sebagian dapat dicapainya, sebagian tidak, yang
menyebabkannya kadang dapat dipercaya kadang tidak. Si Bijak akan membuat
komitmen dalam kelompok. Anggota kelompok bersinergi satu sama lain untuk
mencapai sasaran bersama, sehingga menghasilkan hasil terbaik.
Charles Akara, jelas hendak menyerukan agar manusia berorientasi untuk
mencapai kebijakan. Kebodohan hanya berorientasi pada pemenuhan kepuasan diri
sendiri, tanpa peduli dampaknya terhadap orang lain. Kepandaian sudah lebih
seimbang dalam mencari tujuan pribadi dan dampaknya terhadap orang lain, lebih
rasional, namun keseimbangan antara akal dan kearifan belum cukup terasa. Di
atas kepandaian ada kebijakan, bagi si Bijak sudah tidak ada lagi pertimbangan
untung rugi, yang ada adalah kebaikan universal. Dan tentunya itu adalah hal
yang agung.
Dalam epistemologi diyakini,
setiap tindakan berkesadaran [seperti tindakan manusia dan hewan] dilandasi
oleh pengetahuan. Dengan kata lain, tindakan adalah akibat dari pengetahuan.
Olehnya itu, nilai tindakan ditentukan oleh nilai pengetahuan yang
mendasarinya. Pengetahuan yang mendasari tindakan dapat dilacak dengan jawaban
atas pertanyaan, mengapa engkau melakukan ini atau itu?
Logika manusia pada umumnya
adalah senantiasa mencari kenikmatan, kenyamanan, serta menghindari kesulitan-kesulitan. Sehingga, ketika tetiba ada satu atau
sekelompok orang yang bukan hanya tidak menghindari kesulitan, bahkan malah
mencarinya, niscaya mereka akan dianggap sebagai orang-orang aneh, yang
bertidak di luar logika umum. Konsekuensinya, mereka akan ditertawai, dianggap
bodoh, bahkan sesat.
Mungkin, bagi penganut
materialis, ritual ibadah semisal salat, puasa, zakat dll, adalah tindakan yang
lucu, sejenis kegilaan. Bukankah semua ibadah itu melelahkan, sulit dan tidak
nikmat? Sebaliknya, bagi kaum bertuhan, menghabiskan waktu dan energi untuk
mengejar dunia, juga dianggap sebagai hal yang melelahkan, aneh, dan sebuah
kegilaan.
Pun juga dengan tradisi tertentu.
Mungkin, bagi suku Papua, mereka yang tak memotong tangan adalah orang-orang
yang bodoh. Sebaliknya, ritual tersebut adalah tindakan bodoh, bagi mereka yang
tak meyakini nilai ritual tersebut. Lalu, mengapa orang Papua meyakini tradisi
tersebut? Tentu orang Papua yang meyakini ritual itu lebih kompeten
menjawabnya.
Lantas hakikatnya, tindakan mana
yang bodoh, tanpa nilai, dan tindakan mana yang cerdas dan bernilai? Tindakan
yang bodoh adalah tindakan yang tidak dilandasi oleh pengetahuan yang objektif
ihwal realitas. Benar, semua tindakan dilandasi oleh pengetahuan, namun tidak
semua tindakan dilandasi oleh tindakan objektif, rasional dan filosofis.
Semisal, engkau bertindak bodoh,
jika hakikatnya fatamorgana adalah ketiadaan, namun engkau bergerak menujunya
karena engkau menganggapnya ada (pengetahuan inderawi-imajinasi). Pun juga,
engkau bodoh, jika hakikatnya realitas bukan hanya materi semata, namun engkau
menjadikan materi sebagai tujuan puncak, hanya karena engkau meyakini bahwa di balik
materi tak ada sesuatu pun (epistemologi inderawi).
Al hasil, betapa seringnya kita
menertawai sesuatu yang berbeda dengan kita. Betapa seringnya kita menilai
keyakinan tertentu dengan kacamata keyakinan kita. Dan betapa seringnya kita
menertawai sesuatu yang belum kita ketahui.
Kita benar-benar bodoh, bila menghukumi
bodoh tindakan tertentu yang belum kita ketahui landasan epistemologisnya. Akan
lebih bijak, jika kita mencoba menelusuri dan mendialogkan dasar epistemologis
setiap tindakan, sebelum menvonisnya. Dengan begitu, besar kemungkinan akan
terwujud sikap saling menghargai dalam perbedaan.
Ruang publik yang dibanjiri
informasi, mengharuskan kita menentukan sikap. Berdiri di bagian mana, apakah
termasuk yang latah like and share, malas
membaca dan melakukan verifikasi, atau orang-orang yang selalu menyediakan
waktu untuk berpikir rasional dan logis. Bodoh
menurut tulisan tersebut, adalah pilihan, bukan nasib.
0 Comments: