Seringkali pemilik kebijakan dipusingkan dengan urusan mengundang
sebanyak-banyaknya orang untuk hadir atau berkunjung ke daerahnya, sehingga
kebijakan pembangunan tidak lagi didasarkan kebutuhan warga atau penghuni
daerah, karena yang terpenting adalah menghadirkan keramaian, menarik minat
sebanyak-banyaknya ‘orang luar’. Logika pembenarnya, semakin banyak orang
datang akan semakin banyak uang berputar, ekonomi bergerak!
Jika, soal mendatangkan banyak orang ke suatu daerah, maka barangkali tak
ada cara yang lebih efektif selain menawarkan wisata seks. Meskipun, tentu saja
banyak orang yang akan menolak, karena di samping ide tersebut tidak populis
dan bertentangan nilai, moral dan etika ketimuran, masyarakat kita juga
termasuk orang yang sangat memegang teguh ajaran agama, terutama soal simbol
dan hal-hal yang terkait dengan apa yang terlihat.
Buktinya, di ruang-ruang privat masih banyak konsumen dan pecandu
situs-situs porno serta para pemburu berita seputar selangkangan. Bahkan pada
Juni 2016 sebuah situs merilis daftar Negara yang warganya royal belanja seks,
Indonesia salah satunya. Berada di peringkat 12 yang paling royal melakukan
transaksi tersebut, dengan rata-rata transaksi pertahun sebesar 2,25 Miliar
Dolar AS.
Cina adalah Negara dengan jumlah transaksi tertinggi sebesar 73 Miliar
Dolar AS, mengungguli Spanyol, 26,5 Miliar Dolar AS, Jepang 24 Miliar Dolar,
Jerman 18 Miliar Dolar AS, Amerika Serikat 14,6 Miliar Dolar AS, dan tiga
peringkat di atas Indonesia adalah Filipina, 6 Miliar Dolar AS, Turki 4 Miliar
Dolar AS dan Swiss 3,5 Miliar Dolar AS.
Menurut situs tersebut, rata-rata Negara yang masuk dalam 12 peringkat
yang warganya royal melakukan transaksi prostitusi tersebut, rata-rata adalah
Negara yang tidak melegalkan hal-hal yang berbau syahwat, termasuk Indonesia.
Dan, ironisnya UNICEP justeru memperkirakan 30 persen pelacur perempuan di
Indonesia berusia di bawah 18 tahun.
Fenomena ini, menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia yang sopan dan
pemalu ketika tampil di ruang khalayak atau bahkan terkesan anti dengan segala
sesuatu yang berbau erotisme, ternyata menjadi salah satu konsumen yang paling
royal bertransaksi seks. Data tersebut semakin diperkuat dengan survei yang
dilakukan oleh Google tahun 2015,
Indonesia menempati posisi ketiga sebagai Negara yang paling sering mengakses
situs porno.
Menabrak Tabu
Dalam buku “Dari Logika Tuyul ke
Erotisme”, Benny
H. Hoed memaparkan bahwa irrasionalisme menjadi bagian yang belum bisa dipisahkan dari
realitas kemasyarakatan Indonesia. Logika-logika yang tidak masuk akal sering
ditemukan dalam berbagai kasus dan lini kehidupan. Seorang politisi menjelang
Pemilu, sering terdengar pergi bertapa “ngelmu”
meminta kelancaran dan keajaiban agar memenangkan Pemilu, atau masih sangat
akrab istilah memelihara tuyul untuk menjadi cepat kaya.
Logika-logika tuyul ini berlaku hampir di semua lini, dalam bentuk dan
wajah yang berbeda-beda, logika tunggal tuyul yang penting kaya bodo amat soal cara, termasuk ketika hendak memaksakan kebijakan
pembangunan yang bisa menghadirkan keramaian, penanda kemajuan kota,
meski di satu sisi harus mengabaikan kepentingan warga atau penghuni kota.
Karena yang penting ramai proyek jalan, maka harus menghadirkan “sesuatu” yang bisa membuat
ramai. Soal keramaian bisa menyebabkan kemacetan, kesemrawutan bahkan bisa
menghadirkan masalah baru seperti penumpukan sampah, adalah soal lain, yang
penting ramai.
Padahal, jika hanya soal mengundang keramaian yang bisa menyebabkan
terjadinya perputaran uang di satu daerah, tanpa mengindahkan dampak negatif
yang lain, kenapa tidak sekalian mengambil jalan pintas, menggagas kota erotis.
Memperbanyak usaha-usaha hiburan, yang salah satu menunya adalah desahan erotis
yang lebih cepat mengundang keramaian pengunjung, dan hal tersebut pasti
berdampak secara signifikan terhadap perputaran uang.
Kalau alasannya, khawatir dosa, tidak sesuai adat-istiadat, etika, agama
dan adab, bukankah telah sejak lama dosa, adat-istiadat ketimuran, etika dan
agama ditinggalkan? Mana mungkin, kekhawatiran atas dosa bisa bergandeng-tangan
dengan praktik setoran pada setiap lelang pekerjaan, mana mungkin adat-istiadat
ketimuran dan etika bisa bermesraan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dan, bukankah kota erotis, bisa menjadi barometer kejujuran yang membuat
warga kota tidak lagi terjebak pada topeng hipokrasi, pejabat malu-malu padahal
sebenarnya seringkali menjadi benalu terhadap anggaran rakyat. Kota erotis,
akan menjadikan kota bergerak dan beraktivitas 24 jam, yang membuat kota lebih
hidup di malam hari.
Jadi, tak perlu pusing jika hanya bercita-cita menghadirkan keramaian
dan mengundang orang datang ke satu daerah, apalagi ketika solusi-solusi yang
ditawarkan untuk menghadirkan keramaian itu, juga bukan solusi yang berbasis
kebutuhan riil penghuni dan warga kota! Bukankah selama ini laku korupsi,
mementingkan kelompok dan memperkaya diri sendiri, keluarga dan golongan adalah
tradisi yang telah mengakar dan memantati moral dan agama, lalu kenapa harus
tabu menghadirkan kota erotis yang bisa menyedot uang lebih besar?
Tentang Kota Kita
Kota yang
dulu pernah ditahbiskan menjadi kota pendidikan itu, kini juga sudah mulai
merias wajah kota dengan lampu kerlap-kerlip serupa lampu disko, kelereng
raksasa di sepanjang jalan utama, dan ruang-ruang publik yang dibedaki dengan
warna-warna menor.
Artistik dan
estetik? Mungkin.
Paling
tidak, desain ruang kota seperti itu sudah mewakili dua kata, pendidikan dan
hiburan. Tata ruang kota, arsitektur dan desain, telah sukses
ditampilkan dalam wajah kota, dan telah cukup mewakili julukan pendidikan
bagi kota ini yang bisa dirujuk pada selera dan pengetahuan para insinyur dan
pekerja seni di kota ini.
Selain itu,
kelereng raksasa di sepanjang trotoar dan semarak lampu di setiap jembatan, serta warna-warni tiang
yang ditata sangat artistik sepanjang kurang dari 500 meter di pintu gerbang
masuk kota, sudah sangat menggambarkan pemandangan yang menawan. Ada ragam interpretasi
soal warna-warni itu, kota yang plural penuh toleransi, refresentasi kota
dengan ragam suku-budaya, agama dan keyakinan, hidup berdampingan penuh harmoni.
Kota yang
terbuka, ramah dan ragam interpretasi positif lainnya.
Dari
perspektif ini saja, sudah cukup menjadi penegas bahwa perencana dan arsitektur
kota ini adalah ilmuwan, yang selain memiliki perspektif budaya dan seni, juga memiliki
maqam setara filsuf, desainnya sangat
filosofis dan kaya makna.
Maka tak
perlu heran, selama empat tahun terakhir, kota ini berjalan penuh damai. Tak
ada intrik terlebih kritik. Mahasiswa yang biasanya kritis dan rela berlelah-lelah,
berpeluh keringat di jalan-jalan menggelar aksi, maka untuk periode ini mereka
tak punya alasan bergerak, semua kebijakan pembangunan telah on the track, berada di jalan yang
benar!
Jika ada
desas-desus soal pohon besar yang ditebang untuk dibuat meja raksasa kepala
daerah, tentu saja itu tak salah, sudah sesuai kajian, bukan hanya sekadar
melibatkan analisis hukum dan kesehatan lingkungan, tata ruang, melainkan
sampai pada kajian hukum fiqih soal mafsadah
dan maslahah. Dar’ul mafasid muqaddamun
‘ala jalbil mashalih.
Isu soal mark-up proyek, setoran, jual beli
jabatan hingga pengadaan seragam sekolah, tentu saja itu hanya gosip murahan
yang dihembuskan barisan sakit hati, mereka yang tak kebagian kue pembangunan. Biasa saja! Di setiap rezim memang selalu
ada kelompok seperti itu, anjing menggonggong kafilah berlalu.
Pada
pokoknya, kota ini telah sukses menentukan pemimpin yang egaliter dan lebih
mementingkan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan diri sendiri, kerabat,
istri, anak, menantu dan handai tolan, sehingga kesejahteraan dirasakan secara
merata oleh semua rakyat. Kota yang gemah
ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo. Warisan kekuasaan seperti
inilah yang harus dipertahankan, meskipun akhirnya mirip kekuasaan kerajaan, tak
apa! Dinasti itu toh hanya istilah,
yang penting kesejahteraan. Terlebih jika dinasti tetap lewat ‘jalan’
demokrasi.
Kota ini,
betul-betul menjelma menjadi kota impian semua orang. Harga kos-kosan murah,
kuliner lengkap dan terjangkau, orang bebas pergi ke tempat hiburan tanpa harus
takut kehormatannya tanggal, karena meski bisnisnya lendir menjijikkan tetapi menjanjikan, kemasannya tetaplah beradab, hal itu tentu saja tak lepas dari
julukannya sebagai kota pendidikan. Hipokrit? Itu sih menurut mereka yang dengki.
Satu lagi, bisnis ‘kenikmatan instan’ ini pun bisa dipesan online, privasi terjamin hingga aneka keistimewaan layanan ketika menjadi member, yang tentu berbeda dengan non-member.
Satu lagi, bisnis ‘kenikmatan instan’ ini pun bisa dipesan online, privasi terjamin hingga aneka keistimewaan layanan ketika menjadi member, yang tentu berbeda dengan non-member.
Di kota ini
iblis, bisa terlihat sangat manis! Ajaib, memang! Tapi, itulah tuah dari kepala
daerah yang mencintai dan dicintai rakyatnya.
Jika, suatu
ketika Anda mendengar orang mendendangkan syair, Tanah ini tanah surga, suruh mereka menyanyikan lagu itu di kota
ini.
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo)
0 Comments: