Mengapa kita membenci? Jika kita
sederhanakan alasannya hanya satu, karena berbeda. Orang atau kelompok yang
kita benci, memiliki gaya atau cara berpikir berbeda, cara bertindak berbeda,
kemauan berbeda, dan ragam perbedaan lainnya. Dari perbedaan itulah, kemudian
lahir sebutan-sebutan, pengkhianat, munafik, pecundang, pelacur, monyet, anjing
atau segala jenis nama binatang lainnya, sebutan-sebutan yang merujuk pada
level kebencian kita.
Kita (mungkin) tidak akan pernah
membenci orang atau sesuatu yang sejalan, sekehendak dengan kita, kecuali
sesuatu atau orang itu telah menyelisihi jalan atau kehendak kita. Membenci
mantan, misalnya.
Kita mustahil membenci apa yang
kita suka, kecuali kita telah berhenti menyukainya. Berbeda dengan cinta yang
sangat menyukai perbedaan. Cinta tak memiliki alasan untuk membenci perbedaan,
bahkan cinta selalu memiliki alasan dan cara berdamai atas perbedaan yang
menyerang sekali pun.
Sebutlah minyak dan air yang sering
dituduh musykil bersatu, tetapi mereka selalu punya cara untuk melebur, meski
harus sama-sama menanggalkan identitasnya, menjadi kuah pindang, kue legit atau nama-nama lain. Bahkan, siang dan malam, diam-diam bertemu di
tepian senja, ketika para jones dan bucin sedang galau-galaunya.
Sungguh! Kita tak memiliki alasan
apa pun, untuk membenci apa pun!
Jika kita membenci teror,
perilaku radikal atau apa pun, maka sebenarnya, kita tidak membenci (langsung)
pada aksi-aksinya, melainkan tumbuh (diawali) dari pengertian-pengertian yang
sudah kita bangun sejak dalam pikiran. Sehingga, reaksi kebencian itu tak
jarang salah sasaran, kita menyebut membenci perilakunya, tetapi kita
menghabisi orangnya.
Jeanne Tsai, seorang profesor
psikologi dari Stanford University menyatakan bahwa kebencian lahir dari reaksi
emosi negatif. Orang akan lebih menyukai mereka yang mengekspresikan emosi
positif yang sama atau mirip (setidaknya tidak bertentangan) dengan budaya
mereka sendiri. Pernyataan ini menegaskan kebencian yang seringkali muncul
karena perbedaan.
Tak heran, ketika orang telah
mengidentifikasi diri atau kelompoknya ‘berbeda’ dengan yang lain (the other), bisa dipastikan orang atau
kelompok tersebut tidak akan pernah merasakan kebersamaan (together) dengan kelompok di luar yang tak memiliki tradisi dan
budaya berbeda, meski ia tahu bahwa kebersamaan itu tak selalu kesamaan.
Membubarkan pengajian, menuding
kafir, sesat, sesungguhnya lahir bukan karena kekhawatiran terancamnya
persatuan bangsa dan kesejatian agama, melainkan karena konstruksi pikiran
(pengertian-pengertian) subyektif, membenci sejak dalam pikiran dan hati,
menganggap orang lain sebagai ancaman karena kebetulan berbeda warna dan
pendapat. Mana mungkin menginginkan persatuan, dengan cara menakbirkan
perbedaan, menghendaki integrasi dengan memecah belah, mengajak toleran tetapi
mempraktikkan laku intoleran.
Kita seringkali terjebak pada
labirin subyektif, menciptakan bayang-bayang hantu dan menakuti diri sendiri.
Kebencian menggerogoti kewarasan, melahirkan kelelahan emosi, sensitif seperti
pantat bayi, dan membuat tidak tenang (insecure),
bahkan menghilangkan mood untuk
beraktivitas.
Membenci keburukan dan kejahatan
tidak sama maknanya dengan membenci manusia yang melakukan keburukan tersebut,
sehingga harus memusnahkan manusianya. Laku buruk dan jahat itu bisa ada dalam
diri sendiri, membenci keburukan dan kejahatan pada diri sendiri, jalannya
tentu tidak dengan bunuh diri, menenggak racun atau gantung diri agar keburukan
dan kejahatan itu musnah, melainkan mengubah cara pikir, ucap dan sikap.
Membangun sinergi pikir, zikir, dan amal shaleh.
Ada banyak alasan untuk saling
mencintai, sebagai sesama makhluk yang berpijak di semesta yang sama, sama-sama
manusia. Manusia sebagai individu yang terdiri ragam elemen berbeda, individu
sebagai miniatur masyarakat yang plural, beragam. Sedangkan, membenci hanya
akan melahirkan dehuman, cacat mental
dan ketidaktenangan. Membenci tidak memiliki sedikit pun alasan untuk mendiami
ruang-ruang kemanusiaan. Toh, ‘Bambang’
tidak mungkin menikahi dan bercinta dengan dirinya sendiri, ia tetap
membutuhkan ‘Kokom’, agar spesiesnya tetap bisa berlanjut. (Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo,
Kota Metro)
Comments
Post a Comment