Esti Nur
Fathonah adalah sosok yang mudah bergaul; sederhana, supel dan tidak sombong. Dalam beberapa kesempatan, saya bertemu dan sempat berbincang dengan
beliau. Kala itu, kebetulan saya mengikuti proses seleksi yang Esti juga ikuti,
dan kebetulan dalam beberapa kali seleksi itu, saya dan Esti sama-sama tak
lolos. Baru di proses seleksi paling mutkahir Esti lolos dan ditetapkan menjadi
salah satu komisioner KPU Provinsi Lampung. Proses seleksi yang menjadi succes story sekaligus bad story bagi Esti.
Saya tak
terlalu paham proses seleksi di tahun 2019 yang diikuti oleh Esti dan
kawan-kawan, karena saya tak lagi ikut mendaftar. Namun, mengingat sulit dan
rumitnya proses seleksi sebelum-sebelumnya --yang menjadi salah satu alasan
saya untuk tidak lagi mengikuti proses seleksi tersebut-- memang membuka ruang
orang melakukan segala cara untuk bisa lolos, termasuk barangkali meminta
bantuan jin agar ingatannya tokcer
dan untuk ‘membisiki’ para ‘penentu.’
Rumit dan
sulit yang saya maksud, karena orang tak melulu bisa mengandalkan kecerdasan
otaknya, setiap peserta yang menginginkan lolos niscaya cerdas segalanya. Integritasnya
teruji, penguasaan terhadap peraturan mumpuni, narasinya logis, dan yang tak
kalah penting adalah jaringannya moncer.
Kita tak
usah berpura-pura lugu untuk menyatakan tak paham bahwa kecerdasan terakhir,
lobi dan berjejaring menjadi hal yang paling menentukan kelulusan dan lolosnya
seseorang di lembaga-lembaga publik tersebut. Teramat mudah menelusurinya, dari
pusat, provinsi hingga tingkat desa. Bahkan, untuk menjadi tenaga pendamping
desa, mereka yang tak cerdas berjejaring, maka ‘haram’ untuk bermimpi bisa
diterima, meski kualifikasi kecerdasan lainnya telah ia miliki.
Tak selalu
buruk, meski di-back up jaringan, para
pejabat yang terpilih tetap mampu bekerja profesional dan independen. Dampak
terburuknya, barangkali hanya terjadi saat seseorang yang menjalani proses itu
tak memiliki jejaring yang kuat dan solid. Ada banyak peserta yang tiba-tiba
mengaku menjadi anggota jaringan A, B dan C. Pengakuan instan yang memicu
transaksi.
Tradisi
titip menitip yang telah lama berlangsung tersebut hingga saat ini masih terus
dilestarikan, meski telah ada aturan yang melarang peserta seleksi untuk aktif
di organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan, tetapi peraturan itu terkesan
hanya siasat kamuflase, agar terlihat ‘lebih netral’. Peraturan tak penting
yang justru mencederai kebebasan berserikat dan berkumpul.
Ruang gelap
pelanggaran yang ‘menjebak’ Esti untuk melakukan transaksi dengan peserta
seleksi di tingkat kabupaten/kota, bisa jadi juga karena pintu yang mereka
ketuk salah. Mereka sama sekali tak pernah ‘serumah’ atau tidak satu jaringan
‘emosi’ dengan Esti, sehingga kemungkinan ‘sesat’ dan terjebak di ruang gelap
‘transaksional’ itu terjadi. Namun, saya cukup memahami hal itu biasa (meski
tak bisa dan tak etis) terjadi terhadap mereka yang buntu jalan atau tak
memiliki akses.
Kiwari, Esti
tersudut dan merasa didzalimi. Ia mulai menabuh gong, menakbirkan ia tak
sendiri. Mengirim isyarat bahaya kepada mereka-mereka yang dituju, nama yang
hingga kini masih disimpan rapat di ingatannya. Namun, apakah Esti benar,
memiliki bukti kuat? Mengapa nama-nama
yang disebutnya berlumuran ‘tahi’ itu tak muncul dalam pembelaannya di DKPP?
Hanya Esti dan tentu Tuhan yang tahu.
Sebelumnya,
saya tak pernah menduga Esti akan lalai menjaga amanah dari Tuhan, sebagaimana
saya juga tak pernah menduga Wahyu Setiawan yang lantang melarang eks-koruptor
menjadi calon legislatif dan ikut Pilkada akhirnya diciduk KPK, momentum yang semestinya mereka
syukuri begitu diterima menjadi komisioner, dengan menjaga integritas dan deret
panjang rekam jejaknya yang tak pernah tercoreng. Tapi, begitulah kuasa,
cobaannya tiada terkira.
Esti Nur
Fathonah (baca; cerdas), tetapi ia nir-amanah.
Sungguh disayangkan sekali... Aku tahu rumitnya proses seleksi itu...
ReplyDelete