(Return,
Robinson Jeffers)
"Pulanglah...!"
Aku tak paham. Apakah itu
panggilan dari jauh atau bisikan dari hal yang paling dekat, yaitu hati?
Mungkin juga serupa yang ditulis oleh Robinson Jeffers seperti penggalan puisi
di atas. Pulang adalah mencari akar muasal, menziarahi masa kecil dan memunguti
kembali kebudayaan di mana dulu aku bermula, di pagi hari menciumi harum tanah
pulau selepas hujan dan menikmati cahaya kuning kemerahan yang membias di atas
permukaan laut kala senja.
"Pulanglah...!"
Menggema dalam relung, serupa Emak
merapal mantera di tengah sahara rindu, sunyi nan khusyuk.
"Jika tak ada yang
memberatkan langkah, tak ada yang menahan pundak, kampung halaman tentulah suka
menanti. Nyiur yang melambai di sepanjang tepian pantai, pekarangan yang
membentang tak terurus, tentulah merindu untuk dijamah. Rumah senyap tanpa
canda, menanti pulang semua ananda."
Pulang adalah jalan takdir semua
manusia. Tak ada yang tak ingin pulang, dan tak ada yang bisa menolak pulang.
Meski Emak, tak pernah berterang
menyeru untuk pulang. Namun, semua anaknya yang telah berkeluarga pastilah
paham, tiada yang lebih membahagiakan selain berkumpul bersama anak-anak
tercinta, apalagi kala keinginan terhadap nikmat dunia telah memudar, di kala
hidup tak sepenuhnya lagi menarik.
Aku membayangkan Emak yang telah
renta, berjalan tertatih sembari berpegang pada dinding-dinding rumah. Terlalu
sering Emak menyembunyikan kepedihan dan inginnya, hanya agar anak-anaknya
bahagia. Memendam rindu tanpa mengaku. Cinta yang benar-benar tanpa pamrih,
abadi sepanjang masa, rela mengorbankan kebahagian sendiri untuk kebahagiaan anak-anaknya.
"Sehat dan baik-baik
saja," begitulah Emak ketika ditanya tentang kabar lewat sambungan
telepon. Tak seperti aku, anaknya yang selalu pandai mengeluh, mengaku rindu
tetapi enggan bertemu, cinta yang berbalut kepalsuan. Bermanis kata agar indah
didengar, memaksa Emak untuk berpuas dan mengaku telah lepas rindu dan telah
senang hatinya, meski hanya bertamu di ujung telepon.
Betapa tak pandai aku memahami
binar mata Emak yang penuh bahagia, memeluk cucunya setiap kali bertemu kala
lebaran lima tahun yang lalu. Momen langka berbilang tahun.
"Pulanglah...!"
Kini kata-kata itu menggema. Menyeretku
ke masa lalu, masa kanak-kanak. Mengenangkan kenakalan yang kelewat batas.
Pulanglah ...
***
Kawan-kawanku telah pamit pulang,
mereka sudah berangkat menuju kampung halaman. Mudik.
Barangkali, bagi mereka yang
keluarganya masih utuh, kini sedang bercanda riang. Dan, bagi mereka, yang sebagian
keluarganya telah 'berpulang', mungkin sedang sibuk berziarah lalu memanjatkan
do'a.
Sementara itu, para tokoh bangsa,
KH. Arifin Ilham, KH. Tolchah Hasan, Hari Sabarno dan Ani Yudhoyono juga
berpamit. Mereka pulang menuju kampung halaman, menuju keabadian.
Aku dan kamu. Kita sedang sibuk
berhitung ongkos, naik pesawat, bus atau kereta.
Pulang itu pasti. Lewat apapun
dan bagaimana pun caranya. Bukan soal ongkos, tetapi tentang bekal, kita
menabur angin, kita menuai badai, menanam brotowali tak mungkin memetik durian.
Pulang ke kampung halaman, juga
bukan hanya tentang melepas rindu, mengenang masa-masa lucu, asyik-masyuk dalam kesenangan. Pulang
adalah menarik diri dari hingar-bingar kehidupan, menyepi di sudut sunyi, untuk
menekuk wajah, masuk dan menyelami nurani, berefleksi, benarkah kita telah siap
'pulang' atau kita terlalu nyaman dan asik bermain di luar, hingga lelah,
kehilangan arah dan akhirnya lupa jalan pulang?
Rahmatul Ummah,
Warga Yosomulyo
0 Comments: