Di Ramadan tahun lalu, aku pernah
merasa jengkel dengan sikap beberapa anak jalanan yang datang ke Masjid Taqwa.
Mereka biasanya datang menjelang berbuka dan setelah salat subuh. Makan dan
menumpang tidur di masjid.
Sebenarnya kekesalanku dilatari
banyak hal, selain aku tahu mereka tidak berpuasa, mereka juga sangat jorok dan
tidak bisa menjaga kebersihan masjid. Selepas makan, butir nasi dan bungkusnya
dengan tanpa merasa berdosa mereka tinggalkan
begitu saja, berserakan di teras masjid, belum lagi sisa air minum yang tumpah.
Begitu pun ketika menumpang tidur, masuk masjid tanpa membersihlan kaki
terlebih dahulu, menyisakan bekas tapak kaki mereka yang tanpa alas di karpet
masjid, belum lagi bau badan mereka yang tertinggal.
Beruntung, marbot masjid rutin
membersihkannya dengan vacuum cleaner
dan menyemprotkan pewangi setiap pagi, setelah mereka pergi.
Hingga di suatu kesempatan menjelang
akhir Ramadan, aku tak bisa lagi menahan kekesalan itu. Usai salat magrib aku
menyaksikan mereka masih makan bergerombol, sekitar 5 orang, usianya tak lebih
dari usia anak-anak sekolah menengah pertama. Aku menegur mereka agar
membereskan dan membersihkan bekas makanan mereka setelah selesai.
Namun, betapa dongkolnya aku
begitu kembali mendapati bekas makan dan minum masih berceceran, hanya bungkus
makanannya saja yang mereka buang ke tempat sampah. Aku menggerutu sendirian,
karena mereka telah menghilang entah kemana. Melihat kegusaranku itu seorang
senior di komunitas Aku Cinta Masjid (ACM),
menegur. “Sudahlah, tak usah marah. Bukankah tempat yang menjadi kotor ini bisa
menjadi ladang kebaikan untuk kita?” jelasnya.
Aku tentu saja terdiam. Tak
menyangka kata-kata itu keluar dari orang yang ku kenal lebih ‘emosional’.
Memang beberapa tahun belakangan,
seniorku ini aktif di kajian dan kegiatan-kegiatan keagamaan, termasuk rajin
memakmurkan masjid. Aku terkesan dengan nasihat-nasihatnya, termasuk yang
melekat dalam ingatanku hingga saat ini, bahwa dalam setiap sesuatu yang kita
anggap, kurang buruk bahkan jahat sekalipun pada diri seseorang, selalu
menyisakan ruang untuk kita berbuat baik, ladang pahala.
Berpikir positif atau berbaik
sangka ala seniorku itu
mengingatkanku pada Pygmalion, tokoh dalam mitologi Yunani yang hari ini
semakin langka kita temui.
Pygmalion adalah pemuda yang
memiliki bakat seni memahat. Pemuda jenius yang selalu berpikir positif. Hasil
seni pahatannya sangat indah, hampir menyerupai kenyataan dan terkesan memiliki
ekspresi hidup.
Dalam beberapa kisah, Pygmalion
diceritakan selalu berpikir positif dan berbaik sangka. Pernah suatu waktu,
ketika orang-orang mengeluh tentang lapangan yang becek. Pygmalion hanya
berkata, ‘untunglah, lapangan yang lain tak sebecek ini.’ Misal lain, ketika seorang
pembeli patung ngotot menawar dengan harga murah, kawan-kawannya marah dan
berbisik, ‘pelit sekali orang itu’. Pygmalion justeru menanggapinya dengan
mengatakan, ‘mungkin orang itu perlu mengeluarkan uang untuk urusan lain yang
lebih penting’.
Pikiran-pikiran positif Pygmalion
ini serupa dengan pandangan kawan saya, soal anak-anak jalanan yang ikut
berbuka padahal mereka tidak berpuasa, ‘Beruntung mereka ikut berbuka, tidak
menyusahkan orang lain dengan mencuri,’ atau ‘Berterimakasihlah, makanan
menjadi tidak mubazir, karena ada yang mau menghabiskan’.
Cara pandang seperti itu, saat
ini memang semakin sulit ditemui. Orang-orang sudah sangat terbiasa bahkan
secara otomatis berpikir buruk dan penuh kecurigaan dalam merespon berbagai hal
di hadapan mereka. Rerata pikiran-pikiran manusia abad ini bekerja secara instan
membuat kesimpulan, menelan mentah-mentah fenomena yang diserap inderanya.
Alih-alih berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan baik dari perilaku yang
memang dianggap minus, terhadap hal-hal baik saja yang muncul pertama adalah
kecurigaan dan sudut pandang negatif.
Pandangan negatif dan bangunan
kecurigaan menjadi tembok besar yang menghalangi manusia untuk membaur dan
menjadi tersekat-sekat dalam komunitas kecil, komunitas yang justeru
mengerdilkannya sebagai manusia. Kelapangan hidup, senantiasa dimulai dari
kelapangan pikiran. Tuhan menyebut tamsil surga yang lapang, seluas langit dan
bumi, karena dihuni oleh orang-orang yang gandrung berbagi, suka memaafkan,
mampu menundukkan amarah, dan selalu sibuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya
ketimbang menyalahkan orang lain.
Dalam sebuah riwayat dari Ibnu
Majah, suatu ketika Rasulullah sallallahu
‘alaihi wasallam menjenguk seseorang yang sedang sakit demam, beliau
menghibur dan membesarkan hati orang tersebut, ‘semoga penyakitmu ini menjadi
penghapus dosa-dosamu ini’. Orang itu menjawab, ‘tapi ini adalah demam yang
tinggi, jika menimpa orang tua yang sudah renta, bisa menyeretnya ke lubang
kubur’. Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “kalau demikian anggapanmu, maka
akan begitulah jadinya.”
Pesan lain tentang pentingnya
berpikir positif dari Rasulullah, ada dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Tirmidzi: “Barang siapa ridha, maka keridhaan itu untuknya. Barang siapa
mengeluh, maka keluhan itu akan menjadi miliknya.”
Kekuatan berpikir positif itulah
yang mengubah Galatea, patung buatan Pygmalion sebagai simbol kecantikan dan
kesempurnaan menjelma menjadi perempuan tercantik sejagad, dalam cerita
mitologi Yunani yang hingga kini dikenang dan dikenal sebagai Efek Pigmalion. Meski hanya sekadar
mitos, pengajaran tentang berbaik sangka atau berpikir positif adalah pelajaran
teramat penting yang bisa menghadirkan kenyamanan.
Kita tak bisa membayangkan,
ketika tak ada orang lain lagi yang membutuhkan kebaikan-kebaikan kita, tak ada
lagi orang miskin yang butuh sedekah orang-orang kaya, tak ada lagi orang jahat
yang membutuhkan nasihat-nasihat orang baik, tak ada lagi orang-orang yang
membutuhkan bantuan tenaga, pikiran dan materi yang kita punya. Lantas di mana
akhirnya letak kenikmatan hidup, ketika semua yang kita miliki dan usahakan tak
lagi memiliki manfaat?
Mengutip Frank Outlaw, pikiran
itu akan menjadi kata-kata, kata-kata menjadi tindakan, tindakan menjadi
kebiasaan, kebiasaan menjadi karakter, dan karakter itulah yang akan menjadi
nasib. The way you thinking, the way you
are!
0 Comments: