Tulisan ini, akan menjadi tulisan
bersambung. Merespon visi, misi dan program para kandidat wali kota yang akan
bertarung pada pemilihan kepala daerah langsung (Pilkadal) Kota Metro tahun
2020 nanti.
***
Beberapa waktu lalu saya diundang
menghadiri diskusi tentang kota, temanya keren “Membangun Metro Menjadi City Hub”. Tentu, sebagai orang yang sering
gelisah –gelisah itu mewakili kata peduli dan reseh (campur resah)—melihat
pembangunan kota, mendorong saya cukup memiliki alasan untuk hadir.
Membincang kota menjadi cara berekspresi paling menggairahkan. Meski akhirnya, beberapa kali harus menelan ludah
kekecewaan, karena ternyata yang dibincangkan jauh dari ekspektasi. Ideologi
pembangunanisme ala pembangunan di era Orde Baru, yang berfokus pada
pembangunan fisik dan telah banyak dikritik itu, tetap menjadi pilihan utama. Pembangunan
infrastruktur seperti terminal, jalan lingkar (ring road) yang menghubungkan Kota Metro dengan bandara, dan
daerah-daerah sekitarnya, diimajinasikan akan meningkatkan pendapatan asli
daerah dan kesejahteraan warga.
Dari enam program yang disingkat menjadi 6 M itu, ada dua fokus yang dibicarakan dalam diskusi malam itu, yakni Metro City Hub dan Metro Healtcare City. Metro City Hub sebagaimana
tema undangan, adalah gagasan salah seorang bakal calon wali kota untuk menjadikan Kota Metro sebagai pusat, sehingga menurutnya perlu (wajib) membangun infrastruktur berupa jalan lingkar,
angkutan umum (bus dan angkot), dan terminal sebagai fasilitas yang akan mendukung interkoneksi antar daerah. Strategi yang disampaikan dengan penuh semangat dan rasionaliasi bahwa Kota Metro dikelilingi, Bandarjaya, Gunung Sugih Sukadana, Pesawaran bandara, dan jalan tol, diyakini mampu mengundang ‘orang
luar’ datang ke Kota Metro.
Begitupun saat membincang program Metro Healthcare City, indikatornya adalah banyaknya pasien luar daerah (Sumbagsel) yang datang ke Kota Metro dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan prima, tetapi sama sekali tidak menyentuh pembicaraan persoalan prioritas layanan kesehatan untuk warga yang tinggal di Kota Metro, misalnya, mengantisipasi polusi lingkungan dengan memprioritaskan penanganan dan pengelolaan limbah dari rumah sakit yang telah merusak air, tanah dan udara kota, menurunkan angka jumlah orang sakit, angka kematian ibu dan anak, alih-alih menggagas biaya berobat murah untuk rakyat miskin kota.
Begitupun saat membincang program Metro Healthcare City, indikatornya adalah banyaknya pasien luar daerah (Sumbagsel) yang datang ke Kota Metro dengan cara meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan prima, tetapi sama sekali tidak menyentuh pembicaraan persoalan prioritas layanan kesehatan untuk warga yang tinggal di Kota Metro, misalnya, mengantisipasi polusi lingkungan dengan memprioritaskan penanganan dan pengelolaan limbah dari rumah sakit yang telah merusak air, tanah dan udara kota, menurunkan angka jumlah orang sakit, angka kematian ibu dan anak, alih-alih menggagas biaya berobat murah untuk rakyat miskin kota.
Sialnya, selain magel, karena gairah untuk membincang pembangunan
kota yang humanis dan berpihak kepada rakyat kecil tak tuntas, ternyata diskusi
tersebut, ‘kemasan’ yang sengaja dijual oleh salah satu politisi yang berniat
maju menjadi bakal calon wali kota, branding-nya
adalah “Membangun Metro Baru”.
Begitulah...
Di banyak tempat, kota memang
seringkali digagas dan dirumuskan menjadi ‘kota baru’ yang memiliki ruang-ruang
publik alternatif sebagai ruang publik baru untuk memenuhi eskapisme dan hasrat
masyarakat konsumtif akan gaya hidup dan kesenangan yang tak pernah tandas.
Kota tak hanya tumbuh dari semburan syahwat orgasme pemilik modal, tetapi juga
menjadi ruang citra para elit politik.
Hasrat tersebut, sering kali
membuat kota tumbuh dan berkembang secara paradoks, mewajahkan diri secara
ambigu. Di satu sisi, menjadi ruang estetik yang menawarkan mimpi dan
kesenangan, memuaskan hasrat banyak orang untuk mendiaminya, tetapi, di sisi
lain kota bisa menjadi mesin penggerus segala imajinasi tentang kesenangan,
kesejahteraan dan kemerdekaan warganya. Bahkan. Menurut John Fiske (1995: 36)
dalam bukunya Memahami Budaya Populer, kota
siap mencampakkan setiap orang yang tidak sanggup bersaing berebut ruang. Ruang
dikuasai dan ditata oleh pemilik otoritas.
Kapitalisasi dan komodifikasi
ruang perkotaan selain menawarkan nilai-nilai hedonisme juga meneguhkan
disparitas kelas dan mengokupasi ruang publik. Akibatnya, publik kota harus
kehilangan ruang aktualisasi kepublikan dan peran kewargaannya, direduksi
menjadi sekadar konsumen. Pola pengembangan ruang kota seperti ini, berusaha
mendisiplinkan pola relasi warga dalam logika transaksional. Ruang publik yang
ada berisi kesenangan dan berisiko menyingkirkan kelompok masyarakat tertentu, terutama
kelas menengah bawah (lower middle class)
dan kalangan miskin kota (lower
class/urban poor).
Hal itulah, mengapa penting untuk
membincangkan kembali konsep kota kreatif yang dirujuk kepada gagasan Richard
Florida dalam buku The Rise of Creative Class (2002), Cities and the Creative Class (2004), dan The Flight of the Creative Class (2006). Apakah konsep kota kreatif dapat diterapkan begitu saja di
semua tempat?
Kota kreatif dalam gagasan
Florida tersebut menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan inovasi kota sengat
bergantung pada dua komponen utama. Pertama,
komponen inti super-kreatif, yang dikategorikan meliputi profesi yang
berfungsi menciptakan gagasan baru, teknologi baru dan konten kreatif. Seperti,
pekerja di bidang seni, media, hiburan (sutradara film dan penulis), dan di
bidang pemrograman komputer, sains, pendidikan, penelitian.
Kedua, komponen
masyarakat yang bekerja pada tempat bisnis yang berbasis pengetahuan. Seperti,
bisnis keuangan, hukum, dan perawatan kesehatan.
Gagasan tentang kota kreatif ini
kemudian direspon di berbagai negara. UNESCO sebagai badan PBB yang mengurusi
persoalan pendidikan, keilmuan dan kebudayaan, juga terlibat dalam menetapkan
daftar-daftar kota kreatif dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Tahun 2011, di era SBY,
pemerintah secara serius membentuk Kementerian Ekonomi Kreatif, yag
ditindaklanjuti oleh Jokowi pada tahun 2014, dengan kembali melahirkan lembaga
non kementerian bernama Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Berikutnya, Bekraf
merilis daftar-daftar kota kreatif, sebagai bagian dari pekerjaan mengurusi
ekonomi kreatif.
Ironis, kota-kota yang dirujuk
sebagai kota-kota terkeren berlabel kota kreatif seperti Seattle di Amerika
Serikat dan Berlin di Jerman, menuai kritik keras para ilmuwan. Salah satu yang
melontarkan kritik tersebut adalah Enrico Moretti melalui tulisannya The New Geography of Jobs pada tahun
2012.
Moretti menuding gagasan utama
Florida tentang kota kreatif sebagai tempat tinggal yang menarik dan dapat
menjadi motor perkembangan ekonomi tidaklah valid. Ia menyebut Seattle
sebelumnya adalah kota yang buruk perekonomiannya, dan berubah menjadi pusat
perangkat lunak ketika Microsoft pindah dari New Mexico pada tahun 1980-an, dan
menjadi penarik pekerja kreatif bidang pemrograman komputer dan bidang
teknologi untuk tinggal di Seattle.
Moretti juga mencontohkan Berlin
di Jerman yang disebut-sebut sebagai kota yang memiliki daya magnet para
pekerja kreatif, sesungguhnya adalah kota yang mendapat manfaat dari masa
lalunya sebagai kota yang terbelah, dan mewariskan dua kebun binatang, tiga
rumah opera besar, tujuh orkestra simfoni, dan beberapa museum dari kompetisi
Perang Dingin selama empat puluh tahun. Jadi, Berlin bukan bim salabim - abracadabra menjelma menjadi kota kreatif yang
tiba-tiba menyedot pekerja kreatif. Bahkan, Moretti menyebut ironi lain, dengan
menghidangkan fakta bahwa Berlin menjadi kota terendah kedua di Jerman dalam
pertumbuhan pendapatan per kapita, dan memiliki jumlah besar pekerja kreatif yang
menganggur, 40% seniman dan 30% ilmuwan sosial. (Lihat tirto.id, ‘Mempersolkan Kota Kreatif ala Richard Florida’).
Kritik Moretti ini menunjukkan
bahwa sesungguhnya kota kreatif tidak melulu soal pelabelan nama keren,
kota-kota yang dilabelkan sebagai kota kreatif pada dasarnya adalah kota yang
telah ‘jadi’, sebutlah misalnya Bandung yang diakui oleh UNESCO sebagai City of Design dan
Pekalongan sebagai City of Crafts & Folk Art, kedua kota ini memang
telah lama –jauh sebelum label itu dilekatkan—menjadi kota yang dihuni para
pekerja kreatif. (Rahmatul Ummah, Warga
Yosomulyo).
Apakah City Creative Hub dan City Hub atau istilah lain tetap menjadi dagangan yang layak dan memang penting untuk menjadi branding kota. Saya akan coba tulis dalam artikel selanjutnya.
Apakah City Creative Hub dan City Hub atau istilah lain tetap menjadi dagangan yang layak dan memang penting untuk menjadi branding kota. Saya akan coba tulis dalam artikel selanjutnya.
Bersambung ...
0 Comments: