Habibie dan pesawat. Dua kata yang sangat akrab di telinga anak-anak pulau, dua kata yang setiap kali disebut akan menarik perhatian kami. Ketika ada yang meneriakkan kata pesawat, kami yang sedang berada di kelas, atau berkerumun di tengah sawah, bermain di halaman rumah akan segera berhamburan pada satu titik, tanah yang lapang sembari mendongakkan kepala, menanti si burung besi itu lewat di atas kami, berteriak-teriak dan melambaikan tangan. Begitu pun, kala nama Habibie disebut oleh guru, suasana kelas yang berisik akan berubah jadi hening seketika, semua orang akan menyimak dengan seksama setiap cerita tentang Habibie.
Masa itu, kami hanya tahu bahwa yang membuat pesawat
terbang adalah Habibie.
Dinding papan yang nyaris lapuk, penuh coretan, menjadi
saksi bahwa di tahun 1980-an akhir, nama B.J. Habibie telah sampai di pulau
terpencil, ujung paling timur Pulau Jawa, berdiam di hati anak-anak kecil, yang
berseragam merah-putih berkaki telanjang dengan sisa lumpur sawah di sekitar
bangunan SD Inpres Negeri VIII Sapeken di Pulau Saur.
Nama Habibie, ditulis di antara tulisan-tulisan lain
yang menjadi cita-cita anak-anak kecil di pulau kami, dokter, insinyur, pilot,
dan guru. Masih lekat dalam ingatanku, ketika guru bertanya tentang cita-cita
kami, seorang teman yang menjadi saingan terberatku menjadi juara kelas, Efendi namanya, akan menjawab dengan lantang: Habibie!
Bagi Efendi, Habibie adalah cita-cita. Efendi dan kami
semua mengetahui bahwa Habibie selain dari nama orang, Habibie juga adalah
profesi hebat. Ahli membuat pesawat, sehingga temanku Efendi yang bercita-cita
menjadi Habibie sesungguhnya sedang menegaskan cita-citanya untuk menjadi ahli
atau pembuat pesawat terbang saat itu.
Sayang, setelah sekolah dasar itu, ia tidak memiliki
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, ia diminta membantu dan meneruskan
pekerjaan orang tuanya sebagai tukang kayu.
Waktu itu tak ada nama orang Indonesia sepopuler
Habibie di pulau kami, jika pun ada, mereka adalah nama-nama pahlawan di buku pelajaran PSPB, yang wajib kami hafalkan. Habibie tak hanya disebut di ruang kelas, di
tulis di bangku dan dinding papan sekolah, tetapi juga ketika sedang bermain,
terlebih saat membuat mainan pesawat dari kayu, pelepah pisang atau sekadar
pesawat dari lipatan kertas, nama Habibie menjadi lekat, semua pesawat hasil
buatan kami itu adalah pesawat Habibie.
Habibie adalah energi untuk terus sekolah, mengenyam
pendidikan hingga tingkat tertinggi. Belajarlah
yang rajin, agar kamu seperti Habibie! Adalah pesan yang berulang-ulang
disampaikan para orang tua di pulau kami, untuk memotivasi anaknya.
Habibie adalah imajinasi ideal anak-anak di pulau kami,
meski mereka tak pernah melihat gambar atau mendengar kata atau nasihat Habibie
secara langsung. Habibie bukan sekadar sosok yang dibayangkan bisa membuat
pesawat terbang, tetapi jauh dari itu, Habibie membentuk imajinasi kami tentang Habibie sebagai
sosok yang rajin belajar dan sekolah hingga ke Jerman, orang baik dan tidak
nakal.
Kini, sosok yang dikagumi anak-anak pulau itu telah
berpulang. Bagi kami, di tahun 1980-1990-an yang masih duduk di bangku sekolah
dasar, Habibie adalah semangat dan cita-cita. Meski kondisi pendidikan di pulau
kami, tak memungkinkan kami untuk sejalan dengan cita-cita yang kami patrikan
dalam sanubari, kamu ukir di bangku-bangku sekolah atau di dinding-dinding
kelas, tetapi paling tidak karena Habibie-lah kami memiliki semangat untuk
terus belajar dan sekolah, karena Habibie-lah kami memiliki mimpi dan cita-cita
besar.
Menjadi Habibie tak melulu menjadi ahli pesawat
terbang, melainkan juga menjadi pribadi yang tekun untuk terus belajar dan
memiliki cita-cita. Bagi orang tua kami, Habibie adalah keteladanan, bakti
luhur anak terhadap orang tuanya, seorang yang alim yang tak pernah melanggar
ajaran agamanya.
Habibie juga adalah simbol cinta dan kesetiaan.
0 Comments: