Parmenides, filsuf Yunani kuno yang hidup
ribuan tahun lalu, punya slogan filosofis yang menyatakan ‘apa pun yang ada itu
ada, dan apa yang tidak ada itu tidak mungkin ada’ (Whatever is is, and what is not cannot be).
Martin Heidegger, filsuf yang hidup seabad yang lalu, dalam Pengantar
Metafisika-nya, alih-alih menerima slogan Parmenides bahwa ‘yang
tidak ada itu tidak mungkin ada’, malah mengatakan bahwa pertanyaan mendasar
metafisika adalah ‘Mengapa yang ada itu adalah ada (beings) dan bukan tiada (nothing)?’.
Dengan kata lain, ‘Mengapa tiada itu tidak ada?’. Pertanyaan ini tetap menjadi
misteri yang sulit dipecahkan. Esai pendek ini mengulas bagaimana tiada, yang
jarang diperhatikan dalam filsafat, justru menjadi persoalan rumit yang membingungkan.
Selamat membaca!
***
Di dalam filsafat, hal yang selalu ditekankan adalah apa yang ada. Kita
menyebut ini ontologi, yang berarti kajian tentang ada. Apa
yang kurang dikaji adalah apa yang tidak ada.
Dapat dipahami mengapa kita fokus pada apa
yang ada, mungkin karena efeknya yang lebih kelihatan. Namun, celah atau
non-eksistensi juga dapat memiliki dampak yang sangat jelas pada kita dengan
beragam cara. Bagaimanapun, kematian, yang sering dianggap seram dan
menakutkan, hanyalah tiadanya keberadaan di dunia ini (kecuali kita percaya
pada hantu). Kita juga terpengaruh dengan orang hidup yang tidak ada, objek
yang tidak ada dalam kehidupan kita, dan pengetahuan yang tidak pernah kita
punya.
Setelah perenungan lebih lanjut, tampaknya
persoalan tiada ini aneh dan memunculkan banyak pertanyaan. Bagaimana bisa
sesuatu yang tidak ada memiliki pengaruh pada kehidupan kita? Apakah tiada memiliki
jenis keberadaannya sendiri? Dan bagaimana kita bisa mulai menyelidiki sesuatu
yang kita tidak bisa berinteraksi langsung dengannya karena ia memang tidak
ada? Ketika kita membuka sebuah kotak, dan kemudian berseru “Tidak ada apa pun
di dalamnya”, apakah itu berbeda dari kekosongan atau ketiadaan yang riil?
Mengapa ketiadaan menjadi konsep yang sulit dikonseptualisasikan oleh filsafat?
Mari kita menyelidiki sebuah kotak yang
kita sebutkan sebelumnya, dan memikirkan sedikit apa yang ada di dalamnya.
Ketika seseorang membukan sebuah kotak kosong, ia tidak benar-benar menemukan
kotak itu kosong sama sekali, karena masih ada udara, cahaya, dan mungkin juga
debu. Jadi kotak itu tidak benar-benar kosing. Akan
tetapi, kata ‘kosong’ di sini digunakan dalam kaitannya dengan asumsi yang
sudah ada sebelumnya. Kotak itu sebelumnya dianggap berisi sesuatu, bukan hanya
ada untuk dirinya sendiri. Di dalamnya mungkin terdapat hadiah; peninggalan
lama keluarga; pizza; atau mungkin kotak lainnya. Karena kotak itu memiliki
tujuan memuat sesuatu di dalamnya, maka selalu ada harapan akan selalu ada
sesuatu di dalam sebuah kotak. Oleh karena itu, situasi ketiadaan ini muncul
dari harapan atau kebiasaan kita. Hal yang sama juga berlaku untuk pernyataan
seperti “Tidak ada seorang pun di kursi ini”. Tetapi jika kita mengatakan,
“Tidak ada seorang pun di dalam blender ini”, maka kita akan terlihat aneh. Ini
karena kursi dipahami sebagai sesuatu yang menopang orang, sedangkan blender
tidak.
Efek yang sama dari harapan dan
ketidakhadiran yang terkait dengannya itu muncul Bersama dengan kematian. Kita
jarang berduka cita pada orang yang mungkin hanya pernah kita temui; tetapi
kita begitu sering berduka cita pada orang yang sangat kita kenali. Rasa sakit
ini muncul dari harapan akan kehadiran tetapi ternyata kini harapan itu
takterwujudkan. Bahkan orang yang tidak pernah mengalami kehadiran seseorang
sekali pun masih bisa merasakan ketidakhadiran orang tersebut karena harapannya
yang dikecewakan. Anak-anak yang kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya
saat masih bayi sering merasakan kekurangan karena pengaruh ide tentang
keluarga yang lazim secara kultural. Sama seperti halnya kita memiliki ide
kultural tentang kotak atau kursi, kita juga memiliki ide standard tentang
sebuah keluarga inti, yang berisi dua orangtua, dan ketidakhadiran mereka dapat
terasa banyak oleh orang tidak pernah mengetahui orangtuanya.
Jenis ketiadaan yang pertama ini saya sebut
sebagai ‘ketiadaan perseptif’. Ketiadaan ini adalah penyangkalan terhadap
harapan: mengharapkan adanya sesuatu tetapi harapan itu kemudian disangkal oleh
realitas. Ketiadaan ini dibentuk oleh pikiran manusia tertentu, yang seringkali
melalui perbandingan dengan konsep yang terbentuk secara sosial.
Ketiadaan murni, di sisi lain, tidak
memuat apa pun sama sekali: tidak ada udara, tidak ada cahaya, tidak ada debu.
Kita tidak dapat mengalaminya dengan indra, tetapi kita dapat memahaminya
dengan pikiran. Jenis tiada absolut ini mungkin ada sebelum semesta ada. Atau
bisakah sesuatu tidak muncul dari tiada? Dalam kasus ini, tiada murni berarti
tidak pernah ada.
Jika kita bisa sejenak membicarakan tentang
sebuah tempat yang sama sekali kosong, tempat itu tidak akan mengandung apa pun
dalam bentuknya yang murni. Tetapi muncul pertanyaan: bisakah sebuah ruang
tidak memuat apa pun; atau, jika ruang tersebut memang ada, bukankah ruang itu
sendiri adalah satu bentuk keberadaan?
Pertanyaan ini mengingatkan kita pada
sesuatu yang sangat membingungkan tentang tiada: ia tidak mungkin ada. Jika
tiada itu ada, maka tiada itu akan menjadi sesuatu.
Jadi tiada, menurut definisinya sendiri, memang tidak mungkin ‘ada’.
Apakah tiada absolut itu mungkin? Mungkin
tidak. Mungkin kita membutuhkan sesuatu untuk mendefinisikan tiada; dan jika
ada sesuatu, maka tidak ada tiada secara mutlak. Selain itu, jika tiada memang
benar-benar ada, maka ia tidak mungkin didefinisikan. Dunia tidak mungkin menyadari
ketiadaan ini. Hanya karena ada sebuah dunia yang dipenuhi dengan Ada, kita
dapat membayangkan dunia yang kosong dan sepi. Ketiadaan muncul dari
Kesesuatuan (Somethingness),
maka: tanpa membandingkannya dengan ada, tiada itu tidak ada. Sekali lagi,
tiada murni itu telah menunjukkan dirinya sebagai negasi.
Dunia yang tidak memuat apa-apa itu
hanyalah kulit kosong, tetapi kita mungkin mengatakan bahwa kulit itu sendiri
ada dan merupakan sesuatu. Dan bahkan seandainya tidak ada materi, tentu ruang
masih ada, dan demikian juga waktu masih ada; dan itu semua bukan tiada.
Suatu hari mungkin kita bertemu dengan
ruang murni, itulah ketiadaan yang menunggu untuk diisi. Mungkin, ketika
ilmuwan menemukan cara untuk menerbangkan pesawat ruang angkasa ke lubang hitam
secara aman, atau bisa menciptakan kekosongan murni, kita akan dipaksa untuk
melihat langsung kekosongan itu. Tetapi bahkan jika itu benar-benar merupakan
tiada, dengan memasuki ketiadaan itu, manusia akan merusaknya dengan
mengisinya. Atau mungkin kita akan terserap olehnya dan semua jejak keberadaan
kita yang tersisa akan dihapus.
Kematian, yang merupakan kekosongan utama
bagi manusia, membuat kita gelisah karena alasan yang jelas: semua itu akan
selamanya tereduksi menjadi sebuah ruang kosong yang hanya terasa oleh orang
dicintai, dan bahkan ketidakhadiran itu akan terlupakan suatu saat nanti.
Namun, janganlah kita menjauh dari pertanyaan-pertanyaan tentang ketiadaan,
bahkan jika pertanyaan-pertanyaan itu membawa kita pada tempat yang suram.
Ketika kita sedikit lebih dekat dengan pertanyaan-pertanyaan besar, bahkan
meskipun ia tampak kontradiktif, ketiadaan itu tampak di mana-mana. Dan jika
kita ingin belajar bagaimana sesuatu muncul dari tiada, atau jika tiada memang
pernah ada, kita pasti akan melihat dengan sedikit lebih dekat kekosongan yang
mengerikan.
Comments
Post a Comment