Suatu malam, seorang
bercerita tentang ribetnya menulis! Suatu waktu ia mengikuti sebuah pelatihan,
disuguhkan teori tentang teknik menulis yang baik, mulai dari judul, lead, tubuh dan ekor tulisan. Di
kesempatan lain, di sebuah kelas menulis ia disajikan tentang kaidah, tata bahasa,
ejaan, sebagai prasyarat menulis, agar tulisannya enak dibaca.
Saya sengaja
membiarkannya bercerita hingga tuntas. Mengambil jeda untuk tidak berkomentar
apa pun tentang ceritanya.
“Menurut, Abang?”
tanyanya sesaat begitu saya tak memberikan respon.
“Maksudnya?” aku balik
bertanya.
“Bagaimana menurut,
Abang? Apakah menulis itu memang serumit itu?”
“Rumit. Ketika menulis
dibicarakan, didiskusikan dan diperdebatkan! Sama saja seperti belajar
berenang, belajar tentang cara bergerak untuk mempertahankan tubuh tetap bisa
mengapung, mengatur keseimbangan, rumit! Hampir mustahil! Namun, saat ia dilakoni,
ia bisa menyenangkan.”
“Jadi?”
“Ya, menulis saja! Dan,
ingat engkau belajar menulis, sekali lagi belajar menulis, bukan belajar langsung
mau menjadi penulis hebat, penulis juara atau penulis dengan sebutan keren
lainnya! Tak ada guru yang bisa mengajarkan orang lansung menjadi penulis hebat
tanpa mendidik orang itu terlebih dahulu menjadi bisa menulis. Penulis yang
baik, adalah penulis yang terus menulis, menulis dan membaca, berlatih setiap
saat, sempatkan diri untuk selalu punya waktu dalam sehari untuk menulis!”
“Loh, katanya tak penting menulis setiap hari, karena yang penting bukan
seberapa banyak kita menulis, melainkan sebera bermutu tulisan itu?”
“Menulis setiap hari itu
latihan, membiasakan diri dengan aktivitas menulis. Soal tulisan bermutu atau
tidak bermutu, bisa saja dihasilkan seminggu sekali, sebulan sekali atau bahkan
sebulan sekali. Ibarat bicara, anggap saja menulis harian itu seperti bicara, hanya
mengganti kebiasaan bertulis lisan itu dengan tulisan, ada waktunya menjadi
pembicara yang serius di sebuah seminar ilmiah, di atas podium, tetapi
sehari-hari toh tetap berbicara!”
Menulis
itu Rumit
Menulis menjadi rumit,
karena biasanya kita terlalu banyak dibebani dengan hal-hal yang ideal,
bayangan muluk-muluk soal tulisan yang baik, benar dan indah. Terlalu dibebani
dengan kaidah-kaidah; kebakuan bahasa, anasir tulisan yang baik, dan yang
paling parah, saat pertama kali belajar menulis, kita sudah menginginkan pujian
berlebihan terhadap tulisan kita.
Misal, ketika menulis
cerpen pertama kali sudah ingin disejajarkan dengan penulis sekelas Phutut EA,
menulis esai sudah ingin disandingkan namanya dengan Cak Nun, puisi kelas
curhat juga sudah mau disamakan dengan syair-syair WS Rendra. Akhirnya,
alih-alih berhasil menjadi penulis, menjadi gila, iya!
Sebenarnya, kerumitan-kerumitan
yang ada dalam pikiran sendiri itulah yang utama dan pertama kali harus
disingkirkan. Kita harus membayangkan dan membuat menulis itu semudah mungkin.
Tak perlu ada beban, ketakutan atau kecemasan tentang tulisan yang jelek atau
buruk. Tak perlu juga terobsesi menggunakan kata-kata yang dinilai keren,
tetapi justeru kita tidak memahaminya. Sederhana saja, yang penting menulis!
Saat belajar naik sepeda,
guru yang baik akan menyuruhmu menaiki sepeda, bukan mengajakmu berdiskusi
tentang sepeda, bagaimana mengayuh pedal dan menjaga keseimbangan. Selama
engkau paham, di mana tangan, kaki, dan pantat diletakkan, dan mengerti bahwa
kakilah yang digunakan untuk mengayuh, maka ilmu dasarnya sudah cukup untuk
praktik, belajar bersepeda.
Barangkali ada waktu
seorang guru memegang sepeda itu saat engkau mengayuh, dan melepasnya tiba-tiba,
sehingga engkau terjerembab. Maka, begitulah menulis. Engkau mengambil pena dan
kertas, dan mulai merangkai kata, atau duduk menghadap layar monitor dan
memainkan jari-jarimu di atas keyboard
laptop, menyusun huruf-huruf hingga membentuk kalimat, kadang lancar, kadang
buntu dan berhenti cukup lama. Lalu, datang guru memintamu untuk terus
melanjutkan, tidak mengajakmu diskusi kenapa berhenti, apalagi menghabiskan
waktu mendiskusikan paragraf-paragraf yang telah kamu tulis.
Menurutnya, “kamu sedang
belajar menulis, bukan belajar berdiskusi.”
Menulislah setiap hari,
sebagai latihan hingga menulis menjadi kebiasaan. Jika telah biasa, maka
mulailah memperhatikan setiap ejaan, mulai memperhatikan ide utama setiap
paragraf, mulai memperhatikan keterkaitan antar paragraf, mulai berpikir soal
menulis judul, lead, tubuh dan
paragraf penutup tulisan, termasuk mulailah berpikir tentang logika bahasa dan
logika dari setiap narasa yang kamu susun. Mulailah menulis secara serius dan
melakukan editing secara ketat.
Jadi, membiasakan diri
untuk menulis setiap hari sesungguhnya adalah melatih diri untuk mengakrabi
aksara. Jika membaca adalah menambah khazanah kata, maka menulis adalah praktik
menggunakannya. Menulis setiap hari, berbeda dengan menulis sebuah tulisan yang
matang dan berkualitas, karena barangkali untuk melahirkan tulisan berkualitas
perlu analisis, pendalaman data, basis teori atau hal-hal ruwet lainnya, yang
tak perlu terlalu‘diopeni’ dalam
menulis setiap hari. Meski, bisa saja juga tulisan yang dihasilkan dari tulisan
harian tersebut menjadi tulisan yang berkulitas, salah satu dari sekian banyak
yang telah kamu tulis sebagai latihan itu.
Jadi, jika ingin menulis,
tulis saja dulu!
0 Comments: