Dalam kehidupan sehari-hari,
barangkali kita sering menemukan hal-hal yang tampak seolah-olah bertentangan,
tetapi sebenarnya tidak bertentangan atau sebaliknya, terlihat seolah-olah
tidak bertentangan, tetapi sebenarnya bertentangan. Semisal, beberapa orang
yang menganjurkan kebebasan, tetapi ia sangat menginginkan orang lain mengikuti
pendapatnya, hatta terkadang
kebenaran dan kebajikan di matanya terlihat tunggal, yaitu kebenaran dan
kebajikan miliknya sendiri.
Suatu malam, seorang teman
bertandang, sebut saja Aji (bukan nama sebenarnya). Aji mengeluhkan tentang
sikap seseorang, yang menginginkan Aji seperti dirinya atau minimal seideal apa
yang dipikirkannya. “Mestinya, sebagai orang terdidik, ia tidak perlu
mendiktekan soal kebaikan. Seolah-olah yang baik itu, adalah apa yang ia
kerjakan dan pikirkan saja,” keluh Aji.
Aku mendiamkan Aji, memberi
kesempatan ia untuk menuntaskan ceritanya. Aku menangkap, orang yang
diceritakan Aji pastilah menginginkan kebaikan-kebaikan untuk Aji, --mungkin
jika pun harus disebut keliru-- ia hanya keliru tatkala kecewa berlebihan,
saat Aji menolak kerja-kerja kebaikan yang dianjurkan, terlebih ia menegaskan
kekecewaan itu pada sikap tak simpati pada pilihan kerja kebaikan ‘lain’ yang
Aji pilih. Begitulah paradoks-paradoks seringkali mewajahkan diri sebagai
kebajikan, tetapi ia menjadi tak bijak.
Namun, bukan berarti sikap Aji tak memiliki paradoks, perhatikanlah kata ‘mestinya’. Ada keinginan besar
dari Aji, menginginkan orang yang dimaksud dalam ceritanya tersebut, seperti
apa yang ia pikirkan juga.
Di lain kisah, seorang teman
berkeluh soal teman (atau sebut saja kekasihnya), ia mengeluhkan tentang
kekasihnya yang tak pernah bisa mengerti kehidupannya. “Aku sudah berusaha
semaksimal mungkin untuk mengerti, tetapi dia tak pernah mengerti!” tegasnya.
Keluhan seperti ini, bisa jadi juga sangat akrab di pendengaran Anda. Ini
adalah pengakuan paling jujur tentang kegagalan, memahami (mengerti). Bagaimana
mungkin, ada orang yang di satu sisi mengaku memahami orang lain, sebagai ‘tokoh’
yang tidak bisa mengerti, tetapi di sisi lain ia menuntut untuk dimengerti.
Kebenaran dan kebajikan itu
memiliki banyak jalan, jangan sampai ada orang lain yang memilih untuk berbeda
jalan, kemudian kita cap sebagai orang yang salah jalan atau sesat, bukan orang
baik. Menjadi penganjur liberalisasi, tetapi tak sengaja bertindak sebagai
pemaksa, bertutur seakan-akan seorang demokrat, tetapi seringkali menjadi
totalitarian dan otoriter. Bukan tontonan baru, orang atau kelompok yang
menokohkan diri sebagai sosok penganut kemajemukan (pluralitas), tetapi ia
menunjukkan aksi akrobatik, dengan tidak menerima perbedaan.
Di titik inilah kita penting
memiliki akal untuk berpikir. Berpikir adalah jalan untuk menimbang dan
memutus, sehingga kita bisa menghukumi diri sendiri, menilai premis-premis yang
seringkali disusun secara egois dan menguntungkan diri sendiri.
Paradoks sejatinya hanyalah satu
kondisi atau situasi yang muncul dari sejumlah premis, sebuah kesimpulan
(asumsi) yang kebenarannya ‘diakui’ tetapi pernyataan tersebut saling bertolakbelakang
atau mengandung kontradiksi.
Contoh:
Jika Anda kembali ke masa lalu,
dan membunuh kakek Anda, apa yang akan terjadi? Kakek Anda akan mati, tetapi
Anda tidak akan pernah ada!
Tuhan itu Mahakuasa. Kuasakah
Tuhan menciptakan batu yang sangat besar besar sekali sampai-sampai Tuhan
sendiri tak kuasa mengangkatnya? Tentu saja Tuhan kuasa menciptakan batu yang
sangat besar, tetapi (tidak mungkin) Tuhan tak kuasa mengangkat batu itu.
Paradoks-paradoks seperti itu
sebenarnya bukanlah hal baru, bahkan sudah di kenal sejak lama dalam mitologi
Yunani. Beberapa paradoks yang populer misalnya, Ship of Theseus (paradoks tentang identitas dan materi), Omnipotence (paradoks mahakuasa), Monty Hall (paradoks yang melibatkan
probabilitas), paradoks Achiles dan kura-kura, paradoks anak panah, Grandfather (paradoks kakek), Epimenides (paradoks tukang bohong), Kidnapper paradoks, paradoks tukang
cukur, Unexpected Hanging, dan
beberapa paradoks lainnya.
Beberapa paradoks tersebut hingga
kini masih sangat sering kita temui dalam pergaulan sehari-hari, beberapa orang
menolak kebenaran dan kebaikan dengan dalih kebenaran dan kebaikan, dan tanpa
sadar penolakannya itu justeru meruntuhkan argumentasi kebaikan dan kebenaran
yang ia dalihkan. Seperti pernyataan, “tidak ada kebenaran mutlak!” seringkali
dijadikan dasar untuk menisbikan pendapat orang lain, padahal pernyataan tersebut
secara otomotis menisbikan ‘dirinya sendiri’.
Ala kulli hal, tak perlu kagetan jika menemukan manusia-manusia paradoks, di satu
sisi mengesankan diri sangat humanis, manis dan romantis tetapi di sisi lainnya
ia karib dengan kebiasan-kebiasan dehuman,
sadis dan egois.
Rahmatul Ummah (Warga Yosomulyo)
0 Comments: