Kemerdekaan/mengajarkan aku berbahasa/membangun kata-kata/dan
mengucapkan kepentingan//
Kemerdekaan/mengajarkan aku menuntut/dan menulis surat selebaran
Kemerdekaanlah/yang membongkar kuburan ketakutan/dan menunjukkan
jalan//
Kemerdekaan/adalah gerakan/yang tak terpatahkan//
Kemerdekaan//selalu di garis depan
(Puisi
“Kemerdekaan” Wiji Tukul, 27/12/1988)
Kampung-kampung dihias. Setiap
kali memasuki bulan Agustus, hampir semua warga kompak memasang umbul-umbul, penjor
dan bendera merah putih di depan rumahnya. Beragam gelaran lomba dan permainan
tradisional dihelat, dari kampung-kampung terpencil hingga gang-gang sempit
perkotaan.
Setelah mengalami ketertindasan, hidup dalam kondisi terjajah lalu
merdeka, bangsa ini memang patut dan layak untuk menghibur diri dan berbahagia
dengan berbagai cara semampu mereka. Dalam keterbatasan, kekurangan bahkan
ketidakberadaan, apapun yang bisa mendatangkan senyum dan gelak tawa. Walau
berarti harus menertawakan orang lain, atau bahkan menertawakan diri sendiri, hal
itu sudah cukup menghibur.
Semua orang terlibat, mulai orang
dewasa hingga anak-anak, bapak-bapak dan ibu-bu, ingin ambil bagian dalam
perayaan dan lomba yang diselenggarakan, lomba-lomba populer seperti makan
kerupuk, lari karung, lomba memasukkan kelereng ke dalam botol, tarik tambang,
dan panjat pinang.
Soal panjat pinang ini, konon
sejarahnya adalah lomba yang biasa diadakan oleh para meneer Belanda
ketika berpesta, sambil minum-minum dan tertawa-tawa mereka menyaksikan bangsa
kita berlomba menaiki pohon pinang yang telah dilumuri minyak dan arang,
kemudian karena licin melorot kembali. Terakhir setelah pelicinnya mulai
sedikit demi sedikit habis, barulah mereka sampai ke puncak pohon pinang dan
mengambil hadiah-hadiah yang disediakan sebagai umpan (penarik).
Namun, kemudian setelah
kemerdekaan lomba ini tetap dipertahankan dengan filosofis berbeda, bahwa untuk
sampai ke puncak dan mengambil hadiah yang disediakan tidak bisa dilakukan
sendiri-sendiri, tetapi dengan bekerjasama, pundak dan bahu dipijak serta penuh
perjuangan dan pantang menyerah, serupa dengan upaya mencapai kemerdekaan
Republik ini.
Tujuh puluh empat tahun,
begitulah terus menerus cara kita merayakan dan memperingati kemerdekaan ini,
dengan riang gembira dan nyaman. Hal-hal yang sebenarnya tanpa kita sadari
telah menampakkan wajah dan identitas kita sebagai warga yang telah merdeka lebih
dari setengah abad, namun tetap miskin kreatifitas dan inovasi. Wajah yang
berada di seputaran karung, tambang, kerupuk, lumpur dan lelucon. Wajah dari
kebanyakan warga Indonesia, yang berjuang mendapatkan kesejahteraan dengan
jatuh bangun, berkubang lumpur, saling injak, bahu membahu, kemudian tertawa
dan ditertawakan.
Padahal ada banyak hal yang bisa
dilakukan dari sekadar perayaan-perayaan serimonial yang konon dibiayai APBD, sponsor dan donasi
dari para dermawan tersebut. Sebutlah misalnya, bahu-membahu membangun perpustakaan kampung, membangun gardu atau melengkapi lampu penerangan jalan, daripada merias kampung dengan bermacam umbul-umbul dan lampu warna-warni, mereplikasi kebodohan dari tahun ke tahun, dan dilakukan
dengan kesenangan dan kegembiraan.
Gerakan warga bahu membahu
menciptakan kampung yang bersih, bergotong royong memungut sampah,
berlumpur-lumpur membersihkan kali,
menciptakan kampung yang aman dari maling dengan menggelar siskamling
rutin dan terjadwal. Bukankah kebutuhan kita hari ini adalah rasa aman, ketika
memarkir kendaraan di depan rumah, ketika keluar di malam hari, ketika anak
gadis kita berjalan sendiri?
Bukankah kebutuhan kita hari ini
adalah sehat dan terbebas dari penyakit sehingga sebagai orang miskin kita tak
perlu pusing dengan biaya? Bukankah kita ingin lepas dari was-was, warung sepi
pengunjung karena kalah bersaing dengan Indomaret dan Alfamart yang mulai
menyerbu kampung-kampung kita? Bukankah kita sedang memimpikan terbebas dari
kebodohan, sehingga tidak terus menerus dibodohi oleh kekuasaan dan pemodal?
Kemerdekaan adalah bukan ketika
kita bisa melupakan kegalauan dalam sekejap, mengubur kegetiran dalam sehari,
dengan saling menertawakan dan ditertawakan, padahal secara diam-diam sepeda
motor yang kita bawa ke tengah lapang telah raib dibawa maling. Semu dan
menipu!
Warisan kekerasan simbolik ini
harus dihentikan, meski sangat susah karena telah dianggap sebagai tradisi yang
baik, yang menghibur dan menyenangkan. Suatu waktu, harus ada yang berani
keluar dan memberontak dari model perayaan bodoh, dan ironisnya ikut dirayakan
di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah!
Sebagaimana pesan Wiji Tukul di
atas, tulisan ini hendak menularkan keberanian menuntut, membongkar kuburan
ketakutan dan menunjukkan jalan kebenaran, bahwa kemerdekaan adalah jalan yang
tak terpatahkan, tidak berisi eksploitasi. Kemerdekaan adalah keberanian menertawakan
penguasa yang terjatuh dan hampir pingsan karena kelelahan ketika memimpin
upacara bendera, agar si penguasa tersebut juga mengerti bahwa hidup ini keras
dan melelahkan. Hidup ini tak senikmat ruang yang teduh dan sejuk berpendingin.
Terakhir, saya juga ingin menutup
tulisan ini dengan puisi:
“Peringatan” karya Wiji Tukul.
Jika rakyat
pergi
ketika
penguasa pidato
kita harus
hati-hati
barangkali
mereka putus asa
Kalau rakyat
bersembunyi
dan
berbisik-bisik
ketika
membicarakan masalahnya sendiri
penguasa
harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat
berani mengeluh
itu artinya
sudah gawat.
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo)
0 Comments: