Menurut Kho Ping Hoo, kekecewaan itu lahir dari sikap
mengasihi diri sendiri secara berlebihan, memiliki harapan terlampau tinggi
yang melampui realitas. Untuk itu, di hampir semua serial cerita yang ditulisnya,
ia selalu menyarankan agar jangan pernah mengikatkan hati pada apa pun, “sekali
hatimu terikat atau melekat pada sesuatu, berarti engkau telah membebani dirimu
sendiri, dan duka mulai membayangimu,” petuah bijaknya.
Tentu, tak terlarang memiliki
harapan. Namun, tak boleh melekatkan dan mengikatkan harapan itu pada sesuatu.
Tak boleh mengikat atau menggantungkan harapan itu secara absolut. Ruang yang
tersedia bagi manusia adalah berusaha maksimal, bukan memaksa keadaan untuk
mengikuti selera dan keinginannya.
Kekecawaan juga lahir dari
pamrih. Dan, kebaikan yang diaku sebagai kebaikan oleh pelakunya adalah pamrih,
karena ketika ia berbuat baik atau menyarankan kebaikan, pastilah ia
menginginkan diakui baik dan berharap orang yang diberi saran melakukan
kebaikan yang dianggapnya baik itu. Pamrih tersembunyi di batinnya, dan ia akan
kecewa.
Tuhan memberikan kewajiban dan
otoritas berbuat baik dan menyerukan kebaikan, tetapi tidak memberikan wewenang
memaksakan kebaikan (lihat Qs. 88:21-22, 50:45, 10:99). M. Quraish Sihab dalam Tafsir al Mishbah serta Jalaluddin al
Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi dalam
Tafsir Jalalain ikut menegaskan bahwa jalan utama manusia itu adalah
mengingatkan (tentang hal-hal baik dan buruk), bukan untuk menguasai.
Aku sering kali menjebak diri
dalam anggapan-anggapan tentang kebaikan. Sok bijak menasihati orang lain untuk
hal-hal yang aku anggap baik, dan akhirnya didera kekecawaan kesumat.
Menasihati si Polan agar rajin
berbagi, menasihati si Anu agar tak nganu,
menasihati penguasa agar tak korup.
Sejarah kekecawaan itu pernah menimpa Presiden Amerika Serikat, Woodrow
Wilson. Ia harus mati dengan kecewa mendalam. Sebelum mundur sebagai Presiden karena sakit-sakitan,
ia pernah menyerukan ‘perdamaian tanpa kemenangan’, ia menolak perang.
Di suatu hari, jelang 2 April
1917, ketika pertama kali Wilson mengkhianati seruannya sendiri, ia menyatakan
perang kepada Jerman, setelah api dan asap khalayak ramai yang marah dan
mendesaknya bertindak, ia pun akhirnya memetik kemenangan manis dan kemasyhuran
lewat kekuatan.
Namun, Wilson memang aneh. Alih-alih
menikmati kemenangannya, ia segera menyerukan rekonsiliasi. Barangkali
terinsprasi filsafat Jawa, menang tanpa
ngasorake, menang tanpa menghinakan yang kalah. Dan, akhirnya Wilson mati
kecewa. Risalahnya hanya menjadi bacaan yang bagus tapi bangkrut. Penyair
Robinson Jeffers dalam sebuah sajak dengan dialog imajiner meledeknya, “... bekas presiden itu terbaring, dan
harapan-harapannya, agar dunia lebih baik dan lebih damai, berantakan!”
Kita memang tak bisa berharap
banyak dari dunia, Tuhan telah menggariskan bahwa kehidupan ini hanyalah
semacam panggung stand up comedy, berisi
senda gurau. Tak perlu serius bicara tentang ide-ide luhur, tak ada lagi negeri
atau wakil (pemimpin) yang menyediakan kupingnya untuk mendengarkan suara,
selain dari pekik kemenangan.
Kita baru saja memiliki gubernur dan
wakil gubernur baru, memilih orang yang kita sebut wakil rakyat, dan sebentar
lagi akan memiliki presiden baru (meski orang lama). Tak perlu banyak berharap, 'karena ketika Tarzan datang, mengangkat dan menginjakkan sebelah kakinya lalu
melolong di atas korban, itu sebagai isyarat ketidaktentraman rimba,' tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir-nya.
Ruang yang tersedia hanyalah
ikhtiar maksimal, berbuat baik, berbuat baik dan terus berbuat baik, bukan
memaksakan kebaikan buat orang lain. Apa yang mengisi kepala kita, tak mungkin
kita bisa paksakan menjadi isi kepala orang lain, kita hanya bisa memaksa diri
kita sendiri untuk terus konsisten menyerukan dan mengerjakan kebaikan, meski
seberat menggenggam bara api.
0 Comments: