Jalan gang depan rumah tampak
sepi. Barangkali, orang-orang pergi ke masjid. Sebentar lagi lebaran. Biasanya
masjid kembali penuh, setelah ditinggal sepi jamaahnya di pertengahan Ramadan.
Mereka sibuk mencari rezeki untuk mempersiapkan kebutuhan lebaran, beli kue dan
baju baru untuk anak-anak.
Perutku sedikit mules, sehingga aku berangkat belakangan
ke masjid. Gawaiku berdering, sesaat setelah aku keluar dari kamar mandi. ‘Ah,
sudah terlambat, ditambah ada telepon,’ rutukku dalam hati.
“Halo, Bang. Saya mau ke masjid, bagaimana kalo nelponnya setelah dari
masjid saja.”
Aku mengangkat telepon dan
berusaha memutus obrolan tersebut. Sepakat, suara di seberang juga
menginformasikan, bahwa ia juga sebenarnya sedang bersiap pergi ke masjid.
Pulang dari masjid, sahabatku itu
pun memenuhi janjinya. Menelepon.
Obrolan panjang lewat sambungan
telepon tersebut, singkatnya memintaku bergabung kembali dalam grup yang
sebenarnya sudah sejak lama aku bersamai, hanya karena kesibukan dan keseganan
bertemu mereka sebagai orang-orang hebat, nyaris membuatku telah hampir setahun
tak bersilaturahim. Terlebih, aku merasa bahwa keberadaanku juga tak terlalu
diperlukan di grup tersebut.
Diajak kumpul-kumpul kembali
tentu saja membuatku senang. Ternyata anggapan bahwa kawan-kawan tak peduli dan
tak lagi mengingatku, adalah prasangka yang keliru. Aku pun segera merencanakan
untuk bertemu dan bersilaturahim.
“Barangkali momentum lebaran,
menjadi momen pas untuk berkunjung,” pikirku.
Beranjangsana kepada kerabat dan
teman dekat memang telah lama menjadi tradisi baik di hari raya idulfitri, yang
hingga kini dirawat dan dilestarikan di Indonesia. Lebaran menjadi alasan dan
momentum menepis keseganan dan keengganan untuk bersilaturrahim. Lebaran
menjadi ruang rehat merajut kembali keakraban, bagi mereka yang beraktivitas
padat. Merapat jeda hingga hilang praduga.
Sebulan lalu, hari keempat di
bulan Syawal, aku berkesempatan berkunjung untuk melepas rindu, bersilaturahim
dengan beberapa kawan. Bertanya kabar yang mulai kabur.
Sambutan layaknya saudara, tak
hanya mampu mengobati rindu, tapi juga memahat haru. Betapa kawan-kawan begitu
peduli dan bersimpati. Mengalir banyak nasihat dan motivasi. Barangkali, jika
saja air mata tidak terlalu banyak menguap karena usia, telah banjir
menggenangi wajahku, hanya sebulir hangat terasa menggenangi sudut mata.
Jelang tengah malam, setelah
berpamit. Di tengah perjalanan pulang, aku merenung seakan berada di
persimpangan jalan tanpa rambu, apakah aku harus memutar haluan, kembali pada
hiruk pikuk dunia yang bising, kehidupan yang berkali-kali kukutuk atau tetap
memilih jalan sunyi, menepi dari segala urusan duniawi?
“Manusia yang baik tentu adalah
mereka yang berpikir bukan untuk pribadinya semata, tetapi juga anak-anak dan
kebermanfaatannya bagi manusia yang lain,” menjadi risalah nasihat yang paling
menganggu, membuat dilema dan bingung.
Logis, ketika berada di fase
senja, orang berasyik masyuk dengan kebersahajaan, mengikis sedikit demi
sedikit keinginan serakah atas dunia, memilih ruang sunyi agar terhindar dari
dunia yang terus menerus menggoda, tetapi itu pilihan bagi mereka yang memiliki
sistem pertahanan lemah untuk tetap menjadi bajik di tengah gempita dan
keramaian. Dan itu, aku!
Aku menjadi ragu. Meski berusaha
menyibukkan diri untuk terus membaca dan menulis, tetap saja aku terpojok pada
kesunyian, dan kata-kata itu terus menjelma seperti teror, di hadir di setiap
halaman buku yang kubaca, membayang pada layar monitor.
Apakah ini masa depan atau justru
godaan? Tentu, tak seorang pun bisa menjawab, selain aku sendiri, sedangkan aku
tak lagi cukup memiliki pengetahuan dan ketegasan ketika berhadapan dengan
pertanyaan itu.
Beberapa hari kemudian, sebuah pesan
berisi pertanyaan muncul dari gawaiku, “Bagaimana?”
Aku bisa saja menghindar dengan tidak
membalas pesan singkat tersebut, namun aku tak mungkin membiarkan ada
prasangka-prasangka liar yang lahir dari sikapku, tak merespon pertanyaan itu.
“Belum, Bang. Aku istikharah
dulu.”
Jawaban singkat itu tentu bukan
lahir dari karakter kehidupan relegiusku. Bukan, sekali lagi bukan! Itu
hanyalah jawaban spontan. Aku tak pernah merasa memiliki kehidupan yang
relegius, mengasingkan diri dari keramaian, bukan karena maksud berkhalwat atau
meditasi dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan, melainkan mengambil jarak
agar tak terlalu sering melakukan keburukan, menebar kebencian dan menyakiti
orang lain. Hanya itu! Itu pun karena secara berulang-ulang mendengar ujar-ujar
bijak dari kawan, jika tak mampu menjadi penyelesai masalah, minimal bukan
pembuat masalah, jika tak mampu melakukan kebaikan, minimal tak menyuburkan
keburukan.
Malam beranjak larut. Tampilan microsoft word yang sejak lepas Isya
terbuka, kosong tanpa kata. Di luar hujan tiba-tiba turun begitu deras.
Pandanganku beralih ke tulisan, “Kitab
Suci Kesatria Cahaya adalah ajakan bagi kita semua untuk mewujudkan impian,
menerima ketidakpastian dalam hidup, dan bangkit untuk menyongsong takdir
pribadi kita yang unik.” Kata-kata itu tertulis begitu jelas di sampul belakang
buku karya Paulo Coelho, tergeletak
terbalik di antara buku-buku lain seperti sebuah isyarat, petunjuk.
Aku bangkit. Kubuka pintu kamar
depan, aku melihat anak bujangku yang sudah remaja, dua tahun lagi ia kuliah.
Ia tertidur pulas bersama adiknya yang baru saja naik kelas enam sekolah dasar.
Di kamar sebelah istriku juga telah pulas bersama putra bungsu kami yang kini
genap berusia 7 tahun.
“Tuhan, beri aku ketetapan hati!”
lenguhku mengeluh dalam hati. Aku merasakan betapa tipisnya tanggungjawabku
terhadap mereka. Ngilu, pilu dan sesak. Betapa rumitnya masalah kehidupan ini.
Sepanjang perjalanan hidup, aku memang tak pernah berpura-pura, kecuali dalam
satu hal, hidup yang tak pernah susah.
Istikharah. Entah, tiba-tiba
jawaban spontan itu melintas. Selama ini aku terlalu angkuh untuk tidak meminta
tolong dan melibatkan Tuhan dalam setiap urusanku. Aku merasa semua pertanyaan,
selalu bisa kujawab. Semua masalah aku yakini pasti bisa kuselesaikan. Tuhan
terlalu agung, untuk terlibat dalam setiap soal hidup yang remeh-temeh.
Hari-hari berlalu. Aku mulai
melaksanakan salat istikharah.
Segenap pengharapan kugantungkan kepada Tuhan.
“Tuhan, lindungi aku dari keadaan yang lebih buruk dari
keberadaanku hari ini. Kuatkan dan kokohkan pundakku untuk menanggung setiap
urusan dan amanah, mantapkan hatiku untuk menjalani setiap pilihan.”
Begitulah narasi doa yang
kupanjatkan berulang-ulang, di setiap sujud dan tangan tengadah. Tuhan Mahatahu
semua maksudku.
Setelah tiga kali istikharah --tidak berturut-turut setiap
hari-- aku mulai tergerak mencari undang-undang, meski membacanya dengan
malas-malasan, sembari menunggu kontak kawan-kawan yang menasihati, mendorong
dan menyemangatiku untuk mendaftar di sebuah lembaga yang menjadi ‘perburuan’
banyak aktivis itu.
Tak menunggu berhari-hari, ketika
harapan dihubungi itu muncul dini hari, esoknya menjelang sore sebuah pesan
pendek masuk. “Malam ini ada kumpul-kumpul,”
pesan singkatnya. Aku merasa ini benar-benar jawaban dari setiap doaku.
Kami berkumpul, bercerita banyak
hal. Tak melulu soal lembaga yang sukses menyita pikiran dan konsterasiku
selama berhari-hari itu, tetapi juga
soal dunia kepenulisan, tentang menulis esai, menulis fiksi, sampai rencana
keinginan menerbitkan novel.
Anehnya, bukannya mantap dan
yakin, selesai dari pertemuan itu, aku justru kembali ragu.
Beberapa hari lewat, tanpa
menyentuh undang-undang dan buku-buku terkait dengan materi-materi yang
kemungkinan diujikan. Tak juga ada ‘isyarat’ dari kawan-kawan yang bisa menjadi
penepis keraguan itu. Aku malah asyik dengan beberapa novel dan buku-buku
sejarah Lampung.
Pengumuman pendaftaran dan
penyerahan berkas telah dibuka. Beberapa kawan menghubungiku, bahkan ada yang
bersedia membantu biaya mengurus berkas. Aku tentu saja terenyuh, haru. Biaya
mengurus berkas menurut ukuranku, memang tidak kecil. Namun, anehnya aku
justeru semakin yakin untuk memutuskan.
“Aku tidak mendaftar!”
“Maafkan, kawan. Barangkali aku
memang terlalu lemah untuk hidup dalam dunia yang penuh prasangka. Aku tidak
cukup kuat hidup dalam bayang-bayang kecurigaan. Biarlah, aku tetap memilih
jalan sunyi ini, aku menikmati dan memasrahkan segalanya kepada Sang
Penggenggam segala kehendak.”
Tabik.
Metro, 27 Juli 2019
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo)
Tes
ReplyDelete