Kecenderungan manusia itu malu,
bila diidentikkan dengan hal-hal buruk, jahat dan penuh cela. Oleh karenanya,
banyak yang memodifikasi penampilannya agar terkesan baik. Di antara mereka,
ada yang bahkan menahbiskan diri sebagai ahli surga atau pemegang kunci surga.
Intinya, semua mereka ingin baik atau minimal terlihat baik dan setelah mati,
masuk surga.
Salah? Tentu saja, tidak! Tidak
ada yang keliru dengan kegandrungan baik atau terkesan baik, sama seperti juga
keinginan untuk masuk surga, membangun jaringan, koneksi hingga menempatkan ‘orang
dalam’ di surga.
Toh, itu soal
otonomi diri, pengakuan alias klaim sendiri-sendiri.
Persepsi tentang surga itu
macam-macam. (Barangkali) yang tak boleh adalah mempersepsikan surga secara
keliru. Seperti sepotong ceramah komedi, dari seorang yang memodifikasi diri
menjadi ustaz dalam sebuah acara televisi, bahwa surga itu bebas minum-minuman
keras dan pesta seks.
Ustaz hasil modifikasi ini, bisa jadi sering membayangkan soal kenikmatan dan kebebasan di dunia yang identik dengan
pesta, perempuan dan minuman, sehingga tatkala mendengar surga bergandeng dengan
bidadari, segala ingin dituruti, lantas ia terburu-buru berimajinasi tentang
kehidupan dirinya di surga, penuh glamour dan sehari-harinya diisi dengan pesta
seks bersama perempuan cantik berpayudara menyembul dan pesta minuman keras.
Imajinasi surga yang vivid dan
sensual.
Persepsi seperti itu tak ada
bedanya dengan pecandu foto atau film Mia Khalifa, yang membayangkan setiap
perempuan cantik di depannya, memiliki postur, bentuk tubuh hingga organ intim
serupa dengan milik Mia Khalifa, ia memindahkan bayangan Mia Khalifa ke tubuh
si perempuan. Akibatnya, cara pikir mesum ini menyeretnya hingga hilang
kendali.
Chairil
Anwar dalam buku kumpulan puisi Aku Ini
Binatang Jalang, mengejek nakal dengan puisi “Sorga” yang ditulisnya, 25
Desember 1947. //Seperti ibu + nenekku juga/tambah
tujuh keturunan yang lalu/aku minta pula supaya sampai di sorga/yang kata
Masyumi Muhammadiyah bersungai susu/dan bertabur bidari beribu//Tapi ada suara
menimbang dalam diriku/nekat mencemooh: Bisakah kiranya/berkering dari kuyup
laut biru/gamitan dari tiap pelabuhan gimana?/Lagi siapa bisa mengatakan
pasti/di situ memang ada bidari/suaranya berat menelan seperti Nina, punya/kerlingnya
Yati?
Sajak ini memang nakal, (mungkin)
jika ditulis saat ini, bisa dijerat pasal penistaan agama dan telah dibully oleh jutaan netizen. Mana mungkin,
membandingkan kenikmatan surga dengan kenikmatan duniawi. Meski tak dipungkiri,
kerlingan Nina begitu memabukkan, hingga tak sedikit yang terpojok di ruang
temaram berakhir peluh dan keluh, seraya bergegas menata gamis, meyisir
jenggot, agar terlihat tetap agamis.
Goenawan Mohamad seakan hendak
menabalkan, dengan mengutip sajak tersebut dalam Catatan Pinggir-nya, ‘Surga’. Ia menulis bahwa banyak manusia
hedonis, mementingkan kenikmatan hari ini, menyangsikan surga karena ada Nina
dan Yati yang bisa langsung disentuh. “...bukankah
lebih pasti perempuan yang ada di bumi: Nina dengan suara serak-serak basah, Yati
yang memikat dengan kerling matanya? Penampikan Chairil tak
sendirian,” tulisnya.
Manusia tak pernah ajek, kata Goenawan. Ia perlu reward dan punishment, surga adalah hadiah dan neraka adalah ancaman. Hingga
ketulusan menjadi raib dalam eskatalogi, agama menjadi pamrih. Sabagian besar kebajikan
yang mestinya memilih jalan sunyi dan sembunyi-sembunyi, sekarang tak afdhal bila tak ditaja dalam perhelatan
akbar, di bawah terang sorot lampu dan blitz
kamera. Surga diburu dengan membunuh, jihad sebagai cover teologisnya. Dakwah tak lagi dimaknai menyeru melainkan
menyaru, mengejek bukan mengajak.
Setiap orang absah memiliki lamunan tentang surga
dan segala turunan kenikmatannya, selama ia tak memaksa lamunannya menjadi isi
lamunan orang lain. Ia bisa ereksi lalu ejakulasi ketika berimajinasi tentang
bidadari perawan, asal jangan paksa orang lain menjadi pelampiasan syahwatnya.
Comments
Post a Comment