Hantu Rumah Kertas
Sunday, October 20, 2019
Add Comment
Sekitar Jam 10 pagi (Sabtu,
19/10/2018), Mas Dharma Setyawan, seorang dosen dan pekerja sosial, sosok yang
menginisiasi wisata warga Dam Raman dan Pasar Yosomulyo Pelangi menghubungi
saya untuk membedah buku Rumah Kertas karya
Carlos Maria Domingues pada Sabtu malam, lepas Isya’ di Pojok Buku Payungi, yang
ia sebut sebagai Payungi University.
Bedah buku, adalah program baru dari ‘komunitas’ Payungi dan akan menjadi
agenda rutin dalam rangka merealisasikan desain pembelajaran Payungi
University, dan kebetulan Rumah Kertas adalah
buku ketiga yang dibahas setelah sebelumnya mereka membincang Ecofeminisme dan buku Geraakan Sabuk Hijau.
Saya sebenarnya lebih senang
menyebut kehadiran saya, -yang diminta sebagai pembedah buku Rumah Kertas- sebagai fasilator diskusi
tentang buku, dan secara kebetulan yang menjadi referensi utama atau bahan
diskusinya adalah Rumah Kertas.
Rumah Kertas memang
menjadi salah satu bacaan pavorit dan rujukan saya, terutama soal cara pandang
dalam membaca dan memperlakukan buku. Rumah
Kertas adalah salah satu buku yang berbahaya, dan andai sisa rezim Orde
Baru yang ‘doyan’ merazia buku itu tahu, pastilah buku ini menjadi salah satu
buku yang ada dalam daftar ‘buku berbahaya’ dan wajib dirazia.
Buku itu berbahaya! Paling tidak
itulah yang saya tangkap dari narasi Rumah
Kertas, terutama di halaman-halaman awal. Bluma harus meninggal tertabrak
mobil di tikungan jalan, karena sedang asyik menyusuri baris-baris Poem karya Emily Dickinson.
Menurut Carlos Maria Domingues,
buku mengubah takdir banyak orang. Membaca petualangan Sandokon dalam Bajak Laut dari Malaysia mendorong orang
menjadi profesor sastra di universitas-universitas terpencil, Shiddartha membuat puluhan ribu anak
muda menggandrungi kebatinan, Ernest Hemingway si peraih ragam penghargaan,
mulai dari Hadiah Pulitzer tahun 1953 hingga Hadiah Nobel Sastra tahun 1954
yang terkenal lewat salah satu karyanya The
Old Man and the Sea itu, telah mendorong orang untuk terus optimis dan
kuat.
Lepas dari cerita itu, di negeri
ini, tentu kita tak akan pernah lupa, bagaimana rezim Orde Baru sangat
ketakutan dengan buku. Bahkan, hingga kini secara genetik dari sisa-sisa rezim
itu, masih terus menggalakkan razia buku.
Buku itu berbahaya. Buku merasuki
dan mendiami setiap kepala, mengubah cara pandang, memprovokasi orang untuk
melawan.
Membaca buku, bisa membuat orang
terpingkal-pingkal, mengerutkan dahi, hingga berurai air mata kesedihan. Maka,
tak berlebihan jika ada yang menyebut bahwa buku menjadi pintu utama bangunan
peradaban pengetahuan.
Buku Rumah Kertas ini berkisah tentang sebuah petualangan yang dimulai
dari paket berisi buku tua The Shadow
Line karya Joseph Conrad, ditujukan untuk Bluma Lennon, seorang dosen nyentrik nan sensual, dan telah mangkat duluan sebelum menerima
paket itu, sehingga mendorong tokoh ‘Aku’ bermaksud untuk mengembalikan buku
tersebut, lebih tepatnya penasaran menelusuri dan mengetahui siapa pengirim
buku tersebut untuk menyingkap tabir rahasia Bluma yang pernah berbagi ranjang
dengannya.
Pencarian ‘Aku’ ke tempat-tempat
konferensi yang biasa didatangi Bluma, menakdirkannya bertemu dengan Agustin
Delgado, seorang bibliofil yang memiliki koleksi lebih 18 ribu judul buku,
sosok yang bukan hanya membeli buku dan membacanya, tetapi juga menyimpannya di
dalam rak-rak lemari yang terbuat dari bahan pilihan antiserangga. Memberikan
catatan-catatan atas buku yang dibacanya di kertas terpisah (lain), agar buku
tersebut tetap rapi dan bersih, memiliki waktu membaca paling sedikit 4 jam
sehari.
Pertemuan ‘Aku’ dengan Delgado,
menjadi petunjuk bertemu si pengirim paket, Carlos Brauer, seorang biobliofil
istimewa yang aneh. Meski sama-sama penyuka buku, seperti Delgado, Carlos yang
memiliki koleksi lebih dari 20 ribu judul buku, nyaris tak menyisakan ruang di
rumahnya untuk tidak terisi buku, bahkan ia merelakan tempat tidurnya dipenuhi
dengan buku-buku, hingga menyentuh plafon. Dan, Carlos rela mengungsi untuk
tidur menyempil, tatkala terjaga ia membaca buku sepanjang siang dan malam.
Bertolakbelakang dengan Delgado,
Carlos Brauer selalu mencoret-coret halaman buku yang dibacanya. Ketika Delgadp
memperingatinya agar tak merusak edisi-edisi berharga itu dengan coretan, dan
menyebutnya tak peka, maka ia akan menyebut balik Delgado sebagai sok suci.
Menurutnya, bahwa dengan menulis marjin-marjinnya dan menggarisbawahi
kata-kata, kerapkali dengan warna berbeda-beda yang mengandung sandi tertentu,
ia bisa lebih menangkap maknanya.
“Aku senggamai tiap-tiap buku,
dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme.” Ujar Carlos. (hal. 32)
Agustin Delgado dan Carlos Brauer,
adalah dua wakil yang bisa menjadi rujukan para penyuka buka. Delgado yang
merawat dan memosisikan buku sebagai harta berharga, merawatnya dan
menempatkannya secara istimewa dan hati-hati, serta Brauer yang memosisikan
buku miliknya sebagai ‘kekasih’ yang harus dijamah, dan wajib ada ‘bekas’
sebagai tanda bahwa ia memang telah ‘orgasme’ membaca buku tersebut.
Membaca buku ini, paling tidak
kita akan mengenali di bagian mana posisi kita sebagai penyuka buku, di antara bibliofil-bibliofil
yang dibagi oleh Carlos Maria Domingues pada dua golongan. Pertama, kolektor. Bibliofil yang bertekad mengumpulkan buku edisi
langka, artikel, majalah atau buku-buku bertanda tangan penulisnya, sekalipun
mereka tak pernah membukanya selain untuk melihat halaman-halamannya (daftar
isi). Kedua, para kutu buku. Pelahap bacaan yang rakus, seperti
Brauer, yang sepanjang umurnya membangun koleksi perpustakaan yang penting.
Pecinta buku tulen, yang sanggup mengeluarkan uang yang tak sedikit, untuk buku
yang akan menyita waktu mereka berjam-jam (hal. 17), atau justeru kita akhirnya
menarik kesimpulan tidak sedikitpun kriteria itu yang kita penuhi.
Di akhir catatan saya tentang buku ini, sebagai penutup saya ingin
menyampaikan bahwa membaca buku sesungguhnya tidaklah semata menelusuri aksara,
melepas dahaga, melainkan juga menemukan kekuatan untuk ‘menjadi’, dan untuk
itu pilihan bacaan akan sangat menentukan keinginan kita untuk mendapatkan dan
menjadi ‘apa’. Jika pemerintah takut dengan buku-buku yang ditulis Wiji Tukul,
Pram, Tan Malaka, Aidit, maka semestinya mereka akan lebih takut kepada yang
membacanya, karena pembaca yang baik, tentu telah mewujud tak sekadar ‘hantu
kertas’.
Rahmatul
Ummah (Penyuka Buku, Warga Yosomulyo)
Catatan: Buku ini sebenarnya sudah pernah saya resensi di blog ini dua tahun yang lalu dengan judul Petualangan Bertemu Orang-Orang Gila Buku.
0 Response to "Hantu Rumah Kertas"
Post a Comment