Charles Louis Alphone Laveran,
seorang dokter dari Perancis yang bertugas di Aljazair, memenangi Nobel tahun
1907 karena jasanya menemukan parasit di darah penderita malaria. Temuannya ini,
pil kina dan obat malaria lainnya ditemukan. Karena temuannya ini, jutaan
orang, termasuk orang-orang di Sipirok bisa sembuh dari sakit malaria. Begitulah
kira-kira alasan Sutan Pangarubaan, memberi nama bayi yang lahir di kaki Gunung
Sibualbuali Sipirok, 5 Februari 1922 itu, Lafran Pane.
Lafran Pane lahir dalam kondisi Omak-nya, Gonto Siregar sakit-sakitan, setelah
sepeninggal kakaknya Siti Zahara yang mati muda. Kondisi Gonto yang kurang
sehat itu menyebabkan Lafran kecil tak mendapatkan air susu memadai, dan lebih
menyedihkan lagi omaknya harus berpulang ketika usianya masih 2 tahun dan
ayahnya harus kembali meninggalkannya, pergi ke Panyabungan, mendidik warga
kampung, sebagai guru maupun sebagai aktivis organisasi.
Terlahir sebagai piatu dan jauh
dari pengasuhan ayah, membuat Lafran kecil haus perhatian dan kasih sayang. Ia
tinggal bersama nenek dan kakak perempuannya, Salmiah yang berselisih usia 5
tahun lebih tua, dua perempuan yang disayanginya setelah Gonto, omaknya.
Pernah suatu ketika, Lafran kecil
diajak tinggal bersama Nenek Siregar, orang tua dari Omaknya, orang terpandang
dan kelas menengah. Namun, ia tak tahan dengan segala aturan dan tata tertib
orang terpelajar. Makan, pakaian dan harus tidur siang, semuanya diatur. Lafran
lebih memilih tinggal bersama nenek dari ayahnya, meski cerewet tapi tak banyak
aturan.
Tatkala Lafran diantar ke Surau
Tuan Guru Malin Mahasan oleh neneknya untuk belajar mengaji, ia girang bukan
kepalang. Sebenarnya bukan mengaji yang ada di kepalanya, tetapi bermain. Maka,
setelah bosan mengaji dan bermain di surau, ia pun mempengaruhi teman-temannya
untuk bolos, bermain layang-layang di sawah atau berburu buah di kebun.
Lepas mengaji dan mulai masuk sekolah,
didaftarkan di sekolah agama dan akhirnya ikut ayahnya yang dipindahkan
mengajar di Sibolga, dimasukkan ke HIS Muhammadiyah tak membuat Lafran berubah kebiasaan
dan sifat, cepat bosan dan ingin merdeka. Ia pun beberapa kali berpindah-pindah
sekolah sampai akhirnya ikut kakak perempuanya, Sitiangat yang telah menikah
dengan seorang dokter dan tinggal di Medan.
Di usianya yang telah menginjak
15 tahun, Lafran didaftarkan ke Taman Siswa. Ia senang, bukan karena bisa sekolah
melainkan karena bisa keluar dari rumah kakaknya. Menurutnya tinggal di rumah
kakaknya dengan suami terpelajar hasil pendidikan Belanda itu, terlalu banyak
aturan.
Di sekolah, Lafran hanya bertahan
beberapa bulan. Sekolah kehilangan daya tarik dan begitu membosankan baginya. Jika
di rumah terlalu banyak aturan, sekolah menurutnya kurang tantangan. Ia pun
mencari kesibukan di luar, di jalanan. Ia mulai bergaul dengan gelandangan,
tukang catut tiket, penjaga bioskop, tukang tambal ban sepeda, tukang jual es
dan preman.
Lafran dikenal cukup berani.
Keberanian itulah yang membuatnya nekat melawan dua preman pemalak, keberanian
yang juga membuatnya bisa memakai sarung tangan kebebasan dan naik ke ring tinju,
menjadi kampium boxen untuk kelas
anak dan pemuda. Gelar yang akhirnya mengundang ayahnya datang ke Medan dan
mengirimkannya ke Batavia, tinggal bersama kakaknya, Sanusi Pane dan Armijn
Pane.
Di Batavia, Lafran bukannya
berubah. Kesibukan kakaknya di dunia pergerakan membuatnya leluasa untuk
kembali ke jalanan. Bergaul dengan beragam manusia, orang-orang jalanan,
nongkrong di sekitar bioskop Senen hingga bergabung dengan geng motor.
Perhatian dan nasihat kakak-kakanya tentang masa depan, sangat susah ia terima.
Titik balik Lafran justeru
terjadi di penjara. Setelah dinasihati Pak Wilopo, guru yang membelanya saat
demonstrasi sehingga tak jadi dikeluarkan dari MULO, guru yang kembali
membebaskannya dari penjara dengan syarat ia keluar dari geng motor dan menjadi
‘manusia baru’.
Lafran pun mulai mendengar
nasihat kakak-kakaknya, ia seakan terhempas pada kesadaran bahwa selama ini ia
terlalu terpusat pada dirinya sendiri, kemalangan nasib ditinggal mati seorang
ibu. Mencari pelampiasan, perhatian dan pengakuan dari orang lain, sibuk
memperjuangkan kemerdekaan sendiri dan lupa memperjuangkan kemerdekaan bersama.
Di usianya yang beranjak 17
tahun, Lafran mulai tertarik mengikuti pertemuan dan diskusi-diskusi pergerakan,
matanya mulai jelas melihat penjajahan, bangsanya bukan sedang diperintah tapi
dijajah dan diisap Belanda. Selepas MULO dan setelah terlibat banyak diskusi,
ia kemudian memutuskan kembali ke Sibualbuali, mendidik rakyat di kampungnya.
Begitulah Lafran, dari ikhtiar
memerdekakan diri hingga memerdekakan bangsanya. Menjadi saksi peralihan
penjajahan dari Belanda ke Jepang. Sayang usahanya mencerahkan rakyat di kaki
Gunung Sibualbuali harus terhenti, setelah lepas dari ujung Samurai tentara
Jepang, ia harus kembali hijrah ke Batavia. Di Jakarta, akhirnya ia menjadi
saksi Jepang menyerahkan kekuasaan dan hadir dalam peristiwa penting,
proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno bersama Bung Hatta.
Namun, Belanda benar-benar tak
menginginkan Indonesia lepas begitu saja. Bersama sekutu, ia kembali merebut
Indonesia sampai akhirnya pusat pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta.
Kepindahan Presiden dan Wakil Presiden beserta tokoh-tokoh bangsa lain tersebut,
menjadi jalan takdir bagi Lafran untuk ikut hijrah ke Yogyakarta. Di kota ini,
ia pun melanjutkan pendidikan, kuliah di Sekolah Tinggi Islam (STI) dan
memprakarsai berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam.
Mendirikan HMI
Lafran Pane yang kembali
menemukan semangat keberislaman, mengingat pesan nenek dan guru mengajinya
sewaktu kecil di Sipirok, mengamati laku mahasiswa muslim yang seakan-akan
kehilangan kebanggaan terhadap agamanya, mempertentangkan kemodernan dan
nilai-nilai keislaman.
Lafran menyaksikan banyak
mahasiswa yang malu melaksanakan ajaran-ajaran agama, bahkan di kampusnya, STI
tempat untuk melaksanakan salat pun tidak ada. Ia bertekad mengembalikan
semangat dan kebanggaan itu. Setiap hari ia merenung dan berpikir, berdiskusi
dengan Asrul dan Asmin, temannya satu asrama.
“Di zaman kita ini, tidak ada
yang lebih penting dari pada mengangkat harkat bangsa dan mempertahankan
kemerdekaan. Dan sebagai muslim, tiada yang lebih penting dari pada menjadi
muslim yang membawa rahmat bagi alam dan membela agama. Siapa yang bisa membela
negara dan agama ini? Semua orang, tetapi yang paling berperan itu kaum
intelektual. Kita, mahasiswa ini,” tegasnya di depan tiga gelas kopi dan dua
temannya yang masih terkantuk-kantuk.
Lafran bercita-cita membentuk wadah berhimpunan mahasiswa Islam, dalam rangka mengangkat harkat bangsa dan mempertahankan kemerdekaan, sekaligus meninggikan syiar Islam, demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Untuk mewujudkan tekatnya itu, ia tak segan mengajak diskusi beberapa rekannya, di kelas, di kos-kos, hingga mendatangi masjid-masjid yang dekat dengan kampus. Menurutnya, pemuda atau mahasiswa yang datang ke masjid tentulah pemuda-pemuda pilihan, dan mereka itulah yang jelas bisa diajak untuk mengembalikan kebanggaan terhadap agama. Tak sehari dua ia melakukan ‘pengintaian’ di masjid, mendatangi dan mengajak orang-orang yang dianggapnya ‘terpilih’.
Lafran bercita-cita membentuk wadah berhimpunan mahasiswa Islam, dalam rangka mengangkat harkat bangsa dan mempertahankan kemerdekaan, sekaligus meninggikan syiar Islam, demi mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Untuk mewujudkan tekatnya itu, ia tak segan mengajak diskusi beberapa rekannya, di kelas, di kos-kos, hingga mendatangi masjid-masjid yang dekat dengan kampus. Menurutnya, pemuda atau mahasiswa yang datang ke masjid tentulah pemuda-pemuda pilihan, dan mereka itulah yang jelas bisa diajak untuk mengembalikan kebanggaan terhadap agama. Tak sehari dua ia melakukan ‘pengintaian’ di masjid, mendatangi dan mengajak orang-orang yang dianggapnya ‘terpilih’.
Ada beberapa orang yang tertarik,
tetapi tak sedikit yang mencemooh dan memandangnya sebelah mata. Lafran tak
menyerah, bersama Asmin, ia mendatangi beberapa tokoh berpengaruh, dan tepat
pada tanggal 5 Februari 1947, Lafran membentuk HMI dan susunan pengurusnya, di
jam mata kuliah Tafsir yang diajar
Pak Hussein.
Pekerjaan rumah Lafran tak
selesai di situ, ia menginginkan HMI mampu keluar dari STI, tak dikesankan
hanya menjadi organisasi mahasiswa STI. Ia pun terus berusaha memperluar
jaringan. Dan cara satu-satunya adalah ikut kegiatan Kongres Perhimpunan Mahasiswa
Pelajar Indonesia (PPMI) di Malang pada Maret 1947, tetapi syaratnya minimal
harus memiliki 50 anggota. Ia pun kembali bergerilya, dan berhasil.
Di atas kereta, di tengah
perjalanan menuju Malang, Lafran Pane bersama Asmin bertemu Mohammad Syafaat
Mintaredja, seorang aktivis PMY. Pertemuan bersejarah, yang akhirnya mencatatkan
nama Mintaredja sebagai Ketua HMI dan Lafran secara sukarela melepaskan jabatan
sebagai Ketua, karena keinginan agar HMI lebih besar dari dirinya. Di zaman
Mintaredja inilah, HMI terbentuk di Malang, Solo dan Klaten.
Mengejar Cinta hingga Tanjungkarang
Lepas dari kesibukan konsolidasi
di HMI, Lafran menjalani kembali kehidupannya secara normal. Guyonan-guyonan
soal pendamping hidup yang selama ini tak terpikirkan karena kesibukannya,
perlahan mulai menyusup di kepalanya. Hingga satu waktu, ketika ia sedang
menunggu jadwal sidang tugas akhir, ia menerima undangan untuk berkunjung ke
kediaman kakaknya, Salmiah yang berhasil membangun Sekolah Taman Siswa di
Bengkulu.
Di kediaman kakaknya di Bengkulu,
Lafran bertemu Dewi, gadis Krui, Pesisir Barat yang menjadi guru TK Taman
Siswa. Setelah kembali ke Yogyakarta, Lafran dan Dewi terus berhubungan lewat
surat, sampai surat terakhir Lafran yang tak berbalas, kecuali surat dari
kakaknya, yang meminta Lafran segera berangkat ke Jakarta bertemu keluarga
Dewi. Dan, akhirnya pernikahan Lafran Pane dan Dewi dilangsungkan di rumah
orang tua Dewi, di Kaliawi, Tanjungkarang, pada 6 Oktober 1951.
Penutup
Untuk sebuah resensi buku, tentu
ini tak layak disebut resensi. Terlalu panjang! Namun, misi utama tulisan ini
memang bukan sekadar resensi, saya hendak mengetengahkan bagaimana kebaikan dan
kebenaran itu diperjuangkan. Dimiliki dan ditegakkan oleh siapa pun. Asal
konsisten!
Novel biografi, Merdeka Sejak Hati karya A. Fuadi ini,
mengisahkan bagaimana Lafran Pane sejak kecil, berpikir merdeka, menolak
aturan-aturan yang menurutnya bisa merenggut kemerdekaannya. Menolak bergantung
hatta pada saudara sendiri, menolak
dijajah oleh bangsa sendiri, lebih-lebih oleh bangsa asing. Ia memperjuangkan
kemerdekaan sendiri hingga kemerdekaan bersama. Ia konsisten memeluk ajaran
agamanya, dalam kondisi apa pun.
Konsistensi Lafran itu terus
didekapnya sejak kecil, saat menjadi aktivis, hingga menjadi orang tua dari
Toga, Iqbal dan Tetty dan menjadi Ompung
dari Fani. Menolak pemberian yang dianggapnya bukan hak, termasuk beasiswa
untuk anaknya, karena ia merasa masih mampu.
Bahkan, Lafran bersedia meletakkan
jabatan untuk cita-cita lebih besar, tak gila hormat dan kedudukan meski
peluang itu tersedia dan disediakan untuknya. Watak yang mestinya diwarisi oleh
setiap kader dan alumni HMI, yang bangga berproses di himpunan, organisasi yang lahir dari jerih payah dan keringat oleh ayahanda Lafran Pane.
Ala kulli hal,
terlepas dari beberapa kesalahan ejaan di beberapa bagian novel ini, Merdeka Sejak Hati wajib dibaca oleh
mereka yang ingin mengerti bagaimana cara merawat kesejatian diri, terutama
bagi kader HMI yang mulai silau oleh kilau kehidupan.
Data Buku
Judul : Merdeka Sejak Hati
Penulis : A. Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka
Tebal : xii + 365 Halaman
Cetakan Pertama, Mei 2019
0 Comments: