Pada tulisan Kota Kreatif, Creative Hub dan City Hub sedikitnya saya telah menyinggung soal
kritik terhadap kota kreatif. Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan tersebut, sebagai respon terhadap visi, misi dan program para
bakal calon wali kota yang berniat maju dalam Pilkadal 2020 nanti.
Sebagai warga kota, yang telah puluhan tahun mendiami kota
ini, menurut saya penting untuk memberikan catatan, meski barangkali sulit
untuk didengar, di tengah kegaduhan kontes pembangunan dan pertunjukan atraksi
politik. Terlebih ketika mindset pembangunan
diimajinasikan sebagai membangun tembok dan gedung-gedung mewah di sepanjang
jalan utama.
Sekadar memutar ulang ingatan kita, tiga tahun terakhir di
sepanjag Jl. Jendral Sudirman, sedikitnya telah berdiri dua toko modern,
puluhan ruko, dan beberapa bangunan yang dialihfugsikan menjadi hotel, proses
perizinannya pun tergolong cepat, seolah tanpa kendala untuk memenuhi syarat
analisis mengenai dampak lingkungan, analisis dampak lalu lintas, termasuk soal
restu warga sekitar. Dan, setiap pembangunan itu, selalu meminta tumbal
pohon-pohon besar yang semestinya masuk kategori ‘pohon yang dilarang’ untuk
ditebang.
Bukan hanya di Jl. Jendral Sudirman, sebelumnya di sepanjang
Jl. Hasanuddin dan jalan di Karangrejo juga mengalami nasib yang sama, menjadi
tumbal pembangunan. Terakhir adalah jalan ke arah Bumi Perkemahan Sumbersari, pohon-pohon
rindang di tempat berteduh para petani dan para pengguna jalan ditebang.
Konon Bumi Perkemahan tersebut, akan dibangun destinasi
wisata keren dengan ragam fasilitas,
seperti flying fox. Sayang, aroma tak
sedap, penyimpangan dana milyaran, tercium lebih menyengat daripada harum kota wisata.
Pembangunannya mandek, kalah cepat dengan Garden
Sakura, milik pengusaha yang dibangun persis di sebelah Bumi Perkemahan,
sehingga terkesan pelebaran jalan yang menumbalkan banyak pohon itu, memang sengaja diperbaiki untuk memfasilitasi tempat wisata milik
pengusaha tersebut.
Tak ada yang keliru, ketika kota ditata dan dikembangkan
menjadi destinasi wisata, menjadi ruang bersenang-senang yang dalam istilah
Slavoj Zizek jouissance atau enjoyment, menjadi spirit dan dan
orientasi yang menggerakkan rutinitas warga kota. Namun, Zizek juga
mengingatkan bahwa jouissance (kesenangan)
dalam kadar tertentu (beyond the limit)
bisa menghadirkan rasa sakit (pleasure in
pain), menenggalamkan subyek infernal
circuit of demand, kesenangan yang datang setelah kehilangan, sebuah
persimpangan super-ego yang selalu tunduk di bawah kekuasaan ‘Sang Lain Besar’ (the Big Other), sosok
yang terus mengawasi, menertibkan, dan memberi keputusan apakah subjek bisa
menjadi subjek ideal (real subject).
***
![]() |
Bandung Creative Hub |
Bagi sebagian warga kota, memiliki kota dengan tata ruang
yang rapi dan indah, tentu sangat menyenangkan, usaha-usaha ritel berjajar dengan ruko-ruko, hotel yang
menghadirkan layanan bar dan karaoke, mal dan cafe tempat hangout dan
nongkrong, tanpa harus ribet berpikir
soal kemacetan, ancaman banjir dan polusi, lebih-lebih bersusah diri memikirkan
nasib pedagang klontong yang hanya mengandalkan gerobak, beradu nasib untuk
bertahan hidup di tengah kepungan toko-toko ritel tersebut.
Bagi sebagian kelompok lain, terutama kelompok menengah bawah (lower midle class), maraknya pembangunan ruko dan usaha ritel,
termasuk ikhtiar mengembangkan kota menjadi kota kreatif, berpotensi menyingkirkan dan meminggirkan
mereka. Di sisi inilah kota menjelma menjadi mesin penggerus yang jahat,
merampas dan merampok kesenangan dan kesejahteraan kaum miskin kota. Terlebih,
tatkala ruang publik yang semestinya menjadi ruang layak bagi khalayak,
direduksi menjadi ruang publik yang indah tetapi berbayar.
Pada tahun 2017, Richard Florida menerbitkan buku berjudul The New Urban Crisis, (lihat tirto.id,
‘Mempersolkan Kota Kreatif ala Richard Florida’). Dalam buku tersebut Florida memberi pengakuan bahwa pekerja
kreatif memang telah menguasai banyak kota-kota besar di dunia, namun mereka
juga mencekiknya hingga mati. Hasilnya, 50 area metropolitan terbesar di dunia
hanya mencakup 7 persen seluruh populasi dunia, namun menghasilkan 40 persen
pertumbuhannya. Fenomena tersebut disebutnya sebagai new urban crisis, sebuah krisis urbanisasi dan sebuah krisis
kapitalisme kontemporer.
Pengakuan Florida tersebut, disebut oleh Sam Wetherell,
sejarawan kawasan perkotaan dari York University sebagai permintaan maaf Florida
atas gagasannya tentang kota kreatif dalam The Rise of Creative Class.
Di Indonesia kota kreatif dimaknai oleh Bekraf sebagai
gagasan untuk membangun kota yang berbasis pada industri kreatif, yang kemudian
direspon oleh beberapa daerah dengan membangun creative hub, sebagaimana kita lihat di beberapa kota telah berdiri
seperti Jakarta Creative Hub dan Bandung Creative Hub, Garut Creative Hub,
Sukabumi Cretive Hub. Jawa Barat bahkan menargetkan membangun paling
sedikit 13 kota yang memiliki gedung creative
hub.
Creative hub ini
difokuskan pada penyediaan ruang bagi pekerja kreatif untuk berkarya dan
berkegiatan, creative hub adalah
tempat belajar, penelitian dan pengembangan, dan membuat prototipe produk,
ruang fisik maupun virtual yang menghubungkan dan menggabungkan orang-orang
dengan kewirausahaan di bidang industri kreatif, seni dan budaya. Mereka bisa
saja terdiri dari para seniman, budayawan, jurnalis, arsitek, desainer, dokter,
dosen, sineas, pekerja kuliner atau ragam profesi lainnya.
Creative hub sebenarnya
tidak berfokus pada tempat, meski di Indonesia masih disibukkan dengan
pengembangan infrastruktur fisik yang akhirnya sering terjebak pada model coffee shop yang di-upgrade menjadi tempat kongkow
para pekerja kreatif berkumpul dan bekerja. Creative hub sangat bergantung pada kolaborasi, sebagai kata
kuncinya. Mengelola kolaborasi menjadi bagian penting dan utama, tempat menjadi
fungsional jejaring dihubungkan dan digabungkan.
Jika dihubungkan dengan teori Florida, creative hub akan menjadi interkoneksi talenta, teknologi dan toleransi.
Talenta berhubungan dengan kualitas sumber daya manusia, teknologi terkait
dengan titik tekan pemanfaatan teknologi untuk mendukung kreativitas dan
komunikasi, dan toleransi menjadi sikap keterbukaan masyarakat akan hal baru
dan berbeda, yang akan menjadi pendukung inovasi.
Bandung Creative Hub misalnya,
direkayasa menjadi tempat unik dan nyentrik, terdapat ruang-ruang kelas untuk
belajar (ruang untuk berbagi pengetahuan), ada perpustakaan, cafe, toko desain,
galeri, ruang sinema, co-working space, ruang
studio dan workshop, yang dilengkapi
dengan berbagai peralatan dan sejumlah fasilitas tersebut gratis untuk
digunakan dengan syarat mengajukan permohonan terlebih dahulu, agar lebih
tertib dan terjadwal.
Berbeda dengan konsep creative hub, yang berorientasi menghubungkan ragam talenta, city hub memproyeksikan kota sebagai pusat keramaian, yang mewajibkan adanya hotel, pusat usaha, terminal terpadu atau bangunan-bangunan lain sebagai fasilitas yang dibutuhkan ‘turis’. Meski memiliki kesamaan, membangun infrastruktur, city hub lebih berfokus memuaskan ‘pendatang’, mengundang mereka untuk datang dan menghabiskan uangnya, dalihnya perekonomian kota bergerak dan warga kota menjadi terdampak, menjadi sejahtera.
Berbeda dengan konsep creative hub, yang berorientasi menghubungkan ragam talenta, city hub memproyeksikan kota sebagai pusat keramaian, yang mewajibkan adanya hotel, pusat usaha, terminal terpadu atau bangunan-bangunan lain sebagai fasilitas yang dibutuhkan ‘turis’. Meski memiliki kesamaan, membangun infrastruktur, city hub lebih berfokus memuaskan ‘pendatang’, mengundang mereka untuk datang dan menghabiskan uangnya, dalihnya perekonomian kota bergerak dan warga kota menjadi terdampak, menjadi sejahtera.
Pengakuan Florida seharusnya menjadi alarm bagi pemilik
otoritas untuk tidak seenaknya mereduksi ruang kota, hanya karena keinginan
menyenangkan sebagian kelompok atau menandaskan hasrat sendiri. Kota dan ruang
kota, harus terus dimaknai sebagai milik bersama, dibangun bersama,
diorientasikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, sebagaimana yang
diteriakkan Henry Lefebvre (1996) setiap orang memiliki hak yang sama atas kota
sebagai social centrality.*)
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: