Kita sedang berada di era di mana
masyarakat begitu menggemari olok-olokan, menggandrungi lontaran penuh seronok,
menyukai candaan yang mengeksplotasi fisik. Kita menjadi karib dengan kata kutu kupret, katro, kampungan, cebong dan kampret, dan dengan bangga kita menyebut diri sebagai manusia
modern.
Barangkali kecenderungan ‘manusia
modern’ tersebutlah yang mengilhami Sebastian Stein, produser film kelahiran
Jerman yang tinggal di Jepang, untuk menyutradarai film berjudul African Kung Fu Nazis, sebuah film yang
dinilai paling absurd, gila dan premis ceritanya bego.
Sebastian Stein memang membuat film
ini dalam keadaan setengah mabuk, sebagaimana pengakuannya saat diwawancarai vice.com. Mabuk dan membayangkan Afrika,
Kung Fu dan Nazi, berkumpul dalam satu cerita. Film! Sebuah ide gila untuk
mengolok-olok Hitler yang dianggapnya sebagai seorang komedian, termasuk mengolok-olok
siapa pun yang menganggap Hitler secara serius, ditudingnya sebagai memiliki
otak tak beres.
Sebastian Stein meyakini bahwa
sakralitas, segala tabu dan misteri harus diruntuhkan dengan cara
menertawakannya, absoluditasnya dirusak dengan cara menertawakan dan
menjadikannya bahan candaan. Sebuah pakem yang menabrak kebiasaan orang Jerman,
yang semasa anak-anaknya telah mendapatkan peringatan keras dari orang tua dan
guru mereka, untuk tidak menjadikan Hitler dan Nazi sebagai bahan candaan,
karena itu dianggap tabu.
Sebastian bahkan menggunakan
orang-orang Afrika, mereka belajar kungfu, mengenakan swastika dan whiteface, sebagai parodi, memaknainya
secara berlawanan, sesuatu yang ia sengaja untuk merusak dan menertawakan simbol-simbol
Nazi agar tak memiliki kekuatan.
“Ketika
masih kecil, negara selalu menunjukkan dokumenter Perang Dunia II, hampir
setiap hari, untuk mengingatkan kami betapa buruknya dosa-dosa negara kami.
Saya ingat pertama kali melihat Hitler dan berpikir, ‘Dia seorang komedian, kok bisa sih orang-orang menganggap dia serius?’
Saya selalu mengolok-olok Hitler, tapi orang-orang di sekitar saya selalu
mengingatkan saya untuk tidak melakukannya.” Tuturnya.
Cara
Sebastian Stein mengolok-olok kekuasaan totaliter lewat film, meski dianggap
absurd dan bego, tetapi bisa menjadi cara yang lebih efektif ketimbang
menyampaikan kritik dengan cara serius dan ilmiah. Saya, teringat sosok satiris
dan ahli retorika, Lucian yang banyak menulis sindiran dan mencemooh kehidupan
paranormal, praktik keagamaan, termasuk juga mengolok-olok tokoh publik.
Karya-karyanya seperti The Dialogues of
the God, The Lover of Lies, Alexander the False Prophet dan Philosophies for Sale menginpirasi lahirnya
banyak karya satir, seperti Utopia karya
Thomas More, Timon of Athens karya
William Shakespeare
Artinya,
olok-olok bukanlah hal yang benar-benar baru di kolong langit. Bahkan, komedi
mengakui aliran slapstik yang gandrung mengolok-olok tubuh atau kedunguan yang
disengaja sebagai bagian dari komedi. Hal itulah yang barangkali membuat Peter
McGraw berani mengklaim bahwa banyak ilmuwan meletakkan komedi sebagai hal yang
penting, seperti Plato dan Aristoteles merenungkan makna komedi sembari
meletakkan dasar-dasar Filsafat Barat, Charles Darwin mencari benih tawa dalam
tangisan simpanse yang menggelitik, dan Sigmund Freud mencari motivasi yang
mendasari lelucon di celah bawah sadar. (The
Humor Code, 2014).
Olok-olok
memang telah berkembang melewati panggung humor dan komedi yang hanya megandung
dan mengundang tawa. Tak sekadar untuk melucu, olok-olok menjadi cara untuk
melawan dan menertawakan kekuasan, sebagaimana Sebastian Stein yang mengolok-olok
semua simbol-simbol Nazi.
Mengadopsi
demokrasi liberal sebagai bagian dari sistem politik bangsa kita sesungguhnya
mengabsahkan praktik politik Barat berlaku di negeri ini. Maka, tak perlu kaget
dan phobia dengan ragam dampak yang diakibatkan, meski bertentangan
nilai-nilai keluhuran dan adat-istiadat bangsa sendiri, termasuk mengolok-olok politisi yang
dianggap sebagai hal yang bertentangan dengan etika dan kesantunan berbahasa. Melakukan
kritik dengan olok-olok terhadap para elit politik yang lebih dulu menanggalkan
adab dan moralitas, seharusnya absah saja.
Olok-olok
adalah cara meruntuhkan absoluditas kekuasaan. Demokrasi terbuka yang
manipulatif, penuh kebohongan, dan terbukti sukses melahirkan oligarki serta tak
pernah serius mengurusi negara, meniscayakan cemooh warga, bahkan bila perlu
dikampanyekan sehingga laku politisi sedikitnya memiliki manfaat: sebagai bahan
tertawaan.
Bukankah, saat para tokoh publik, politisi dan pemegang jabatan di Republik ini tak pernah menganggap serius seluruh persoalan yang menimpa bangsa ini, sepatutnya kita juga punya sikap yang sama terhadap mereka, tak boleh terlalu serius menganggap mereka manusia. Sebab, manusia tak mungkin khianat atas amanat rakyat, terlebih saat mereka tahu makannya juga bersumber dari rakyat, kecuali manusia yang hanya tinggal rangka, sedangkan nurani dan nalarnya telah tanggal, hilang entah di mana.
Bukankah, saat para tokoh publik, politisi dan pemegang jabatan di Republik ini tak pernah menganggap serius seluruh persoalan yang menimpa bangsa ini, sepatutnya kita juga punya sikap yang sama terhadap mereka, tak boleh terlalu serius menganggap mereka manusia. Sebab, manusia tak mungkin khianat atas amanat rakyat, terlebih saat mereka tahu makannya juga bersumber dari rakyat, kecuali manusia yang hanya tinggal rangka, sedangkan nurani dan nalarnya telah tanggal, hilang entah di mana.
0 Comments: