Kiwari, sedang tren sesat-menyesatkan dan
kafir-mengkafirkan di kalangan umat Islam. Tak sejalan dengan golongan dan
mazhab, memiliki larik pemikiran berbeda, berjatuhanlah vonis. Saya, tak urung
berkali-kali suruh bertobat, bergaul dengan orang salih, dan kembali ke jalan
yang benar, karena selama ini telah dianggap jauh tersesat. Analisisnya
sederhana, saya menolak sakralisasi mushaf
terlebih tokoh, tak tertarik dengan festivalisasi simbol keagamaan, dan
terakhir tak mendukung gerakan aksi berjilid-jilid yang menyesuaikan momentum politik
itu.
Sebagai orang yang pernah mencicipi dunia pesantren,
saya tak pernah merasa keberatan dituding sesat, munafik bahkan kafir sekali
pun. Saya mengerti, sesungguhnya kekafiran, kemunafikan dan kesesasatan tak
bergantung di ujung telunjuk si penuding. Apalagi, jika si penuding hanyalah salah seorang dari banyak
orang yang memiliki gairah keagamaan sangat besar melebihi besar
pengetahuannya, maka sungguh ia adalah orang yang sepatutnya dikasihani, karena
manusia seperti itu justru sedang berhadap-hadapan dengan kebodohannya sendiri (annas adaa’u ma jahilu).
Kafir sesungguhnya bukan kata sifat sebagaimana
tertulis dalam KBBI, melainkan isim fa’il
dari bentuk kafara. Kafara, yakfuru ‘fahuwa’
kaafir. Kafir adalah term aktor, pelaku atau orang yang dalam kondisi kufur. Setimbang dengan kata syaakir dari kata syakara, yasykuru, ‘fahuwa’ syaakir.
Syakir adalah aktor, pelaku atau orang yang dalam kondisi bersyukur.
Kufur dalam terminologi sederhana bisa diartikan
sebagai tertutup, atau kafir berarti orang yang tertutup. Tertutup atau menutup
diri atas nilai-nilai kebenaran. Dalam Surat Al Baqarah ayat 6-7 misalnya,
Tuhan menggambarkan orang-orang kafir itu sebagai orang yang bebal, menutup
diri atas pengetahuan, sehingga bagi mereka tiada pengaruh atau sama saja diberi
peringatan atau tidak tidak diberi peringatan, Tuhan telah menutup (mengunci)
hati, penglihatan dan pendengaran mereka.
Dalam kamus Al
Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Louis Makluf mengartikan kufur sebagai menutupi dan menghalangi.
Ada juga pendapat yang mengatakan kufur sepadan
maknanya dalam bahasa Inggris dengan cover
(kulit/penutup buku/sampul) atau covering
(menutupi).
Mahmoud Syaltout dalam Al Islam, Aqidah wa Syari’ah menyatakan bahwa seseorang disebut kufur (ingkar) adalah orang yang telah
mendapatkan cukup pengetahuan tentang keimanan, tentang aqidah dan puas
menerimanya, tetapi ia tetap menolak memeluk dan mempersaksikannya. Pendapat ini
sejalan dengan pemikiran Al Anbari dan Al Jahiz bahwa kafir adalah orang yang
melawan terhadap sesuatu yang telah diyakini.
Maka merujuk pada pengertian dan beberapa pendapat
tersebut, sesungguhnya kufur atau
kafir tidaklah semata ditujukan kepada orang yang memiliki perbedaan keyakinan,
tetapi bisa juga kelompok sendiri atau orang yang satu keyakinan, tetapi
terbukti ingkar, melawan atau membangkang terhadap keyakinannya itu.
Singkatnya, kufur atau kafir tidak semata digunakan untuk
mengidentifikasi wilayah Islam dan non-Islam.
Asghar Ali Engineer, dalam Islam dan Teologi Pembebasan berpendapat bahwa orang Islam bisa
kufur, sebagaimana juga orang-orang nonmuslim. Asghar menafsirkan kekufuran
sebagai tindakan yang bercorak menindas, zalim, merusak, dan seterusnya. Kafir
tidak hanya mereka yang tidak percaya kepada Tuhan, tetapi juga termasuk mereka
yang melawan segala usaha yang sungguh-sungguh untuk menata ulang struktur
masyarakat agar lebih adil dan egaliter, tidak ada konsentrasi kekayaan di segelintir orang, serta tidak ada eksploitasi
manusia atas manusia yang lain
Nabi Muhammad saw. membenci kemiskinan dan mewajibkan
umat Islam untuk menyatakan perang terhadap kemiskinan. Menurut Asghar kemiskinan
itu sama celanya dengan kekafiran, dan karena seorang muslim harus memerangi kufur, berarti ia juga harus memerangi
kemiskinan. Membiarkan kemiskinan sama halnya dengan memelihara kekafiran.
Paham atau sistem yang berusaha mengekalkan kemiskinan, kelaparan dan
kekurangan, harus dilawan, karena akan mengarah pada feodalisme atau kapitalisme.
Sehingga perang melawan kemiskinan merupakan
bagian integral dari keyakinan
Islam.
Dengan demikian tantangan kemiskinan ini harus dijawab
dengan membangun struktur sosial yang bebas dari eksploitasi, penindasan dan konsentrasi
kekayaan pada segelintir tangan saja. Dalam struktur sosial seperti ini,
terdapat nilai kebenaran yang lain yaitu keadilan di bidang sosial, ekonomi, hukum
dan politik. Keadilan dan keseimbangan ekonomi ini diperlukan, karena dengan demikian
berarti kebutuhan pokok, seperti makanan, tempat tinggal dan seterusnya dapat dipenuhi,
sehingga kecenderungan gaya hidup boros dapat ditekan.
Jadi, sesekali perlu menekuk jari telunjuk ke arah
relung hati sendiri, mempertanyakan apakah selama ini kita memliki kesadaran
utuh tentang nilai-nilai kebenaran dan menaatinya atau justeru mengingkari,
membangkang dan melawannya. Menumpuk materi, sombong, melanggengkan kemiskinan
dengan perilaku medit, mengeksplotasi
dan merusak alam, adalah beberapa contoh pembangkangan terhadap ajaran-ajaran
Tuhan, selain juga tak mengerjakan salat, zakat dan ritual lainnya.
Dalam beberapa ayat suci, Tuhan memosisikan secara
berlawanan kekufuran dengan kesyukuran. Tak bersyukur juga berarti kufur, dan
cara bersyukur yang terbaik adalah salat dan berbagi (berkurban).
Comments
Post a Comment