Akhirnya --sebagai pembaca hampir semua karya Andrea Hirata--
Aku kembali menemukan alur yang
mengalir, setelah Tetralogi Laskar Pelangi: Laskar
Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah
Karpov. Cukup lama beku. Karya-karya Andrea --menurutku—sangat kaku, ribet
dan menjenuhkan, terutama ketika membaca Sirkus
Pohon. Novel Guru Aini ini kembali
ke khittahnya, mengalir, mampu
menarasikan hal-hal rumit menjadi sederhana, lucu sekaligus mengharu biru.
Diawali dengan cerita keteguhan pendirian seorang remaja putri,
Desi Istiqomah yang bercita-cita menjadi guru matematika, mengalahkan bujukan
ibunya yang lebih menginginkan Desi kuliah di fakultas kedokteran atau menjadi
insinyur, sarjana ekonomi, sarjana hukum atau sarjana apa saja, selain guru
matematika.
Ibu Desi beranggapan, menjadi guru matematika akan
mengantarkan anaknya mengabdi di pelosok dan jauh dari kesejahteraan. Andrea
secara piawai menyelipkan pesan soal kesejahteraan guru yang jarang mendapat
perhatian, terutama para honorer yang telah belasan tahun mengabdi.
Menjadi guru matematika, Desi yang peringkat satu di
sekolahnya bukan tak mempertimbangkan risikonya. “Negeri ini kekurangan guru
matematika, Bu. Terutama di kampung-kampung.” Begitu Desi bertahan dengan
pilihannya, ketika Ibu Aminah, Kepala SMA yang diminta membujuknya nenawakan
pilihan lain. Ibu Aminah meyakini kecerdasan Desi akan membuatnya bebas memilih
jurusan dan perguruan tinggi mana pun yang disukainya.
Desi kuliah program D-3, menjadi lulusan terbaik, bebas
memilih tempat mengabdi, tetapi ia lebih memilih Tanjong Hampar, daerah pelosok
yang harus ditempuh dari tempat tinggalnya selama enam hari enam malam
perjalanan, lewat darat dan laut tak jeda-jeda.
Menjadi guru SMA di Tanjong Hampar, mempertemukannya dengan Rombongan 9 beranggota Handai Tolani,
Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, Nihe, Junilah dan Dinah. Mereka adalah
para penghuni bangku deret belakang, kaum marginal pendidikan, akrab dengan
kebodohan dan ketidakpedulian (hal. 59). Cerita lengkap tentang Rombongan 9 ini, ada di novel Orang-Orang Biasa.
Namun, selain Rombongan
9 itu, tercatat pula nama Debut Awaluddin, murid yang cerdas dan berbakat.
Debut yang melunaskan nazarnya untuk berganti sepatu kala menumukan murid yang supercerdas.
Sayangnya, itu tak berlangsung lama, entah apa yang merasuki Debut, ia lebih
tertarik bergabung dengan kaum marginal, Rombongan
9, hingga ketika anggota Rombongan 9 meninggalkan sekolah satu per satu,
dan tinggal Debut sendiri, ia pun memutuskan berhenti. Guru Desi patah hati.
Berbilang puluhan tahun berikutnya, Guru Desi bertemu titisan
Dinah, Aini, lengkapnya Nuraini binti Syafrudin. Aini pindahan dari kelas Guru
Tabah, tak berbeda dengan ibunya, Aini juga bebal.
Ayahnya sakit keras dan sulit diobati. Aini tak naik kelas
karena absen selama 7 bulan untuk menjaga ayahnya, jadilah ia sendiri tinggal
di kelas 1 SMA, ketika dua anggota geng Trio
Aljabaria, Enun dan Sa’diah naik kelas. Momen yang membuat Aini berubah,
saat itu ada seorang tabib bilang bahwa penyakit ayahnya hanya bisa disembuhkan
dengan pengobatan modern, dokter. Sejak itulah Aini bercita-cita menjadi
dokter.
Masalahnya, untuk menjadi dokter tentu saja Aini harus
menaklukan matematika, mata pelajaran yang selama ini membuat perutnya
tiba-tiba mules, sakit perut. Maka tidak ada jalan lain, kecuali ia harus belajar
matematika pada guru terbaik, Guru Desi. Aini pun pindah ke kelas Guru Desi. Tak
ciut nyalinya saat ditantang bahwa itu bukan perkara mudah. Kata Guru Desi, ada tiga cara
mempersulit diri di sekolah itu: “Pertama,
masuk ke kelasku. Kedua, belajar matematika. Ketiga, belajar matematika
dariku,” (hal. 110).
Sulit? Tentu saja, karena gen
Aini memang tak karib dengan matematika. Meski begitu, ia pantang menyerah, dibelinya
buku-buku matematika, didatanginya Guru Desi di perumahan guru, belajar tak
kenal lelah, menerobos guyuran hujan, menantang terik matahari. Berlari
berkilo-kilo meter dan berenang mengikuti perintah Guru Desi, hingga akhirnya
ia berhasil duduk di bangku yang semula menjadi tempat duduk Debut Awaluddin.
Pengalaman Guru Desi mengajari Aini, tak kalah rumit. Telah
dicoba bermacam cara, diturunkan materi ajarnya hingga pelajaran kelas 3 SMP,
tak banyak mengubah kebebalan Aini. Nyaris Guru Desi berputus asa, andai Aini
tak air talang dipancung, berderai-derai air matanya tatkala didamprat Guru
Desi.
Kerja sama tak langsung antara guru cerdas dan murid yang
pantang menyerah meski bebal, menjadi risalah petunjuk bahwa selalu ada jalan
bagi mereka yang bersungguh-sungguh, selalu ada cara untuk bisa selama ada
kemauan. Bagi guru, dituntut untuk sabar, mencoba ragam metode yang tepat untuk
setiap murid yang memiliki cara menangkap materi pelajaran beragam, dan bagi murid, kemauan, kerja keras dan pantang menyerah tentu akan
membuahkan hasil yang menyenangkan.
"Guru yang baik adalah guru yang dapat memacu kecerdasan
muridnya. Guru yang lebih baik adalah guru yang dapat menemukan kecerdasan
muridnya. Guru terbaik adalah guru yang tak kenal lelah mencari cara agar
muridnya mengerti." Tulis Andrea Hirata.
Novel Guru Aini ini
ditutup dengan judul Hak Pendidikan. Aini
yang lulus SMA dengan nilai matematika sempurna, lulus pula tes masuk fakultas
kedokteran, tetapi karena tak mampu membayar biaya daftar ulang, harus merelakan
cita-citanya menjadi dokter kandas. Bagian ini seolah-olah disengaja oleh
Andrea Hirata untuk menabalkan bahwa fakultas kedokteran hanya untuk mereka,
anak-anak orang kaya.
Dalam perjalanan yang panjang menuju keikhlasan, kita akan
menemukan harapan. dalam perjalanan yang berliku-liku menuju pengorbanan, kita
akan menemukan keberanian. namun kejujuran pada diri sendiri akhirnya kita akan
pulang. “Kita harus jujur Aini, betapa pun ikhlas, harapan dan besarnya
pengorbanan serta keberanian, kita harus jujur bahwa biaya daftar ulang itu
hanya bisa ditebus oleh orang-orang kaya!”
Harapan,
memang ada yang mungkin dan ada pula yang tak mungkin. Sama seperti aku yang
harus berulang-ulang kecewa, setiap kali berharap halaman-halaman belakang novel karya Andrea Hirata tak lagi dipenuhi dengan iklan
tak penting sebanyak 30 halaman lebih, yang terpaksa juga harus kita ikut beli.
Comments
Post a Comment